Pengadilan perceraian di Kota Beijing, China, memerintahkan seorang pria untuk membayar ganti rugi kepada mantan istrinya atas pekerjaan rumah tangga yang dia lakukan selama mereka berumah tangga.
Perempuan itu akan menerima ganti rugi senilai 50.000 yuan (sekitar Rp109 juta) beserta tunjangan bulanan dari mantan suaminya setelah bekerja tanpa diupah selama lima tahun.
Kasus ini mengundang perdebatan di jagad maya China soal nilai dari pekerjaan rumah tangga. Ada beberapa warganet yang menilai ganti rugi itu masih terlalu sedikit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan pengadilan itu muncul setelah China memberlakukan undang-undang perdata yang baru.
- Jaringan kedai teh populer China memicu kemarahan setelah gambarkan perempuan sebagai 'kaum murahan'
- Cerita perempuan keturunan Tionghoa selamatkan bisnis keluarga di tengah pandemi Covid-19
- Kekhawatiran perempuan Asia dalam perayaan Imlek, saat santap bersama keluarga dan cara mengatasi gangguan makan
Menurut catatan pengadilan, pria yang disebut bermarga Chen itu tahun lalu melayangkan gugatan cerai kepada istrinya, yang bermarga Wang, setelah menikah pada 2015.
Wang awalnya enggan untuk bercerai. Tapi akhirnya ia minta ganti rugi finansial, dengan berargumen bahwa suaminya itu tidak memikul tanggungjawabnya dalam pekerjaan rumah tangga maupun mengurus putra mereka.
Pengadilan Distrik Fangshan di Kota Beijing akhirnya mengabulkan tuntutan Wang.
Chen diperintah hakim harus membayar tunjangan bulanan kepada mantan istrinya itu sebesar 2.000 yuan (sekitar Rp4,3 juta), selain pembayaran tunai sebesar 50.000 yuan (sekitar Rp109 juta) atas segala pekerjaan rumah yang sudah dilakukan Wang sendirian.
Hakim ketua mengungkapkan kepada wartawan Senin (22/02) bahwa pembagian properti bersama dari suatu pasangan setelah mengakhiri pernikahan biasanya berupa properti yang berwujud.
"Tapi pekerjaan rumah tangga merupakan nilai properti yang tidak berwujud," kata hakim.
Putusan dari hakim itu dibuat menurut undang-undang perdata yang baru di China, yang mulai berlaku tahun ini.
Menurut undang-undang itu, pasangan suami istri berhak mendapat kompensasi bila mau bercerai bila satu atau keduanya memikul tanggung jawab dalam membesarkan anak, merawat kerabat yang sudah usia lanjut, dan membantu pasangannya dalam pekerjaan selama berumah tangga.
- Bagaimana Covid-19 hantam kehidupan perempuan di Asia
- Apakah perempuan harus bekerja lebih keras setelah pandemi virus corona?
- 'Perdana Menteri Narendra Modi, mohon agar laki-laki didorong berbagi pekerjaan rumah tangga!'
Sebelumnya, pasangan yang bercerai hanya bisa menuntut ganti rugi jika sebelum menikah menandatangani perjanjian pra-nikah - hal yang tidak biasa di China.
Di media sosial, kasus tersebut mengundang perdebatan panas, yang mana tagar terkait kasus itu di platform Weibo sudah dilihat lebih dari 570 juta kali.
Beberapa warganet beranggapan bahwa ganti rugi 50.000 yuan atas pekerjaan rumah tangga selama lima tahun itu masih terlalu sedikit. "Saya sulit berkata-kata, pekerjaan seorang ibu rumah tangga ternyata dinilai rendah.
Di Beijing, menyewa pengasuh selama setahun saja sudah berbiaya lebih dari 50.000 yuan," kata seorang netizen.
Yang lain menilai bahwa kaum laki-laki harus mengemban lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Kalangan warganet lain juga menyerukan agar kaum perempuan tetap melanjutkan karier setelah menikah.
"Ibu-ibu, ingatlah agar selalu mandiri. Jangan lepas karier setelah menikah, carilah jalan keluar sendiri," demikian tulis seorang warganet.
Yang lain menilai bahwa kaum laki-laki harus mengemban lebih banyak pekerjaan rumah tangga. Kalangan warganet lain juga menyerukan agar kaum perempuan mendahulukan karier ketimbang pernikahan. "Ibu-ibu, ingat lah agar selalu mandiri. Jangan lepas karier setelah menikah, carilah jalan keluar sendiri," demikian tulis seorang warganet.
- Pandemi Covid-19 picu lonjakan bunuh diri di Jepang, mengapa lebih banyak perempuan?
- Khadijah, perempuan 'luar biasa' yang berperan penting dalam kelahiran agama Islam
- Kisah aktris China yang alami 'mimpi buruk' setelah bedah kosmetik
Menurut data Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), kalangan perempuan di China menghabiskan hampir empat jam sehari untuk pekerjaan yang tidak dibayar- sekitar 2,5 kali lipat lebih banyak dari laki-laki.
Angka itu lebih tinggi dari rata-rata negara anggota OECD, di mana kaum perempuan di sejumlah negara maju itu menghabiskan waktu dua kali lipat lebih banyak dari laki-laki dalam melakukan pekerjaan yang tidak dibayar.
(ita/ita)