Tiga dokter Indonesia yang menangani pasien COVID-19 di London bercerita tentang pengalaman mereka menangani pasien di tengah kekhawatiran gelombang kedua pandemi di Inggris, negara dengan jumlah kematian kedua terbanyak di dunia.
Dalam periode sekitar dua bulan, sejak akhir Maret - saat jumlah kasus sekitar 17.000 orang dengan pasien meninggal lebih dari 1.000 orang - kasus kematian di Inggris melonjak tinggi menjadi lebih dari 288.000 kasus dan kematian lebih dari 40.000 orang per Selasa (09/06).
Rasa stres, khawatir, sangat sedih dan perasaan tak berdaya, merupakan apa yang dialami tiga dokter Indonesia saat Inggris mengalami puncak pandemi.
Dokter kebidanan dan kandungan, Dyah Mustikaning Pitha Prawesti, yang bekerja di Chelsea and Westminster Hospital, London mengatakan salah satu hal yang menurutnya "menyayat hati" adalah saat kondisi ibu yang baru melahirkan "memburuk" dan melihat "wajah suami atau pasangannya sedih".
"Dalam delapan sampai 10 minggu (selama puncak pandemi) saya tak ingat lagi berapa banyak pasien yang saya temui dalam kebidanan dan kandungan. Banyak sekali pengalaman yang tak saya dapatkan sebelumnya. Yang saya ingat adalah tatapan suami pasien dengan kondisi memburuk, ketika dia harus keluar ruangan dan meninggalkan istrinya, saya bisa membaca apa yang berkelebat di pikirannya, apakah dia masih bisa berkesempatan lagi melihat istrinya, ibu dari bayi yang baru dilahirkannya," kata dokter yang biasa dipanggil Pitha ini.
- Korban meninggal akibat Covid-19 melebihi 300.000 jiwa, AS dan Inggris tertinggi
- WHO: 'Kemungkinan virus corona tidak akan pernah hilang'
- Langkah awal Inggris keluar dari lockdown: Boleh keluar menikmati taman dan diminta pakai masker
"Melihat kejadian seperti ini sangat menyayat hati, karena saya pribadi sebagai dokter tentu sukanya dengan hal yang happy ending dan ketika tidak bisa meyakinkan pasien, ini membuat kita semua frustrasi," tambahnya.
Sementara Devie Falinda, yang bekerja di unit bedah mulut rumah sakit Chase Farm dan rumah sakit Barnet di London utara bercerita tentang seorang kakek berusia 80 tahun yang wajahnya luka robek karena jatuh di ruang isolasi.
"Dari raut wajah beliau, tampak sekali sangat kesakitan dan ketakutan, kami berusaha semaksimal mungkin membantu beliau dan memberi bantuan secara psikis. Tapi kami mendapat kesulitan dalam berkomunikasi karena terhalang tebalnya masker dan pelindung wajah," kata Devie.
"Dalam hati pun kami mengetahui bahwa pasien ini sangat sulit tertolong, karena virus Corona sangat menginfeksi mereka, terutama yang berusia lanjut," tambahnya.
Sementara Ardito Widjono, yang bekerja di unit perawatan khusus bangsal COVID-19 di rumah sakit Barnet mengatakan merasa "sangat sedih" pada saat puncak pandemi karena "harus memberi tahu berita duka" kepada keluarga pasien "beberapa kali dalam sehari."
"Kami harus mengontak keluarga yang tidak boleh berkunjung ke rumah sakit untuk memberi tahu berita duka. Sedih sekali rasanya saat mengontak mereka. Ini terus terjadi beberapa kali sehari dan setiap hari pada saat puncak pandemi," kata Ardito.
Di tengah langkah melonggarkan lockdown, termasuk dengan dibukanya sejumlah sekolah dasar pada awal Juni dan rencana dibukanya toko-toko pada pertengahan Juni, para dokter dan petugas kesehatan di Inggris mengatakan khawatir akan terjadinya gelombang kedua COVID-19.
"Salah satu hal yang kita perkirakan adalah gelombang kedua terutama kalau orang mulai mengabaikan aturan social distancing (jaga jarak). NHS (Jasa kesehatan Inggris) bersiap untuk gelombang kedua dengan kebanyakan rumah sakit belum kembali ke layanan seperti sebelum pandemi dan lockdown karena mengantisipasi gelombang kedua," kata Pitha.
Inilah cerita lengkap mereka.
