Dunia membutuhkan lebih banyak ventilator - tetapi meningkatkan produksi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di seluruh dunia, ribuan sukarelawan bekerja keras untuk menyediakan alat itu.
Ketika wabah virus Corona menyebar semakin cepat, para ahli perangkat keras di seluruh dunia mencoba melakukan sesuatu.
"Saya melihat posting Instagram dari seorang teman di Barcelona," kata Martin Serey, salah satu pendiri Pomo, perusahaan start-up peralatan medis di Chile.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya merasa kami memiliki masalah yang sama di sini, karena kasus virus Corona akan meningkat dengan cepat."
- Kapan ventilator buatan Indonesia diproduksi massal?
- Ada berapa macam tes virus corona dan seberapa akurat?
- Apakah virus corona dapat dibunuh dengan sinar ultraviolet?
- Kenapa wabah seperti virus corona semakin banyak di dunia?
Perusahaan Serey lalu menghentikan pengembangan alat bantuan prostetik untuk pasien stroke dan mulai memikirkan cara membuat ventilator.
Tidak ada cukup ventilator di rumah sakit untuk semua pasien yang terkena virus.
Sebuah laporan dari Imperial College London memperkirakan bahwa 30% dari pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit kemungkinan memerlukan ventilasi mekanik.
Satu-satunya cara untuk menghindari orang dirawat di unit perawatan intensif, katanya, adalah dengan mengurangi kontak sosial hingga 75%.
Tetapi beberapa negara lambat untuk bertindak.
Akibatnya, kekurangan ventilator tetap terjadi di banyak bagian dunia. Gubernur New York Andrew Cuomo, misalnya, mengatakan daerah yang ia pimpin kekurangan 30.000 unit.
Meski fungsinya sederhana, ventilator harus dibuat dengan material tertentu agar 'ramah klinis'. (Getty Images)
Dalam hal fungsi, ventilator bukanlah mesin yang sangat rumit.
Pada dasarnya, ini adalah pompa canggih - yang mengontrol oksigen dan aliran udara dari paru-paru pasien, mendukungnya, ketika paru-paru tidak dapat melakukan pekerjaannya.
Jadi mengapa ventilator begitu sulit untuk dirancang?
Karena bukan fungsi mereka yang sulit.
Itu karena ventilator harus beroperasi dengan cara yang sangat andal dalam keadaan kritis.
"Jika gagal, pasien kemungkinan besar akan meninggal," jelas Mauricio Toro, seorang insinyur Kolombia yang bergabung dengan sebuah kelompok di Medellin guna menyelesaikan desain tiga ventilator yang berbeda. "Inilah yang membuat ventilator begitu menantang untuk dibuat," tambahnya.
Karena unit perawatan intensif terlalu padat dan dokter harus merawat lebih banyak pasien, keandalan mesin tidak dapat dipertanyakan.
Tetapi satu-satunya cara untuk membuat ventilator dapat diandalkan adalah pengujian ekstensif, dan itu membutuhkan waktu - hingga dua tahun pengujian, untuk produsen komersial.
Dalam situasi serba darurat seperti sekarang, periode itu sangat panjang. Lebih banyak ventilator dibutuhkan saat ini, bukan nanti. Dan para ilmuwan telah menghitung bahwa pengembangan vaksin COVID-19 bisa memakan waktu hingga 18 bulan.
Getty Images
'Pertandingan' telah dimulai
Pemerintah dan otoritas kesehatan sangat menyadari tantangan ini.
Pemerintah Inggris bertujuan untuk menambah lebih dari 1.200 ventilator dalam waktu kurang dari dua minggu, dan memperkirakan akan membutuhkan 30.000 unit pada puncak wabah.
Untuk itu pemerintah Inggris telah meminta industri dan universitas untuk membantu.
Philips, salah satu perusahaan peralatan medis terkemuka di dunia, mengatakan kepada BBC Future bahwa pihaknya "menambah jalur produksi, meningkatkan jumlah shift, dan merekrut karyawan manufaktur untuk memenuhi peningkatan permintaan".
Banyak perusahaan besar lainnya mengikuti, bahkan ketika kapasitas produksinya terganggu karena krisis dan karantina wilayah alias 'lockdown' di China.
Bahkan tim balap Formula Satu pun ikut bergabung.
