Kiamat di Bumi: Mulai dari Misi ke Bulan, Bom Atom hingga Kecerdasan Buatan

Kiamat di Bumi: Mulai dari Misi ke Bulan, Bom Atom hingga Kecerdasan Buatan

BBC Indonesia - detikNews
Rabu, 24 Feb 2021 19:30 WIB
Jakarta -

Pada akhir 1960-an, NASA harus mengambil keputusan yang bisa mempengaruhi nasib spesies kita.

Setelah Apollo 11 di Bulan mendarat di Bulan, ketiga astronaut pulang ke bumi. Mereka mengapung di Samudera Pasifik dan menunggu dijemput di dalam kapsul yang panas dan tidak nyaman.

Pejabat NASA memutuskan untuk membuat ketiga pahlawan nasional mereka itu merasa lebih nyaman. Sisi negatifnya? Ada kemungkinan kecil mereka melepaskan mikroba asing yang mematikan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa dekade sebelumnya, sekelompok ilmuwan dan pejabat militer berdiri di titik balik yang sama.

Saat mereka menunggu uji senjata atom pertama, mereka menyadari adanya potensi bencana besar.

ADVERTISEMENT

Bisa ada kemungkinan bahwa eksperimen itu tidak sengaja membakar atmosfer dan menghancurkan semua kehidupan di planet ini.

Ada momen-momen langka di mana sekelompok kecil orang memegang nasib dunia di tangan mereka, bertanggung jawab atas kemungkinan kecil tapi nyata, akan munculnya bencana total.

Bencana yang bukan hanya akan mengakhiri hidup mereka sendiri, tapi akhir dari segalanya.

Jadi, apa yang mengarah pada keputusan-keputusan itu? Dan apa yang dapat kita pelajari untuk pengambilan keputusan dalam krisis yang kita hadapi sekarang?

Ketika umat manusia pertama kali berencana mengirim penyelidikan dan manusia ke luar angkasa pada pertengahan abad ke-20, masalah kontaminasi muncul.

Pertama, ada ketakutan akan kontaminasi "ke luar", yaitu kemungkinan bahwa makhluk yang hidup di Bumi secara tidak sengaja ikut menumpang ke kosmos.

Pesawat ruang angkasa perlu disterilkan dan dikemas dengan hati-hati sebelum diluncurkan. Mikroba yang menyelinap ke dalam pesawat akan membingungkan upaya mendeteksi kehidupan alien.

Dan jika ada organisme ekstra-terestrial di luar sana, kita mungkin bisa secara tidak sengaja membunuhnya dengan bakteri atau virus dari Bumi, seperti nasib alien di akhir film War of the Worlds.

Kekhawatiran ini masih penting, sejak era Perlombaan Luar Angkasa hingga kini.

Kekhawatiran kedua adalah kontaminasi "ke dalam". Ini adalah kekhawatiran bahwa astronaut, roket, atau pesawat penjelajah yang kembali ke Bumi bisa membawa kehidupan yang bisa membahayakan, baik dengan mengalahkan organisme Bumi atau sesuatu yang jauh lebih buruk, seperti mengonsumsi semua oksigen kita.

Kontaminasi ke dalam adalah ketakutan yang harus dianggap serius oleh NASA selama perencanaan misi Apollo ke Bulan. Bagaimana jika para astronaut membawa pulang sesuatu yang berbahaya?

Pada saat itu, probabilitasnya tidak dianggap tinggi. Hanya sedikit yang mengira Bulan kemungkinan besar menyimpan kehidupan. Tetapi tetap saja, skenarionya harus diantisipasi, karena konsekuensinya sangat parah.

"Mungkin ada 99% keyakinan bahwa Apollo 11 tidak akan membawa kembali organisme bulan, tetapi 1% ketidakpastian itu pun terlalu besar untuk diabaikan," kata seorang ilmuwan berpengaruh pada saat itu.

NASA memberlakukan beberapa tindakan karantina, meskipun sedikit enggan dalam beberapa kasus. Pejabat Layanan Kesehatan Masyarakat AS yang merasa prihatin pun menginginkan tindakan yang lebih ketat.

Mereka menyudutkan badan antariksa dengan menunjukkan kewenangan menolak astronaut yang terkontaminasi masuk ke perbatasan.

Setelah sidang kongres, NASA setuju untuk memasang fasilitas karantina yang mahal di kapal yang akan menjemput orang-orang itu dari pendaratan di Samudra Pasifik.

Simak video 'Video Penampakan Planet Mars oleh Rover Perseverance':

[Gambas:Video 20detik]



Disepakati juga bahwa para penjelajah bulan diisolasi selama tiga minggu sebelum mereka dapat memeluk keluarga mereka atau menjabat tangan presiden.

