Hari itu semestinya menjadi hari paling bahagia dalam hidup pasangan suami-istri ini, namun hari itu malah jadi yang terburuk bagi mereka.
Pernikahan Mirwais dan Rehana di ibu kota Afghanistan, Kabul, tahun lalu menjadi target pengebom bunuh diri ISIS, menewaskan lebih dari 90 tamu undangan.
Pasangan itu kehilangan kerabat dekat dan teman-teman mereka, sementara serangan itu telah berdampak besar pada kesehatan mental mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pekan ini menandai peringatan satu tahun serangan tersebut.
- Afghanistan: Bom meledak di pesta pernikahan, 63 orang tewas
- Pengantin pria 'kehilangan harapan' setelah serangan bom di pesta pernikahannya
- Dapatkah perundingan AS dan Taliban hasilkan perdamaian yang lama hilang di Afganistan?
Untuk kali pertama, Rehana, perempuan berusia 18 tahun, buka suara atas apa yang terjadi pada hari itu.
"Setiap malam saya mengalami mimpi buruk," tuturnya kepada BBC. "Saya menangis dan saya tak bisa tidur."
Kerumunan orang membuatnya cemas, demikian halnya bepergian menggunakan mobil.
"Kapan pun saya mendengar suara tembakan atau ledakan, saya selalu teringat hari itu, dan saya berpikir sesuatu akan terjadi pada saya lagi," ujarnya.
Kerabat dari mereka yang meninggal pada hari itu akan menggelar demonstrasi di depan gedung pernikahan tempat ledakan terjadi untuk memperingati satu tahun insiden tersebut dan mendesak pelaku diproses hukum.
Namun Mirwasi tidak akan menghadirinya, kata dia. Tangannya selalu gemetar tiap kali teringat akan ledakan itu.
"Sebelum pernikahan, kami sangat bahagia," tuturnya.
"Tiba-tiba, rasanya seperti terjatuh dari langit. Kami kehilangan kebahagiaan kami."
Mirwais sedang menari pada saat pesta pernikahannya, sebelum ledakan terjadi. (BBC)
Pernikahan pasangan itu menjadi target, sebab mereka berasal dari minoritas Syiah di Afghanistan, yang menganggap ISIS sebagai kelompok sesat.
Militan ISIS telah berulang kali melancarkan serangan kepada komunitas Syiah belakangan ini.
Bagi Rehana dan Mirwais, trauma akan serangan itu semakin parah ketika sejumlah kerabat dan teman menuding mereka bertanggung jawab atas insiden berdarah itu.
"Suatu hari saya sedang berbelanja dan saya bertemu seorang perempuan yang kehilangan kerabatnya pada pernikahan saya," kenang Mirwais.
"Dia menyebut saya pembunuh."
Sejumlah keluarga korban mulai memandang pasangan ini sebagai "musuh", kata Mirwais.
Pria yang bekerja sebagai penjahit ini telah menutup tokonya karena tudingan itu.
Rehana juga menjadi sasaran, dengan banyak orang menyebut jika pasangan itu tidak pernah menikah, serangan itu tidak akan terjadi.
"Semua orang menyalahkan saya atas apa yang terjadi," katanya pelan.
"Saya hanya diam dan tidak mengatakan apa-apa."
Beberapa kerabat korban ledakan di Kabul, Agustus tahun lalu. (EPA)
ISIS, yang mengklaim bertanggung jawab atas ledakan itu, tidak sekuat Taliban, kelompok fundamentalis Sunni di Afghanistan.
Akan tetapi, kelompok itu telah beberapa kali melakukan serangan yang mematikan.
Mei silam, ISIS dituding bertanggung jawab atas serangan mengerikan di unit bersalin di Kabul, di mana militan membunuh 24 perempuan, anak-anak dan bayi.
Awal bulan ini, ISIS mengepung sebuah penjara di timur kota Jalalabad, membebaskan ratusan narapidana. Kekerasan terjadi meskipun kelompok tersebut kehilangan wilayah dan sejumlah pemimpin seniornya ditahan.
Bagi Rehana dan Mirwais, kerusuhan yang terjadi memaksa mereka untuk menghadapi kembali pengalamannya sendiri.
"Beberapa minggu setelah pernikahan, terjadi ledakan di bagian lain Kabul, dan istri saya sangat takut hingga pingsan," kata Mirwais.
- Perang Afghanistan: Rata-rata 74 orang meninggal setiap hari selama Agustus
- Perundingan damai Afghanistan sudah 'mati', kata Trump
- Cerita gadis Afghanistan yang angkat senapan AK-47 demi membela keluarganya
Rehana kini mendapatkan dukungan psikologis yang jarang didapatkan orang-orang sepertinya, berkat bantuan sebuah badan amal di Kabul.
Dia mengaku terapi telah membantunya menghadapi kebingungan dan rasa sakit akibat ledakan, serta ketika dirinya disalahkan akibat ledakan itu.
"Baik buat saya untuk bisa menceritakan masalah saya," ujarnya.
Psikolognya, Lyla Schwartz, berbicara kepada BBC bersama dengan pasangan tersebut.
Dia mengatakan Rehana membuat kemajuan yang hati-hati, tapi "kemudian ledakan terjadi, dan dia benar-benar mengalami kemunduran".
Meski ribuan orang terbunuh atau terluka tiap tahun di Afghanistan, hanya sedikit mereka yang mendapatkan konseling.
Di sebuah negara di mana akses akan layanan kesehatan dasar sangat sedikit, kesehatan mental kerap kali dianggap bukan prioritas.
Rehana dan Mirwais, yang tidak mampu melakukan terapi dengan biaya sendiri, mendapat manfaat dari upaya badan amal itu.
Gedung pernikahan yang hancur lebur setelah ledakan. (AFP)
Berbicara kepada psikolog dan menceritakan permasalahannya sangat membantu, ujar Rehana.
Mirwais sepakat. "Afghanistan butuh banyak orang lagi untuk menangani kesehatan mental."
"Tiap orang Afghanistan menderita sakit atau kehilangan anggota keluarga."
Perundingan damai antara pemerintah Afghanistan dan Taliban diperkirakan dimulai dalam beberapa pekan mendatang, namun pertempuran masih saja terjadi.
Sayangnya, ISIS tak menjadi bagian dari negosiasi itu.
Rehana tak lagi merasa aman di negaranya, kata dia.
Psikolog Rehana, Schwartz berharap bisa mengumpulkan dana yang memungkinkan pasangan itu agar bisa menghabiskan waktu di luar negeri, jauh dari ledakan bunuh diri, jauh dari kesalahan atas tragedi yang menimpa pernikahan mereka.
Mirwais juga telah menerima beberapa konseling untuk trauma tersebut, tetapi seperti Rehana, dia tetap kecewa akan prospek perdamaian.
"Sebelum pernikahan saya, mereka bilang damai akan tiba. Sudah satu tahun sekarang, di mana damai?" dia berkata.
"Saya beritahu Anda, bahkan setelah 10 tahun Anda tidak akan melihat perdamaian dan stabilitas di Afghanistan."
Tonton juga video 'Kelompok Kecil ISIS Serang Penjara di Afghanistan':