Dyson, perusahaan penyedot debu, sudah menerima pesanan 10.000 ventilator, dan upaya Smiths Medical untuk merawat pasien yang tidak kritis dengan perangkat CPAP (Continuous Positive Air Pressure), yang lebih umum digunakan untuk mengendalikan gangguan tidur mendengkur, berkembang pesat.
Sementara itu, para insinyur dan peneliti datang dengan solusi kreatif lainnya - seperti Ventil, mesin baru yang, ketika dipasang pada ventilator, dapat dipakai dua pasien secara bersamaan.
Tetapi sementara negara-negara berpenghasilan tinggi bisa melakukan itu, sebagian besar negara tidak.
Dan bahkan negara-negara berpenghasilan tinggi mungkin akan berada dalam posisi di mana mereka membutuhkan ventilator tambahan juga: ada laporan bahwa harga ventilator meroket ketika permintaan meningkat secara global.
'Lakukan sendiri'
"Anda tidak ingin orang-orang yang memproduksi barang-barang sendiri (do-it-yourself atau DIY) di luar sana jika tidak diperlukan."
"Tetapi jika kita mencapai titik di mana ratusan ribu atau jutaan orang sekarat karena tidak ada cukup ventilator, maka pilihannya adalah membuat alat itu sendiri," kata Andrea Ippolito, seorang dosen manajemen teknik di Cornell University yang menjadi relawan dalam sebuah kelompok yang disebut End Coronavirus.
Karenanya, ribuan pakar, pengusaha, dan sukarelawan di seluruh dunia mengembangkan berbagai kemungkinan solusi.
Dengan akses ke desain yang relatif sederhana, sejumlah perusahaan di Afrika atau Amerika Selatan dapat membuat ventilator dengan cepat dan murah menggunakan perangkat keras dan infrastruktur yang sudah tersedia.
Dan karena semua kekayaan intelektual dari proyek-proyek ini akan bebas digunakan, masalah perizinan dan hak cipta tidak akan menghalangi produksi.
Desainer bekerja dengan kecepatan sangat tinggi - setidaknya selusin prototipe ventilator pada tahap yang berbeda telah dikembangkan pada bulan Maret 2020 oleh tim di berbagai negara - dan mereka berkoordinasi lewat Slack, grup Facebook, dan repositori GitHub.
Mereka yakin dapat membantu menyelesaikan kemacetan produksi, khususnya di bagian dunia dengan kemampuan produksi yang kurang, seperti Afrika atau Amerika Selatan.
Colin Keogh, seorang ahli pencetakan 3D di University College Dublin, telah memimpin tim sukarelawan untuk pembuatan ventilator.
Timnya telah merilis prototipe pertama yang bekerja dengan mengotomatisasi "ambu-bags", pompa yang sering digunakan dalam ambulan dan perawatan darurat.
"Kami hanya mencari semacam sistem ventilator darurat berbiaya sangat rendah yang dapat disediakan sebagai garis pertahanan terakhir," kata Keogh.
Gagasan salah satu pendiri Pomo, Serey, serupa.
Ambu-bag terus didorong oleh tuas yang digerakkan oleh motor kecil, yang diprogram untuk mendorong pada tekanan dan kecepatan yang berbeda sehingga operator dapat mengontrol tekanan udara dan pasokan.
Bahkan lebih hemat daripada desain Keogh, ada yang tidak menggunakan bahan cetak 3D: hanya membutuhkan tali, dudukan untuk ambu-bag yang dapat dengan mudah dibuat dengan aluminium atau bahan lainnya, dan motor listrik yang dengan mudah tersedia di rak toko perangkat keras atau di toko-toko mekanik.
Inisiatif lain lebih ambisius.
Para peneliti dari Oxford University dan King's College London mendirikan OxVent, sebuah proyek yang bertujuan mengembangkan prototipe ventilator "yang tidak secanggih yang sekarang digunakan di rumah sakit, tetapi tetap memenuhi persyaratan dalam hal keselamatan dan fitur yang diperlukan," kata Federico Formenti, seorang dosen senior bidang Fisiologi Manusia di King's College London yang merupakan bagian dari OxVent.
Mesin seperti itu tidak akan dimaksudkan untuk menggantikan ventilator yang ada, tetapi lebih untuk mendukung pasien selama fase penyakit yang paling akut dan "memberikan pilihan bantuan pernapasan kepada pasien ketika rumah sakit kehabisan ventilator standar".