Namun, ada celah besar dalam prosedur karantina, menurut pakar hukum Jonathan Wiener dari Duke University, yang menulis tentang episode tersebut di sebuah makalah tentang mispersepsi risiko bencana.

Ketika para astronaut mendarat di air, protokol asli menyatakan bahwa mereka harus tetap berada di dalam pesawat luar angkasa.

Tetapi NASA berubah pikiran karena mengkhawatirkan kenyamanan para astronaut di dalam ruang pesawat yang panas dan pengap, terombang-ambing oleh gelombang.

Pejabat NASA memutuskan membuka pintu, menjemput para astronaut dengan kapal karet dan helikopter (lihat gambar di bagian atas artikel ini).

Mereka mengenakan pakaian biokontaminasi dan memasuki fasilitas karantina di kapal, namun setelah kapsul dibuka di laut, udara di dalamnya keluar.

Untungnya, misi Apollo 11 tidak membawa kembali kehidupan alien yang mematikan ke Bumi.

Tapi jika ada, kehidupan alien mematikan itu bisa saja terlepas ketika keputusan yang mengutamakan kenyamanan jangka pendek itu diambil.

Penghancuran nuklir

Dua puluh empat tahun sebelumnya, para ilmuwan dan pejabat pemerintahan AS berdiri di titik balik lain dalam mengambil risiko kecil tetapi berpotensi bencana.

Sebelum uji senjata atom pertama pada tahun 1945, para ilmuwan di Proyek Manhattan melakukan perhitungan yang menunjukkan kemungkinan mengerikan.

Dalam salah satu skenario, panas dari ledakan fisi akan menjadi begitu besar sehingga bisa memicu fusi yang tak terkendali.

Dengan kata lain, tes tersebut bisa saja tak sengaja membakar atmosfer, membakar lautan, menghancurkan sebagian besar kehidupan di Bumi.

Studi selanjutnya menunjukkan bahwa hal itu kemungkinan besar tidak mungkin.

Tetapi sampai hari pengujian, para ilmuwan terus memeriksa kembali analisis mereka. Ketika hari H akhirnya tiba, para pejabat memutuskan untuk melanjutkan.

Ketika ledakan lebih panjang dan lebih terang dari yang diperkirakan, setidaknya satu anggota tim yang menonton mengira bahwa kemungkinan terburuk telah terjadi.

Salah satunya adalah presiden Universitas Harvard James Conant, yang awalnya merasa kagum, namun segera berubah menjadi ketakutan.

"Dia tak yakin bom itu akan berhasil, dan juga akan ada konsekuensi yang sangat berbahaya, dan dia mengatakan bahwa dia menyaksikan, 'akhir dunia'," kata cucu perempuannya, Jennet Conant, kepada Washington Post.

Bagi filsuf Toby Ord dari Universitas Oxford, momen itu adalah poin penting dalam sejarah manusia. Dia mencatat waktu dan tanggal tes Trinity, pukul 05:29 pada 16 Juli 1945.

Tanggal ini dianggapnya sebagai awal dari era baru kemanusiaan yang ditandai dalam kemampuan kita untuk menghancurkan diri kita sendiri.

"Tiba-tiba kita melepaskan begitu banyak energi hingga mencapai suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Bumi," kata Ord dalam bukunya "The Precipice".

Dia menulis bahwa terlepas dari ketelitian para ilmuwan Manhattan, perhitungan tadi tidak pernah ditinjau oleh ilmuwan sejawat dari pihak yang tidak berkepentingan.

Juga tidak ada bukti bahwa ada wakil rakyat diberitahu tentang risiko tersebut, apalagi pemerintah lain.

Para ilmuwan dan pemimpin militer terus maju dengan keputusannya sendiri.

Ord juga menyoroti bahwa, pada tahun 1954, para ilmuwan salah hitung dalam uji coba nuklir lainnya: alih-alih ledakan 6 megaton seperti yang diharapkan, ledakannya malah 15.

"Dari dua kalkulasi termonuklir utama yang dibuat pada musim panas itu satu benar dan satu salah. Adalah suatu kesalahan untuk menyimpulkan dari sini bahwa risiko subjektif menyulut atmosfer adalah 50%. Itu jelas bukan tingkat kepercayaan untuk mempertaruhkan masa depan kita. "

Dunia yang rentan

Dari posisi kita yang tercerahkan di abad ke-21, mudah untuk menilai bahwa keputusan-keputusan itu spesifik pada waktunya.