"Apakah ini saat terakhir melihat istri hidup"
Bagi Pitha, satu hal yang membuatnya "merasa sangat kecil dan tak berdaya" adalah karena "tak banyak diketahui tentang penyakit ini, dan tak bisa meyakinkan pasien, bahwa semua akan baik-baik saja."
"Hanya bisa bilang, kami akan menangani sebaik mungkin," kata dr Pitha kepada wartawan BBC News Indonesia di London, Endang Nurdin.
Dan salah satu kondisi yang menurutnya paling berat adalah, "Ketika pasien kondisinya memburuk, hipoksia, ketakutan karena sesak tak bisa bernapas. Dan ketika pasien akan harus diintubasi, rasanya begitu tak berdaya ketika tidak bisa meyakinkan mereka, atau suami, atau pasangannya bahwa semuanya akan baik saja dan akan kembali normal lagi."
"Atau melihat wajah suami atau pasangannya bingung, sedih, pasrah, apakah ini saat terakhir bisa melihat istrinya hidup, apakah bayi yang baru dilahirkan akan pernah mengenal ibunya," tambah dokter yang pindah ke Inggris pada 2012.
Alat Pelindung Diri (APD) juga sempat menjadi masalah di Inggris dengan laporan terjadinya kekurangan di banyak rumah sakit. Namun belakangan kondisi persediaan APD sudah membaik.
Penggunaan APD yang menyebabkan tak bisa berkomunikasi secara lebih layak juga mengganjal bagi dokter Pitha, terutama komunikasi dengan para ibu yang mau melahirkan.
"Belum lagi harus selalu menggunakan PPE (Personal Protection Equipment atau APD) yang bikin gerah dan sesak. Tapi yang paling membuat resah adalah tak bisa berkomunikasi non verbal seperti biasa dengan pasien," kata dokter lulusan Universitas Indonesia untuk kedokteran dan spesialisasinya.
"Tapi yang paling membahagiakan adalah tak ada pasien maternity (persalinan) kami yang meninggal. Tiga pasien maternity yang harus diintubasi dan dirawat di ICU, salah seorang di antaranya sampai kondisinya sangat buruk dan tim ICU hampir menyerah, semua pulih dan kembali ke maternity ward untuk berkumpul dengan bayinya lagi. Satu pasien diintubasi selama 4,5 minggu sebelum bisa dilepas," cerita Pitha, dokter lulusan fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Sering melihat mobil jenazah
Bagi Devie Falinda, yang bekerja di unit bedah mulut, pada saat puncak pandemi, mobil jenazah menjadi pemandangan biasa.
"Selama empat tahun bekerja di Inggris, saya tidak pernah melihat mobil jenazah, namun menjadi pemandangan yang rutin. Ambulans juga sering lewat, tapi yang tak biasa tak ada sirene yang tak perlu dinyalakan karena jalan sepi," kata Devie.
Tetapi di tengah hektiknya rumah sakit-rumah sakit di London, terutama pada puncak wabah, Devie mengatakan tak ada kepanikan di lapangan.
"Saya amat sangat kagum dengan bagaimana langkah NHS mengorganisir dan menangani pandemi."
"Saya sangat bangga bisa menjadi bagian kecil saat sejarah diukir di salah satu hotspot dunia wabah ini. Tak ada yang panik. Kesan saya, semua menjalankan rencana besar yang disusun secara terstruktur, garis besar yang sudah ada sejak penanganan wabah kolera di London pada tahun 1800-an," kata dokter lulusan FKGUI yang mengambil spesialis bedah mulut di Universitas Edinburgh.
Membuat pasien nyaman pada saat-saat akhir
Bagi Ardito, salah satu hal yang mengguncangnya adalah memastikan kematian dan memberitahukan keluarga pasien yang meninggal. Dito menuturkan pernah pada satu malam "jumlah pasien meninggal lebih banyak dibandingkan jumlah pasien meninggal dalam dua tahun karier saya sebagai dokter."
Ia mulai bertugas di garis depan pada akhir Maret lalu, saat kasus virus corona di Inggris mencapai lebih dari 17.000 dan pasien meninggal lebih dari 1.000, jauh dari Italia yang saat itu tertinggi di Eropa.
"Pada akhir Maret, para dokter dari semua unit ditarik menjadi gugus tugas COVID-19," cerita Ardito saat pertama ditempatkan khusus menangani pasien virus Corona.
Rumah sakit Barnet di London utara adalah salah satu rumah sakit yang dipusatkan untuk merawat pasien COVID-19 dengan sebagian besar bangsal dijadikan tempat perawatan virus Corona.
