China menganggap perjanjian perdagangan terbesar di dunia, Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), sebagai kemenangan bagi multilateralisme.
Komentar ini disampaikan sesudah para pemimpin Asia-Pasifik akhirnya menandatangani Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional yang telah dirintis hampir satu dekade silam.
RCEP ditandatangani pada Minggu (15/11) dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-37 yang digelar secara virtual dengan tuan rumah Vietnam. RCEP melibatkan 10 negara anggota ASEAN, ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Melihat kondisi global saat ini, penandatanganan RCEP setelah perundingan selama delapan tahun memancarkan sinar dan memberikan harapan di tengah kondisi suram," kata Perdana Menteri China, Li Keqiang setelah penandatangan virtual.
"Ini jelas menunjukkan bahwa multilateralisme adalah cara yang benar, dan mencerminkan arah yang tepat bagi perekonomian global dan kemajuan manusia," tambahnya.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo juga menyambut baik penandatanganan perjanjian tersebut.
"Penandatanganan ini menandai masih kuatnya komitmen kita terhadap multilateralisme," kata presiden dalam sambutannya.
- Resesi ekonomi Indonesia: Pemerintah disarankan fokus 'menangani pandemi' demi perbaikan ekonomi
- Presiden Jokowi tandatangani UU Cipta Kerja, masyarakat dapat mengakses salinannya
- RCEP: Mendulang peluang di tengah-tengah perang dagang AS-China
- Berharap keuntungan dari kerja sama perdagangan RCEP
Para anggotanya membentuk hampir sepertiga dari populasi dunia dan menyumbang 29% dari produk domestik bruto dunia.
Zona perdagangan bebas baru ini akan lebih besar ketimbang Perjanjian AS-Meksiko-Kanada dan Uni Eropa.
India juga menjadi bagian selama proses negosiasi, tetapi kemudian menarik diri tahun lalu, karena ada kekhawatiran tarif pajak yang lebih rendah dapat merugikan produsen lokal.
Apa fungsi RCEP?
RCEP diharapkan dapat menghilangkan berbagai tarif impor dalam waktu 20 tahun ke depan.
Kesepakatan ini juga mencakup ketentuan tentang kekayaan intelektual, telekomunikasi, layanan keuangan, e-commerce, dan aneka layanan profesional.
RCEP diharapkan dapat menghilangkan berbagai tarif impor. (Getty Images)
Tapi mungkin saja ketentuan asal barang (rules of origin) baru - yang secara resmi menentukan dari mana produk berasal - akan memiliki dampak paling besar.
Sudah banyak negara anggota yang memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) satu sama lain, tetapi ada batasannya.
"FTA yang ada bisa sangat rumit untuk digunakan dibandingkan dengan RCEP," kata Deborah Elms dari Asian Trade Center.
- Indonesia pernah tukar pesawat dengan beras ketan dan sejumlah contoh barter di berbagai negara
- Resesi ekonomi: Korea Selatan dan Singapura masuk resesi, Indonesia diprediksi juga akan masuk jurang ekonomi
- Dampak wabah Covid-19: Jepang kembali alami resesi dan akan catat 'kinerja terburuk', bagaimana negara ini bisa bangkit dari keterpurukan?
Bisnis dengan rantai pasokan global kemungkinan menghadapi tarif bahkan dalam FTA, karena produk mereka mengandung komponen yang dibuat di tempat lain.
Sebuah produk buatan Indonesia yang menyertakan suku cadang dari Australia, misalnya, kemungkinan dikenai tarif di tempat lain dalam zona perdagangan bebas Asean.
Di bawah RCEP, suku cadang dari setiap negara anggota akan diperlakukan sama, yang kemungkinan memberi perusahaan-perusahaan di negara-negara RCEP sebuah insentif untuk mencari pemasok di dalam kawasan perdagangan.
'Ambisi yang sangat rendah'
Walaupun RCEP adalah inisiatif ASEAN, kerjasama ini dianggap banyak pihak didukung China sebagai alternatif terhadap Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), kesepakatan yang diusulkan tanpa melibatkan China, tetapi mencakup banyak negara Asia.
Dua belas negara anggotanya menandatangani TPP pada 2016 sebelum Presiden AS Donald Trump menarik diri keterlibatan AS pada 2017.
Kerjasama RCEP dianggap banyak pihak didukung China. (Getty Images)
Anggota yang tersisa kemudian membentuk Perjanjian Hubungan Mitra Trans Pasifik secara Menyeluruh dan Maju (CPTPP).
Walaupun mencakup lebih sedikit negara, CPTPP memotong berbagai pajak dan memasukkan ketentuan tentang tenaga kerja dan lingkungan ketimbang yang dilakukan RCEP.
Berbicara dalam acara daring di Peterson Institute of International Affairs, mantan Perdana Menteri (PM) Australia Malcolm Turnbull mengatakan kesepakatan baru itu ketinggalan zaman.
"Akan ada beberapa hal yang menghebohkan tentang penandatanganan dan berlakunya RCEP. Maksud saya RCEP adalah kesepakatan perdagangan dengan ambisi yang sangat rendah. Kita tidak boleh menipu diri kita sendiri," kata Turnbull, yang menandatangani keikutsertaan Australia dalam TPP.
Kerja sama dan kebencian
RCEP menyatukan negara-negara yang acapkali memiliki hubungan diplomatik yang pelik - terutama China dan Jepang.
Australia dan China juga akan menandatangani kesepakatan tersebut, meskipun ada laporan bahwa China kemungkinan akan memboikot beberapa impor Australia karena berbagai perbedaan politik.
"Anda berdua dapat bekerja sama dengan seseorang dan membencinya, bahkan sebagai manusia. RCEP telah melakukan pekerjaan yang mengesankan dengan memisahkannya dengan hal-hal lainnya," kata Deborah Elms dari Asian Trade Center.
Perdagangan internasional jauh lebih rendah dalam agenda pemilu AS tahun ini, dan presiden yang akan datang Joe Biden hanya mengatakan sedikit tentang apakah kebijakan perdagangannya akan berubah secara signifikan atau apakah dia akan mempertimbangkan kembali untuk masuk ke TPP.
***Tulisan ini diperbarui pada Minggu (15/11), antara lain dengan memasukkan keterangan PM China Le Keqiang.
(ita/ita)