Pengetahuan ilmiah tentang kontaminasi dan kehidupan di Tata Surya sudah jauh lebih maju, dan perang antara Sekutu dan Nazi sudah lama berlalu.

Saat ini, sudah tidak ada yang mau mengambil risiko seperti itu lagi kan?

Sayangnya tidak. Entah karena kecelakaan atau hal lain, kemungkinan bencana kini lebih besar daripada dulu.

Para astronot Apollo 11 dikarantina setelah mendarat, tetapi ada celah saat mereka diangkat di laut.

Para astronot Apollo 11 dikarantina setelah mendarat, tetapi ada celah saat mereka diangkat di laut. (Getty Images)

Memang, pemusnahan Bumi oleh alien bukanlah risiko terbesar yang dihadapi dunia.

Namun, meskipun mungkin ada kebijakan "perlindungan planet" untuk menjaga dari kontaminasi alien, pertanyaannya adalah seberapa baik peraturan dan prosedur ini akan berlaku untuk usaha swasta yang mengunjungi planet dan bulan lain di Tata Surya.

(Menambah ancaman bencana alien, menyiarkan kehadiran kita ke galaksi dapat berisiko pertemuan yang berpotensi bencana dengan alien, terutama jika mereka lebih maju. Sejarah menunjukkan bahwa hal-hal buruk cenderung terjadi pada populasi yang bertemu dengan budaya yang lebih canggih secara teknologi. Lihatlah nasib penduduk asli yang bertemu dengan pemukim Eropa.)

Yang lebih memprihatinkan adalah ancaman senjata nuklir. Atmosfer yang terbakar mungkin mustahil, tetapi musim dingin nuklir yang mirip dengan perubahan iklim yang membantu membunuh dinosaurus, sangat mungkin.

Dalam Perang Dunia II, persenjataan atom tidak sebanyak atau cukup kuat untuk memicu bencana itu, tetapi sekarang sudah cukup kuat.

Ord memperkirakan bahwa risiko kepunahan manusia di abad ke-20 adalah sekitar satu dari 100. Tapi dia yakin sekarang lebih tinggi.

Di atas risiko eksistensial alami yang selalu ada, potensi kiamat akibat ulah manusia telah meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir, katanya.

Selain ancaman nuklir, prospek kecerdasan buatan tak terkontrol pun muncul, emisi karbon meroket, dan sekarang kita dapat merekayasa virus untuk membuatnya jadi jauh lebih mematikan.

Kita juga menjadi lebih rentan akibat konektivitas global, misinformasi, dan kekerasan politik, seperti yang ditunjukkan oleh pandemi Covid-19.

"Mengingat semua yang saya tahu, saya menempatkan risiko abad ini sekitar satu dari enam, seperti roulette Rusia," kata dia.

"Jika kita tidak segera bersikap, jika kita terus membiarkan pertumbuhan kekuatan kita melebihi kebijaksanaan, risiko ini bisa jadi lebih tinggi di abad berikutnya, dan setiap abad berikutnya.

Cara lain yang dilakukan oleh para peneliti risiko eksistensial untuk menandai bahaya yang berkembang ini adalah dengan meminta Anda membayangkan bola-bola dari guci raksasa.

Setiap bola mewakili teknologi baru, penemuan, atau penciptaan baru. Sebagian besar bola ini berwarna putih, atau abu-abu.

Bola putih melambangkan kemajuan yang baik bagi umat manusia, seperti penemuan sabun. Bola abu-abu mewakili berkah campuran, seperti media sosial.

Namun, di dalam guci, ada segenggam bola hitam yang sangat langka. Tapi jika satu terpilih, Anda telah menghancurkan umat manusia.

Ini disebut "hipotesis dunia yang rentan", dan menyoroti masalah persiapan untuk terjadinya peristiwa yang sangat jarang dan sangat berbahaya di masa depan kita.

Sejauh ini, kita belum memilih bola hitam. Kemungkinan besar karena itu sangat tidak umum, namun tangan kita sudah pernah menyentuhnya sedikit saat masuk ke dalam guci. Singkatnya, kita beruntung.

Ada banyak teknologi atau penemuan yang bisa berubah menjadi bola hitam.

Beberapa sudah kita ketahui, tetapi belum diterapkan, seperti senjata nuklir atau virus rekayasa hayati. Lainnya sudah muncul tapi masih tidak diketahui, seperti pembelajaran mesin atau teknologi genomik.

Yang lainnya masih tidak diketahui: kita bahkan tidak tahu bahwa mereka berbahaya, karena mereka belum diciptakan.

