Kara Bos adalah satu dari lebih dari 160.000 bayi asal Korea yang diadopsi dan dibawa ke luar negeri selama puluhan tahun setelah Perang Korea pada awal 1950-an.
Namun, ketika dia ingin mencari ibu kandungnya, dia terbentur pada hukum Korea Selatan mengenai privasi sehingga dirinya tidak bisa mendapatkan informasi mengenai ibunya.
Kara, yang diadopsi oleh pasangan asal Amerika Serikat hampir 40 tahun lalu, tidak menyerah demi mengetahui di mana ibunya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia kemudian menggugat ke pengadilan di Korsel dan menorehkan sejarah setelah memenangkan gugatan paternitasnya, bulan lalu. Ini adalah gugatan pertama di Korea Selatan untuk kasus seperti anak adopsi seperti Kara.
Seorang pria Korea Selatan berusia 85 tahun, yang diperkirakan adalah ayah biologis Kara, kini harus mengakuinya sebagai putri kandung.
- Perjalanan berliku perempuan Indonesia yang diadopsi orang Belanda mencari ibu kandungnya selama 41 tahun
- Adopsi anak ilegal dari Indonesia dan negara lain: Belanda lancarkan penyelidikan
- Krisis ekonomi yang menyebabkan para ibu di Venezuela 'membuang' bayinya
Keputusan pengadilan tersebut memberikan harapan bagi ribuan anak hasil adopsi asal Korea yang ingin mengetahui identitas orang tua kandung mereka.
"Ini hanyalah soal seorang anak perempuan mencari ibunya. Mereka bahkan tidak bisa bertindak manusiawi soal itu," kata Kara dalam sebuah wawancara dengan reporter Hyung Kim dan Julie Yoon dari BBC News Korea.
Di luar pengadilan, Kara mengatakan keputusan hakim itu "sangat penting."
"Ini adalah hari yang sangat penting bagi kami semua anak hasil adopsi."
Ia lalu melepaskan maskernya, dan berujar dalam bahasa Korea:
"Ibu, apakah Ibu mengenali saya? Tolong hubungi saya."
'Memikirkan ibu'
Kara Bos, 38, ditemukan terlantar pada 18 November 1983 di tempat parkir sebuah pasar di Goesan, Provinsi Chungcheong Utara, Korea Selatan, ketika ia berusia dua tahun, demikian seperti dilansir surat kabar Korea berbahasa Inggris, The Korea Times.
Selang 10 bulan kemudian, ia diadopsi oleh pasangan asal Michigan, AS.
"Nama Korea saya, seperti tercantum dalam dokumen adopsi saya, adalah Kang Mee-sok. Saya diadopsi ke Amerika Serikat ketika saya berusia sekitar dua tahun," ujar Kara kepada BBC News Korea.
Ia adalah satu dari lebih dari 160.000 bayi asal Korea yang diadopsi dan dibawa ke luar negeri selama puluhan tahun setelah Perang Korea usai.
Kara mengatakan ia adalah anak hasil adopsi yang 'bahagia'. Asimilasinya di AS juga sukses.
"Jika ada yang bertanya ke saya, 'apakah kamu tidak pernah ingin menemukan keluargamu?' saya selalu mengatakan, 'tidak, keluarga saya sekarang adalah keluarga saya, saya tidak tertarik dengan masa lalu dan saya menanti masa depan', dan itu akan mengakhiri perbincangan," ujar Kara.
10 tahun lalu ia menikah dan pindah ke Belanda dan kini memiliki dua anak. Ketika anak perempuannya berusia sekitar dua tahun, ia tiba-tiba memikirkan ibu kandungnya.
"Ketika saya melahirkan anak perempuan saya, saya baru memahami ikatan kasih tanpa syarat yang sebenarnya, yang terbangun di dua tahun pertama masa perawatan anak," kata Kara.
"Saya lalu memikirkan ibu saya. Pasti sungguh menyakitkan bagi dia, untuk harus membuat pilihan yang menyiksanya dan meninggalkan anaknya."
Tes DNA
Pada 2016, ia mengikuti tes DNA dan mengunggah hasilnya ke situs geneaologi online bernama MyHeritage. Namun, ia tidak menemukan kecocokan DNA di situs tersebut sehingga ia pun melupakannya, seperti dikutip dari Korea Times.
Pada 2017, keluarganya berkunjung ke Korea dan mengunjungi agen adopsi yang mengurus adopsinya dulu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut soal ibu kandungnya.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya ia menemukan DNA yang mirip dengan DNA-nya di situs tersebut pada Januari 2019.
"Bagi saya, itu adalah hal yang sangat besar karena itu petunjuk pertama dalam pencarian saya.
"DNA tentunya tidak bisa bohong, jadi saya memiliki hubungan biologis sesungguhnya untuk pertama kalinya dalam hidup saya," kata Kara.
DNA itu milik seorang pelajar asal Korea Selatan berusia 20-an tahun yang sedang tinggal di luar negeri. Ternyata, pemuda itu adalah keponakan Kara, sehingga ibu pemuda itu bisa saja kakak tirinya, dan kakek sang pemuda adalah ayah kandung Kara.
Saat pertama ditemui, keponakan Kara mau bicara dengannya. Tapi, ia tiba-tiba berhenti berkomunikasi dengan Kara lantaran disuruh ibunya.
Kara lalu terbang ke Korea untuk menemui kakak-kakak tirinya, namun mereka tidak mau berhubungan sama sekali dengannya. Mereka juga melarang Kara untuk menemui ayah kandungnya.