"Pada pagi pertama tugas dalam gugus tugas COVID-19, saya merasa seperti mengikuti briefing militer sebelum diterjunkan ke perang. Puluhan dokter junior dan senior mendapatkan penjelasan tentang penanganan pasien," katanya merujuk pada tugas pertamanya akhir Maret lalu.
Setiap pagi, ada perombakan jadwal, karena sempat terjadi kondisi di mana sekitar sepertiga dokter harus melakukan isolasi mandiri karena mengalami gejala atau ada anggota keluarga mereka yang terinfeksi.
Setiap menangani pasien yang kondisinya memburuk, kata Dito, "pilihan beratnya adalah dibawa ke unit perawatan intensif atau tetap di bangsal sebagai langkah paliatif, dan memastikan mereka tetap nyaman saat menunggu saat-saat terakhir mereka."
- Dokter di Inggris 'diusir' oleh pemilik kamar sewa di tengah ketakutan virus corona
- Sesudah pandemi virus corona berlalu, apakah kita akan kembali berjabat tangan?
- Enam vaksin virus corona yang sudah diuji coba pada manusia
Pasien yang masuk perawatan intensif dan dirawat dengan ventilator adalah mereka yang didiagnosa memiliki peluang sembuh lebih besar.
Dalam satu sif malam, pasien yang meninggal lebih banyak dibanding dua tahun tugas
"Kondisi ini yang membuat saya sangat sedih. Jumlah pasien yang meninggal, begitu banyak dan belum pernah saya hadapi sebelumnya. Dalam satu sif malam, saya dan satu kolega dokter memastikan kematian lebih banyak dibandingkan jumlah pasien meninggal yang saya pastikan dalam dua tahun terakhir saya bertugas," tambah dokter lulusan King's College London ini.
"Kami mengontak sanak keluarga pasien setiap hari untuk memberi tahu perkembangan. Ini sudah berat, namun yang jauh lebih berat adalah memberi tahu lewat telepon beberapa kali sehari, merupakan beban yang luar biasa menyedihkan," tambahnya.
"Cerita yang tak akan saya lupa adalah ketika ada pasien bapak berusia sekitar 60 tahun, yang ibu dan bapaknya juga meninggal karena COVID-19, dua minggu sebelumnya. Pasien ini tidak punya anak dan keluarga lain."
"Setelah orang tuanya yang berusia sekitar 80-an meninggal, bapak ini meninggal, tanpa ada anggota keluarga yang saya bisa kontak," katanya mengingat momen memastikan kematian pasien COVID-19.
Namun secara keseluruhan, tambahnya, hal yang melegakan adalah sebagian besar pasien di bangsal khusus COVID-19, sembuh.
Mendampingi pasien
Anas Alamudi yang bertugas sebagai perawat di unit gawat darurat, Rumah Sakit King's College, London juga mengalami pengalaman serupa.
"Saya sempat merawat pasien tua yang tidak punya keluarga. Next of kin (anggota keluarga) beliau yang tercatat adalah pekerja sosial yang ditugaskan untuk membantu si pasien. Pasien ini bukan kandidat untuk dirawat di ICU, karena kemungkinan besar beliau tidak akan bisa selamat dengan sedation (ditidurkan), intubation (intubasi) dan ventilator. Saya, seorang perawat yang lain, dan seorang dokter bertiga menunggui pasien tersebut. Kita menggandeng tangannnya, menyisir rambutnya, dan memberi obat untuk membantu pernapasannya. Beliau tidak meninggal sendirian," cerita Anas.
Anas mengatakan ada dua tempat yang dipisahkan di UGD, tempat "bersih" dan "kotor".
"Kalau pasien dari ambulans atau yang datang lewat UGD, kalau ada gejala COVID, kita rawat di 'tempat kotor."
Pada tanggal 5 Mei lalu, Inggris mencatat kasus kematian tertinggi di Eropa, melampaui Italia menjadi 29.427, sementara Italia saat itu mencapai 29.315.
Sampai Selasa (09/06), pasien meninggal mencapai lebih dari 40.000 sementara kasus positif lebih dari 288.000.
Pemerintah Inggris sudah mulai melonggarkan lockdown antara lain dengan membuka sebagian sekolah dasar pada awal Juni dan akan mengizinkan toko-toko dibuka pada pertengahan Juni.
BBC
GEJALA dan PENANGANAN: Covid-19: Demam dan batuk kering terus menerus
PETA dan INFOGRAFIS: Gambaran pasien yang terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia
VAKSIN: Seberapa cepat vaksin Covid-19 tersedia?
Laporan khusus BBC terkait Covid-19
(nvc/nvc)