Dalam presentasi di hadapan para anggota Senat AS, Direktur Intelijen Nasional, Dan Coats, dan petinggi badan intelijen lainnya memaparkan kepemilikan senjata nuklir "sangatlah penting bagi keberadaan rezim" Korut.
Karena itu, menurut laporan intelijen tersebut, Korea Utara "kemungkinan tidak menyerahkan" pasokan senjata dan kemampuan memproduksi senjata selagi berupaya merundingkan "langkah-langkah denuklirisasi parsial guna memperoleh konsesi-konsesi kunci dari AS dan internasional".
- Kim Jong-un peringatkan AS, Korut bisa 'berubah arah'
- Korut mengutuk sanksi terbaru AS: 'Ini kesalahan kalkulasi terbesar Trump'
- Kim-Trump tandatangani 'kesepakatan': Hubungan AS-Korut akan berbeda sama sekali
Presiden AS Donald Trump dijadwalkan bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong-un, pada Februari mendatang.
Ini merupakan pertemuan kedua setelah tatap muka di Singapura, Juni 2018 lalu, untuk merundingkan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Meski demikian, topik itu hanya mengalami sedikit kemajuan sejak pertemuan tersebut.

Direktur Intelijen Nasional, Dan Coats, bersaksi di hadapan Komite Intelijen Senat AS. (Reuters)
Laporan intelijen bertajuk 'Tinjauan Ancaman Dunia' itu juga menyoroti berkembangnya ancaman dari China dan Rusia yang "semakin sejalan sejak pertengahan 1950-an".
Kedua negara disebutkan punya kemampuan "mata-mata siber" canggih, yang mungkin bakal digunakan untuk mempengaruhi pemilihan presiden AS 2020.
Di samping itu, laporan tersebut mengungkap bahwa Iran saat ini tidak sedang membuat senjata nuklir, walaupun "kemampuan militer yang meningkat dan ambisi regionalnya" mungkin akan mengancam kepentingan AS di masa mendatang.
- AS tarik pasukannya dari Suriah, Trump: 'Kami berhasil menaklukkan ISIS'
- Donald Trump ancam 'menghancur-leburkan' ekonomi Turki
- Pangeran Saudi: Penarikan mundur pasukan AS dari Suriah akan 'perkuat Iran'
Dalam sesi dengar pendapat di Senat, Direktur CIA, Gina Haspel, mengatakan Iran "secara teknis...mematuhi" perjanjian nuklir 2015 walau AS menarik diri.
Keputusan penarikan AS dari perjanjian itu dibuat Trump pada 2018 guna mengekang ambisi nuklir Iran. Untuk tujuan itu, Trump juga memerintahkan pengetatan sanksi terhadap Iran.

President Trump menunjukkan surat pengunduran AS dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018. (AFP/Getty)
Di Timur Tengah, laporan intelijen AS menyebutkan kelompok ISIS belum dikalahkan, walau Trump mengatakan sebaliknya.
Kendati kemungkinan tidak bertujuan mengambil wilayah baru, laporan itu menyebut ISIS akan mencoba "mengeksploitasi ketidakpuasan kaum Sunni, ketidakstabilan masyarakat, dan pasukan keamanan yang lemah untuk mengambil alih wilayah di Irak dan Suriah dalam jangka panjang".
Keputusan Presiden Trump menarik mundur pasukan AS dari Suriah disambut para sekutu AS dengan kekagetan. Trump berkeras ISIS sudah dikalahkan.
Hal itu disuarakan kembali oleh Pelaksana Tugas Menteri Pertahanan AS, Patrick Shanahan.
"Saya bisa katakan 99,5% lebih wilayah yang tadinya dikendalikan ISIS kini sudah dikembalikan ke rakyat Suriah. Dalam beberapa pekan, jumlahnya mencapai 100%," ujarnya.
(nvc/nvc)