Tim Formenti sedang mencoba untuk menggunakan teknologi dan peralatan yang tersedia secara luas, seperti suku cadang yang sudah digunakan oleh layanan kesehatan Inggris (NHS), elektronik generik, serta perangkat lunak yang bebas digunakan.
"Tujuan kami adalah untuk dapat menghasilkan prototipe ini dengan komponen dan bahan yang tersedia di pasar, sehingga orang dapat membangun perangkat di, katakanlah, di laboratorium universitas," kata Formenti.
Tantangan
Satu kendala yang tersisa adalah pengujian.
Baik FDA dan MHRA (Badan POM AS dan Inggris) mengatur proses persetujuan cepat untuk ventilator dan perangkat medis lainnya pada krisis COVID-19, dan Formenti mengatakan timnya menyiapkan langkah-langkah untuk menjalani pengujian MHRA dalam waktu beberapa hari.
Kelompok lain percaya bahwa tahapan itu masih terlalu lama, sehingga mereka bekerja dengan pendekatan lain.
Kelompok End Coronavirus, misalnya, berupaya mengembangkan atau memperoleh "paru-paru besi": mesin yang mensimulasikan tekanan dan aliran udara paru-paru manusia. Melalui tes semacam ini, mereka berharap untuk menghasilkan bukti yang cukup bagi dokter untuk menggunakannya pada pasien - setidaknya sebagai upaya terakhir.
Jika seorang dokter harus memilih antara menggunakan ventilator yang diuji hanya pada "paru-paru besi" atau tidak sama sekali, para pemimpin End Coronavirus percaya dokter akan memilih yang pertama.
Bahan ventilator adalah tantangan lain.
Mesin itu tidak boleh aus, tidak menyebarkan infeksi, dan tahan dengan metode pembersihan yang berbeda, seperti bahan kimia atau sinar ultraviolet.
Persyaratan ini secara serius melibatkan proses desain.
"Ventilator tidak boleh menyebabkan kebakaran, dan oksigen sangat korosif untuk banyak bahan baku," kata insinyur Medellin Toro.
Ini bisa jadi rumit: misalnya, sementara proses pencetakan 3D itu sendiri membuat perangkat menjadi steril, plastik yang digunakan di dalamnya sangat keropos, sehingga sulit untuk menjaga potongan-potongan bersih dan aman setelah dicetak.
Ini berarti teknik itu paling cocok untuk membuat barang sekali pakai dan bukan untuk mengganti bagian konvensional atau seluruh mesin.
Sekalipun para perancang dan insinyur dapat menyelesaikan semua ini, mesin-mesin itu harus mudah digunakan oleh para profesional kesehatan, artinya mesin-mesin itu harus sama dengan yang sudah ada atau sangat sederhana untuk dipelajari cara pengoperasiannya.
Dokter diajari cara menggunakan ventilator di Universitaetsklinikum Eppendorf,Hamburg, Jerman, March 2020. (Getty Images)
Ini adalah kunci agar ventilator itu berguna dalam krisis ini: Akademi Kedokteran Nasional AS, misalnya, merekomendasikan rumah sakit "meminimalkan kebutuhan untuk melatih staf" untuk mengoperasikan ventilator sehingga mereka dapat melayani meningkatnya permintaan.
Formenti dan tim OxVent berencana untuk membuat "versi sederhana dari apa yang sudah tersedia di rumah sakit", sehingga seharusnya mudah untuk dioperasikan.
Namun, ini masih dalam proses. Dalam satu evaluasi terhadap 20 proyek, ditemukan bahwa hanya satu di antaranya yang "ramah klinis" untuk digunakan.
Tantangan lain adalah mengelola ribuan sukarelawan yang antusias untuk bekerja secara produktif.
Kedengarannya seperti masalah yang baik, tetapi itu masih menjadi masalah, kata Diana Rodriguez, pengembang perangkat lunak Venezuela yang berbasis di AS.
"Mengarahkan orang akan menjadi tantangan besar. Tidak semua orang memiliki keterampilan yang sama, jadi orang harus melakukan apa yang mereka kuasai."
Bagi sebagian besar pembuat dan perancang ventilator, semua masalah ini adalah sekunder dibandingkan dengan pentingnya menciptakan lebih banyak ventilator untuk menyelamatkan nyawa manusia.
Inilah sebabnya mereka menghabiskan ribuan jam dengan sedikit tidur dan mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain.
Artikel asli dalam bahasa Inggris dengan judul Covid-19: The race to build coronavirus ventilators di BBC Future.
(nvc/nvc)