Saat berjalan-jalan di salah satu pasar lokal Panaji suatu sore yang hangat awal tahun ini, saya menemukan toko-toko tutup di sepanjang jalan. Saat itu saya sedang mencari sepasang sepatu baru.
"Anda harus menunggu sampai malam," kata teman saya ketika saya menelepon untuk bertanya tentang jam buka toko.
Ternyata tidak ada toko apapun di Goa yang buka dari pukul 13:00 hingga 17:00: negara bagian India ini menganut gaya hidup 'susegad' sekitar waktu makan siang dan berlindung dari terik panas di siang hari.
Susegad - yang berasal dari kata Portugis 'sossegado' yang berarti 'tenang' - mengacu pada sikap santai warga Goa, yang tampaknya ingin terus hidup dalam perasaan puas.
- Kisah warga India di daerah panas terik dan kering kerontang
- Andaman: Desa kecil di India yang melarang warganya memakai sepatu
- Perusahaan kereta India rekrut transgender: "Saya tidak perlu dikasihani"
Perry Goes, seorang warga Goa yang tinggal di Bengaluru di negara bagian Karnataka selatan India, mengatakan kepada saya, "Seperti tidur siang, susegad lahir dari kesadaran bawaan bahwa Anda tidak dapat dan tidak boleh melawan hal-hal kecil dalam kehidupan."
Ditambahkannya, "Seperti pada sore musim panas yang gerah, hal terbaik yang bisa Anda lakukan adalah menghabiskan waktu di tempat teduh. Jika tidak, Anda tidak akan dapat menikmati malam musim panas yang nyaman, yang datang kemudian."
Namun, susegad lebih dari sekadar tidur siang. "Ini adalah tentang menjalani kehidupan dengan lambat, mengambil 'waktu manismu sendiri'," seperti yang dijelaskan oleh Shekhar Vaidya, seorang eksekutif pemasaran yang lahir dan menjalani sebagian besar kehidupan dewasanya di Goa.
"Lagi pula, untuk apa terburu-buru?" tambahnya.

Wartawan Joanna Lobo, yang tumbuh di utara Goa dan sekarang tinggal di Mumbai, mengenang susegad sejak kecil.
"Hari Minggu dihabiskan bersama keluarga, bersantai setelah makan siang yang terdiri dari nasi, ikan, dan sayuran, dan hanya bergosip tentang desa atau bermain kartu. Perasaan santai, perasaan puas dengan hidup, dicintai," ungkapnya.
Kepuasan, keheningan, dan kedamaian pikiran adalah hal yang muncul berulang kali ketika saya berbicara dengan orang-orang dari Goa - baik mereka yang tinggal di sana maupun mereka yang telah pindah.
Jika kota-kota lainnya di India dicirikan dengan suara lalu lintas kendaraan dan klakson kendaraan, di kota-kota dan desa-desa Goa, yang Anda dengarkan adalah dentangan lonceng gereja dan suara lonceng sepeda yang menandai waktu.
Susegad tidak berarti kemalasan atau kurangnya minat dalam pekerjaan, ujar Lobo.

"Sebagai orang luar Goa atau Bomoicar [sebutan untuk orang Bombay-Goa], keluhan terbesar saya adalah bagaimana kata itu diputarbalikkan dan disalahartikan sehingga orang-orang Goa dikira malas dan santai. Itu tidak benar. Kami bekerja keras tetapi juga ingin menikmati hidup," tegasnya.
Goes memiliki reaksi serupa yang menggambarkan situasi keluarga di mana dia merasa tidak berdaya. "Kadang-kadang, satu-satunya hal yang baik bagi jiwa saya adalah minum bir dingin dan tidur siang yang baik. Itu bukan kemalasan. Itu adalah memahami apa yang harus diperjuangkan dan apa yang harus dilepaskan, dan memiliki kepekaan untuk memutuskan di antara keduanya."
Stereotip tentang berbagai daerah di India tumbuh subur, masing-masing dipandang dengan sedikit kecurigaan dan superioritas - dari Punjabi yang heboh hingga Bengali yang agresif.
Tapi Goa, dipandang mengikuti irama drumnya sendiri. Negara bagian ini, yang memiliki salah satu populasi terkecil di India (hanya lebih dari 1,5 juta), menikmati sinkretisme unik dan bahagia yang dipengaruhi Hindu India dan Katolik Portugis.
Orang Portugis pertama kali tiba di Goa pada tahun 1510. Mereka datang karena berbagai alasan, yang paling utama untuk mengambil rempah-rempah berharga seperti lada hitam dan kapulaga hijau dan menyebarkan berita tentang agama Kristen.
Apa yang mereka temukan di Goa menyenangkan mereka: pantai-pantai perawan dan hutan yang subur, belum lagi pelabuhan yang memudahkan perdagangan di wilayah ini. Maka, Portugis tetap bertahan - selama lebih dari 450 tahun.
Baru pada tahun 1961, 14 tahun penuh setelah India memperoleh kemerdekaan dari Inggris, Goa tidak lagi menjadi koloni Portugis.
