Bernyanyi dinyatakan sebagai aktivitas yang meningkatkan risiko penyebaran virus corona, terutama setelah klaster positif Covid-19 di kelompok paduan suara keagamaan bermunculan.
Di Inggris, selama pandemi aktivitas ini hanya boleh dilakukan oleh penyanyi profesional. Di sisi lain, seluruh gereja tak boleh menyelipkan aktivitas bernyanyi dalam ibadah.
"Masyarakat semestinya menghindari aktivitas bernyanyi, berteriak, dan meninggikan suara. Alasannya adalah potensi penyebaran virus yang meningkat lewat droplet dan aerosol di udara," demikian anjuran pemerintah Inggris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun sebuah kajian ilmiah menduga bahwa bukan aktivitas bernyanyi yang menggenjot penyebaran virus corona, melainkan volume dari suara seseorang.
- Tempat ibadah dibuka, 'tentang kekhawatiran terkena Covid-19, ya kita berdoa saja'
- Ibadah haji dimulai secara terbatas - semula dua juta orang, kini diperkirakan tak lebih 10.000 orang
- Gereja di Jerman menampung umat Muslim untuk menunaikan salat
Kajian ini juga akan mengungkap jumlah droplet yang bisa terhambat masker wajah tertentu. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan untuk mengizinkan umat beragama bernyanyi secara kolektif dalam setiap ibadah mereka.
Menghitung droplet
Laurence Lovat, seorang profesor ilmu gastroenterologi dan biofotonik di University College London, berencana mencari jawaban atas hipotesa tersebut.
Lovat akan melibatkan sejumlah responden dengan gender, tinggi, usia, dan latar etnisitas yang berbeda. Ia juga akan memasukkan responden yang berjanggut dan brewok serta yang tak memiliki rambut di wajah.
Lovat akan meminta responden penelitiannya bernyanyi dalam volume suara yang berbeda. Dari situ dia akan menghitung perbedaan aerosol dan droplet yang mereka keluarkan.
"Pandemi Covid-19 secara drastis mengubah rutinitas ibadah masyarakat, baik harian maupun mingguan. Pandemi ini berdampak pada aktivitas ibadah, sesi diskusi antarkelompok atau bahkan bernyanyi," kata Lovat.
"Penelitian kami bertujuan menunjukkan bagaimana praktik beribadah telah berubah dan menemukan risiko penyebaran seperti apa yang muncul ketika mereka bernyanyi, bersenandung, dan saat tidak memakai masker."
Dalam kajian itu, Lovat juga akan meminta respondennya mengisi kuisoner tentang bagaimana peribadatan mereka berubah sejak pandemi berlangsung.
Mereka akan ditanyai tentang keterlibatan mereka dalam ibadah berjamaah dan pengalaman ibadah mereka sejak Maret, ketika pembatasan pertemuan dan perjalanan diberlakukan.
Sekelompok responden akan dipilih untuk bernyanyi, atau bersenandung di depan sinar laser yang terang dan kamera berkecepatan tinggi yang akan mendeteksi tetesan kecil uap air (aerosol) yang terbang ke udara.
Ada bukti bahwa virus corona dapat menyebar melalui partikel-partikel kecil ini. Adapun cahaya terang akan memungkinkan tetesan tersebut terlihat. Kamera yang merekam 7.000 gambar dalam setiap satu detik.
"Kami akan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang yang dapat dan yang tidak semestinya kita lakukan," ujar Lovat.
Michelle Sint, seorang penganut Yudaisme yang terlibat dalam penelitian ini, mengaku tertarik menjadi responden untuk mengetahui apakah aktivitas bernyanyi tidak menjadi medium penyebaran virus corona.
"Ada sesuatu yang sangat menggembirakan saat bernyanyi sebagai komunitas dalam satu suara," ujarnya.
Dia berkata, bernyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dari sebuah ibadah.
Sementara menurut Junaid Shah, bernyanyi dan ibadah kolektif bukan bagian besar dalam kepercayaan umat Islam. Namun dia bersedia menjadi responden dalam penelitian untuk turut membantu umat agama lainnya.
Shah menyebut sangat penting untuk memikirkan ibadah secara kolektif, terutama pada masa sulit seperti pandemi kali ini.
"Ibadah keagamaan lebih dari segalanya, aktivitas ini memberi dukungan batin terhadap setiap umat. Aktivitas peribadatan bukan tentang apakah kita merasa terisolasi atau tidak selama pandemi," kata dia.
(ita/ita)