Salah satu kakak tiri Kara bahkan menelpon polisi setelah ia bersujud dan memohon di pintu rumahnya, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP.
Pencarian Kara pun terhenti.
'Tidak manusiawi'
Karena kakak-kakak tirinya menghalangi Kara menemui ayah kandungnya dan Kara tidak berhak mendapat informasi mengenai ibunya yang dilindungi undang-undang mengenai privasi, Kara menempuh jalur hukum.
Pada 18 November lalu, Kara mengajukan gugatan paternitas terhadap pria yang diduga ayah kandungnya, agar dia diakui sebagai anak kandung.
Harapannya, jika dia memenangi gugatan, dia dapat melacak ibu kandungnya. Di Korea Selatan, persetujuan orang tua kandung dibutuhkan agar anak hasil adopsi dapat menghubungi mereka.
Ini adalah gugatan pertama di Korea Selatan untuk kasus seperti Kara.
Maret tahun ini, ia kembali ke Korea untuk kembali mengikuti tes DNA sebagai bagian dari proses gugatan paternitasnya. Ia kebetulan melihat alamat ayah kandungnya di dokumen pengadilania pun mengunjunginya.
Ia sempat bertemu dengan ayah kandungnya di rumahnya, namun, pria itu hanya melihatnya saja tanpa mengatakan apa-apa.
Beberapa hari kemudian ia kembali ke rumah ayahnya. Salah satu kakak tirinya ada di rumah itu dan mengusir Kara. Sejak saat itu ia hanya berkomunikasi lewat pengacara kepada kakak-kakak tirinya.
Ayah kandung Kara tidak datang ke pengadilan dan menghindari kontak dengan media.
Hasil tes DNA keluar pada April, dan menunjukkan bahwa kemungkinan Kara dan pria ini adalah anak dan bapak adalah 99,9981%.
"Keluarganya tidak mau menolong saya atau memberi saya informasi atau bantuan apa pun. Kenyataan sekarang bahwa mereka tidak bisa melihat masalah yang lebih besar terkait ini, di mana masalah intinya adalah ini hanyalah seorang anak perempuan yang mencari ibunya.
"Mereka bahkan tidak bisa bertindak manusiawi soal itu," kata Kara kepada BBC News Korea, sembari menyeka air matanya.
Kara merasa ketidaksediaan keluarga ayah kandungnya untuk membantunya mencari ibu biologisnya adalah sebuah bentuk 'ketidakadilan.'
"Hak asasi manusia yang mendasar seperti itu, tidak bisa mengimbangi perasaan mereka, yang mungkin malu, atau mungkin ini adalah skandal di keluarga mereka sekarang. Jujur, saya benar-benar tidak bisa mengerti.
"Itulah ketika saya mulai merasa kesal dengan ketidakadilan yang saya alami."
Kemenangan di pengadilan
Pada 12 Juni, pengadilan Korea Selatan memenangkan gugatan Kara, yang berarti pria Korea Selatan berusia 85 tahun tersebut harus mengakuinya sebagai anak kandungnya.
Berbicara kepada wartawan di depan pengadilan, Kara mengatakan:
"Ini adalah hari yang sangat penting bagi kami semua anak hasil adopsi, untuk akhirnya mendapatkan hak. Untuk menyuarakan perjuangan yang kami hadapi, tanpa memiliki hak apapun, untuk akhirnya bisa menghubungi keluarga kami.
"Saya harap hal tersebut bisa berubah di Korea. Saya harap tidak akan ada lagi yang mengalami apa yang saya alami."
Ia lalu melepaskan maskernya, dan berujar dalam bahasa Korea:
"Ibu, apakah Ibu mengenali saya? Tolong hubungi saya."
Meski demikian, ayah kandungnya masih belum menemui Kara. Pengadilan tidak dapat memaksanya menemui Kara, atau menguak identitas ibu kandungnya.
"Saya mulai merasa tidak terhubung kepada semua hal yang sebelumnya saya suka, kepada identitas saya dengan Korea, dan kepada negara dan masyarakat Korea, karena saya sudah seringkali terluka dan ditolak.
Kara mengatakan bahwa anak hasil adopsi mengalami kesulitan tersendiri yang tidak akan hilang begitu mereka menemukan orang tua atau keluarga baru.
"Begitu seorang anak diadopsi, mereka disuruh berterima kasih sejak mereka diadopsi. Banyak sekali kerumitan yang berkaitan dengan adopsi, dan saya ingin ini diakui. Seorang anak hasil adopsi juga bisa berduka, dan mereka harus mengenang kerugian yang dialaminya," ujar Kara.
Pada tahun 1998, presiden ke-15 Korea Selatan Kim Dae-jung meminta maaf kepada anak-anak hasil adopsi asal Korea.
"Saya penuh dengan penyesalan...hati saya sakit memikirkan bahwa kami sendiri tidak dapat mengasuh Anda hingga besar," kata Kim Dae-jung saat itu.
Kara akan tetap mencari ibu biologisnya, tapi sekarang fokusnya hanya satu, yaitu keluarganya.
"Saya hanya ingin pulang sekarang, dan rumah saya adalah bersama keluarga saya di Amsterdam," ujar Kara.
Sudah pernah menyimak saluran YouTube BBC Indonesia? Silakan berlangganan
https://www.youtube.com/watch?v=UFSg66hbnTA&feature=youtu.be
https://www.youtube.com/watch?v=R_NXnQYSa_E&feature=youtu.be
https://www.youtube.com/watch?v=EJb082dBR1s&feature=youtu.be
(ita/ita)