Bahkan, lumrah di Goa untuk mendengar penduduk setempat berbicara tentang India seolah-olah negara itu adalah wilayah yang terpisah dari daerah mereka, yang tidak memiliki banyak kesamaan.
Dan semangat susegad hanyalah salah satu dari sisa-sisa zaman Portugis, di wilayah dengan jiwa Mediterania ini.
Banyak orang Goa dari generasi yang lebih tua masih memiliki paspor Portugis dan memiliki rumah di negara itu.
Bahasa Portugis masih terus dipahami dan diucapkan secara luas di seluruh Goa, sementara susegad, agama Katolik, makanan, musik dan tarian, seni, dan arsitektur masih bisa didapati di Goa.
Wisatawan akan menemukan perpaduan lembut dari hidangan Portugis yang 'menikah' dengan bahan-bahan masakan khas pantai seperti kelapa dan lada; bahkan pao roti kenyal adalah dari Portugis.
Jika Anda berjalan di sekitar area Fontainhas di Panaji, yang disebut Goa's Latin Quarter, Anda akan melihat arsitektur Portugis klasik, dari gereja hingga rumah-rumah mewah.
Bahkan, beberapa warga Goa telah memulai restorasi rumah-rumah tua Portugis, untuk menjaga seni dan arsitektur tradisional tetap utuh; Palacio do Deao di Quepem dan Figueiredo House di Loutolim sekarang terbuka untuk pengunjung.
Vaidya menjelaskan ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara Goa dan Portugal sampai hari ini. "Tidak seperti orang Inggris yang mengeksploitasi sumber daya India, Portugis tidak menganggap Goa hanya sebuah koloni untuk menghasilkan uang,"katanya.
"Goa sebenarnya dianggap sebagai bagian dari Portugal. Karena itu, orang Goa juga menganggap mereka sebagai orang-orang Portugal sendiri, bukan orang luar," Vaidya menambahkan.
Apakah susegad hanya relevan bagi orang Katolik Goa, saya jadi bertanya-tanya, karena warisan Portugis lebih kuat bagi umat Katolik di Goa.
Saya tahu bahwa hanya sekitar 25% dari Goa adalah Katolik, sementara mayoritasnya, lebih dari 66%, adalah Hindu, dan mungkin hanya orang-orang yang telah menjadi Katolik yang melakukan susegad.
Namun, semua orang yang saya ajak bicara mengatakan itu bukan masalahnya; siapa pun yang telah tinggal di Goa bahkan untuk beberapa tahun, memeluk susegad.
Bahkan, menurut blogger Anuradha Goyal, yang pindah ke Goa lima tahun yang lalu setelah bekerja di New Delhi dan Bengaluru, susegad adalah daya tarik warga Goa, seperti matahari dan lautnya.
Dia menjelaskan bahwa selama lima tahun terakhir, sejak dia pindah ke Goa, rutinitas hariannya sekarang menjadi lebih lambat dan mudah, mengikuti kehidupan warga lokal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika saya mendorong lebih dalam alasan yang membuat susegad unik, saya mulai belajar bagaimana ikatan yang kuat tampaknya berkontribusi terhadap konsep tersebut.
Tentu saja, semuanya dimulai di Goa dengan tidur siang, suatu keharusan dalam masyarakat agraris di mana orang bangun lebih awal untuk bekerja di ladang atau untuk menangkap ikan untuk dijual di pasar pagi.
Bersamaan dengan pekerjaan, mereka juga belajar untuk beristirahat sesuai kebutuhan, keseimbangan yang menyebabkan perasaan puas.
Jadi pindah dari tidur siang ke susegad adalah evolusi alami dalam cara hidup orang Goa.
Goes menjelaskan bahwa Goa selalu diberkati dengan kemakmuran alam, sesuatu yang tercermin dalam kepuasan rakyatnya.
Lebih lanjut, katanya, "Ikatan masyarakat masih kuat di Goa: orang-orang bertani dan memanen bersama, atau bergotong royong untuk memasang atap atau lukisan dinding di rumah."
Menurutnya dan orang lain yang tinggal di Goa, perbatasan desa dan kota adalah "konsep pikiran" di negara bagian kecil itu, dan ada kepercayaan bawaan pada egalitarianisme, dengan berpikir bahwa "sama sekali tidak ada tekanan untuk menjadi lebih baik daripada tetangga saya".
Itu adalah sikap yang telah terbawa sejak masa lalu, ketika Goa merasa terisolasi, bukan secara geografis, tetapi secara sosial, dari India, yang diperintah oleh Inggris, sementara mereka sendiri memiliki Portugis sebagai penguasa.
Karena itu, ada kebutuhan untuk tetap dekat satu sama lain, terlepas dari status sosial atau afiliasi agama.
Seperti yang dikatakan Goyal, "Ketika Anda baru di Goa, dibutuhkan beberapa waktu untuk terbiasa dengan pendekatan susegadnya terhadap kehidupan, tetapi begitu Anda menyesuaikan diri dengan ritme, Anda mulai menikmatinya dan ia akan menjadi penentu bagaimana Anda menjalankan hari."
Anda bisa membaca versi bahasa Inggris dari artikel ini, Indias 'All is well' approach to lifedi laman BBC Travel
(ita/ita)