Pihak berwenang di Kota Wuhan, China, mengklaim telah menguji lebih dari tiga juta orang untuk mencari keberadaan virus corona sebagai bagian dari upaya pengawasan terhadap wabah Covid-19, sebagaimana dilaporkan koresponden BBC di China, Robin Brant.
Awal pekan ini, para pejabat China mengumumkan rencana untuk menguji 11 juta orang dalam 10 hari di kota tempat penyebaran bermula, setelah kemunculan kasus-kasus baru yang jumlahnya sedikit tapi merisaukan.
Aparat Wuhan berniat melakukan tes asam nukleat ke semua penduduknya guna mencari orang-orang yang asimtomatik alias mereka yang terinfeksi dan bisa menularkan virus ke orang lain, tapi mereka sendiri tidak menunjukkan gejala.
Pengujian dilakukan di berbagai tempat yang memungkinkan orang-orang bergerak leluasa, seperti di taman, daerah permukiman, dan lapangan parkir.
Klaster kasus-kasus baru dilaporkan muncul di kawasan permukiman yang diduga berkaitan dengan seorang pria berusia 89 tahun yang sakit pada Maret lalu.
- Mungkinkah China mengetes virus corona 11 juta orang dalam 10 hari saja?
- Virus corona di China: 'Bebas kasus Covid-19 lebih dari sebulan', sekolah di Wuhan kembali dibuka dan pelajar wajib jalani tes dahulu
- Virus corona: 'Ada 'bukti besar' virus berasal dari laboratorium China, kata Menlu AS
- Mengapa klaim China tentang 'tak ada lagi kasus' corona dianggap meragukan?
Detil rencana melakukan tes massal Covid-19 terhadap 11 juta penduduk Kota Wuhan pada Selasa (12/05).
Menurut surat kabar The Paper yang mengutip sejumlah dokumen, setiap distrik di Wuhan diharuskan membuat rencana masing-masing sesuai dengan jumlah penduduk dan tergantung pada apakah sekarang muncul kasus baru di wilayah itu.
Uji massal dilakukan terhadap para pegawai sebuah pabrik di Wuhan, pada Jumat (15/05). (EPA)
Dokumen yang beredar menyebut rencana pengetesan massal itu sebagai "pertempuran selama 10 hari". Disebutkan penduduk usia lanjut dan perkampungan padat harus didahulukan dalam pengetesan ini.
Namun sejumlah pejabat yang dikutip surat kabar Global Times mengisyaratkan bahwa pengetesan skala besar di seluruh kota akan memakan biaya besar dan tidak mungkin dilakukan.
Kasus baru Covid-19
Rencana ini muncul setelah Wuhan melaporkan enam kasus baru padahal kota itu tidak mengalami infeksi baru sejak 3 April.
Kasus baru di Wuhan itu masuk dalam data pemerintah China yang menyebutkan ada 17 kasus baru Covid-19 pada Senin (11/05), menandai kenaikan harian tertinggi sejak 28 April lalu,.
Padahal, pekan lalu, kantor berita Xinhua melaporkan tidak terdapat kasus positif Covid-19 di seluruh Provinsi Hubei, termasuk ibu kotanya, Wuhan, selama 32 hari.
Atas dasar itu, berbagai sekolah di Wuhan, Provinsi Hubei, China, kembali beraktivitas, walau terbatas untuk siswa kelas 9 dan 12 yang bakal menghadapi ujian akhir jelang musim panas mendatang.
Keberadaan kasus-kasus baru, seperti dilaporkan kantor berita AFP, memunculkan kekhawatiran adanya gelombang baru penyebaran virus di kota Shulan di Provinsi Jilin.
Sebanyak 11 kasus baru muncul di Shulan sehingga pemerintah China memutuskan untuk memberlakukan karantina wilayah atau lockdown di kota itu.
Validitas data dipertanyakan
Kasus-kasus ini terkait dengan seorang perempuan yang bekerja di binatu. Perempuan berusia 45 tahun itu menularkan virus ke suaminya, adik-adiknya, dan beberapa kerabat.
Shulan berada dekat perbatasan Korea Utara, yang mengklaim tidak menangani satu pun kasus Covid-19.
Jumlah total kasus virus corona yang dikonfirmasi pada Jumat (15/05) di China telah mencapai 84.029. Adapun jumlah korban meninggal di negara itu yang tercatat 4.637 orang.
Sejumlah negara, seperti AS, sebelumnya mempertanyakan validitas data yang dibuka oleh pemerintah China.
AS juga menuding bahwa virus corona berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan, China, meski intelijen AS sebelumnya menegaskan virus itu bukanlah buatan manusia.
Semenjak kebijakan lockdown dilonggarkan, sekitar 85 juta warga China berbondong-bondong pergi ke lokasi-lokasi wisata utama di negara itu dalam tiga hari pertama liburan Hari Buruh (May Day), yang berlangsung lima hari, dimulai Jumat lalu (01/05).
Dilansir dari kantor berita Reuters, lonjakan pariwisata itu didominasi peningkatan jumlah pelancong dari Wuhan, Beijing, Dalian, Tianjin, dan Jinan, menyusul aturan karantina wilayah yang dilonggarkan karena menurunnya angka Covid-19 di China.
Ratusan tempat wisata juga telah dibuka kembali, termasuk di Kota Terlarang di Beijing.
Para murid-murid senior kembali bersekolah di Wuhan, Rabu (06/05). (Getty Images)
Berbagai sekolah di Wuhan, Provinsi Hubei, China, kembali beraktivitas, Rabu (06/05).
Aktivitas itu berlangsung setelah kota yang disebut sebagai tempat asal-muasal virus corona itu mengklaim bebas kasus Covid-19 selama 32 hari terakhir.
Meski begitu, aktivitas sekolah-sekolah tersebut dikhususkan untuk siswa kelas 9 dan 12 yang bakal menghadapi ujian akhir jelang musim panas mendatang.
Bagi pelajar kelas 12, ujian akhir itu akan menentukan universitas yang bisa masuki pada jenjang perguruan tinggi.
Merujuk laporan kantor berita Xinhua, total pelajar yang kembali bersekolah di Wuhan mencapai 57.000 orang.
Seluruh sekolah di Wuhan diwajibkan menjalankan protokol Covid-19. (Getty Images)
Di luar Wuhan, mayoritas pelajar kelas 12 lebih dulu kembali ke sekolah sejak awal Maret lalu.
Di seluruh Provinsi Hubei, setiap pelajar wajib menjalani tes virus corona sebelum diizinkan mengikuti aktivitas belajar-mengajar.
Sementara pihak sekolah diwajibkan menjalankan protokol kesehatan seperti jaga jarak di kelas dan kantin.
Belakangan, pemerintah China mengendorkan berbagai pembatasan sosial untuk mengembalikan situasi ke kondisi normal.
Di Korea Selatan, kekhawatiran akan gelombang kedua telah mendorong pembatasan baru, setelah serangkaian transmisi baru terkait dengan distrik kehidupan malam Seoul.
(ita/ita)