Tragedi yang tidak biasa

Mengapa kita gagal menangani risiko bencana ini dengan tindakan yang sesuai dengan besarnya? Wiener punya beberapa saran. Dia menggambarkan cara orang salah memahami risiko bencana ekstrem sebagai "tragedi yang tidak biasa".

Anda mungkin pernah mendengar tentang tragedi bersama: ini adalah cara individu yang mementingkan diri sendiri salah mengelola sumber daya komunal.

Setiap orang melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri, tetapi semua orang akhirnya menderita. Ini mendasari perubahan iklim, penggundulan hutan atau penangkapan ikan secara berlebihan.

Tempat uji coba Trinity hari ini, di bawah atmosfer yang untungnya tidak dibakar.

Tempat uji coba Trinity hari ini, di bawah atmosfer yang untungnya tidak dibakar. (Getty Images)

Tragedi yang "tidak biasa" berbeda, jelas Wiener. Bukannya salah mengelola sumber daya bersama, yang terjadi adalah orang salah memahami risiko bencana yang langka.

Dia mengajukan tiga alasan mengapa ini terjadi:

Yang pertama adalah "tidak tersedianya" bencana yang jarang terjadi. Peristiwa yang baru-baru ini menonjol lebih mudah diingat daripada peristiwa yang belum pernah terjadi.

Otak cenderung membangun masa depan dengan kumpulan ingatan tentang masa lalu. Jika sebuah risiko menjadi berita, misalnya terorisme, perhatian publik tumbuh, politisi bertindak, teknologi ditemukan, dan sebagainya.

Kesulitan khusus untuk meramalkan tragedi yang tidak biasa, adalah bahwa tidak mungkin untuk belajar dari pengalaman. Tragedi ini tidak pernah muncul di berita utama. Tapi begitu itu terjadi, selesai. Permainan berakhir.

Alasan kedua kita salah memahami bencana yang sangat langka adalah efek "mati rasa" dari bencana besar. Para psikolog mengamati bahwa perhatian masyarakat tidak tumbuh secara linier seiring parahnya suatu bencana.

Kasarnya, jika Anda bertanya seberapa besar orang-orang merasa peduli kalau semua orang di Bumi sekarat, kekhawatirannya bukan 7,5 miliar kali lebih besar dari kepedulian jika ada satu orang akan mati.

Mereka juga tidak memperhitungkan nyawa generasi mendatang yang akan hilang. Dalam jumlah besar, ada beberapa bukti bahwa perhatian orang bahkan menurun dibandingkan dengan kekhawatiran mereka tentang tragedi individu.

Dalam artikel terbaru untuk BBC Future tentang psikologi "mati rasa", jurnalis Tiffanie Wen mengutip Bunda Teresa, yang berkata: "Jika saya melihat kerumunan massa, saya tidak akan pernah bertindak. Jika saya melihat satu, saya akan bertindak. "

Terakhir, Wiener menjelaskan efek "kurang pencegahan" yang mendorong sikap laissez-faire di antara mereka yang mengambil risiko, karena tidak ada akuntabilitas.

Jika dunia berakhir karena keputusan Anda, maka Anda tidak bisa dituntut karena kelalaian. Hukum dan aturan tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi kecerobohan yang mengakhiri spesies.

Mungkin hal yang paling mengganggu adalah bahwa tragedi yang tidak biasa dapat terjadi secara tidak sengaja. Entah itu melalui keangkuhan, kebodohan, atau kelalaian.

"Semuanya sama, tidak banyak orang yang berniat menghancurkan dunia. Bahkan perusahaan tak berwajah, pemerintah yang suka campur tangan, ilmuwan sembrono, dan agen malapetaka lainnya memerlukan dunia ini untuk mencapai tujuan mereka. Seperti keuntungan, kekuasaan, atau kejahatan-kejahatan," kata peneliti AI Eliezer Yudkowsky dalam tulisannya.

"Jika kepunahan kita berlangsung lambat sehingga ada momen untuk menyadari kesalahan, pelakunya mungkin akan sangat terkejut jika Bumi hancur, itu mungkin karena sebuah kesalahan."

Kita dapat bersyukur bahwa para pejabat Apollo 11 dan ilmuwan Manhattan tidak menjadi orang-orang yang ketakutan itu.

Tetapi suatu hari di masa depan, seseorang akan tiba di titik balik lain, di mana nasib spesies ada di tangan mereka.

Atau mungkin mereka sudah berada di jalan itu, meluncur menuju bencana dengan mata tertutup. Demi kemanusiaan, semoga mereka akan membuat pilihan yang tepat ketika saatnya tiba.

Anda dapat membaca versi asli artikel ini dengan judul The moments that we could have destroyed humanity di BBC Future

(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads