Dahulu, laki-laki mencakup sebagian besar pengonsumsi alkohol di masyarakat Barat - digambarkan dengan sangat baik dalam budaya populer oleh tokoh Don Draper dalam serial Mad Men.
Namun para pakar epidemiologi mencatat bahwa meningkatnya pemasaran alkohol pada perempuan dan perubahan peran gender perlahan-lahan menggeser ketimpangan itu.
Secara keseluruhan, laki-laki masih hampir dua kali lebih mungkin mabuk-mabukan daripada perempuan. Tapi tidak demikian adanya pada kelompok yang lebih muda.
Bahkan, perempuan yang dilahirkan di antara tahun 1991 dan 2000 kini minum alkohol sama banyaknya dengan laki-laki - dan ke depannya, tingkat konsumsi mereka bisa melampaui laki-laki.
- Inggris masuk 16 besar Piala Dunia 2018, penjualan alkohol di pub London meningkat
- Sempat dicabut, larangan perempuan membeli alkohol di Sri Lanka diterapkan lagi
- Nenek moyang kita sudah minum alkohol sebelum menjadi manusia
Semakin banyak perempuan juga merasakan efek buruk dari alkohol. Data menunjukkan bahwa tingkat kematian akibat sirosis (kerusakan liver) melonjak 57% di kalangan perempuan usia 4564 tahun pada tahun 20002015 di AS, dibandingkan 21% di kalangan laki-laki.
Angka tersebut meningkat 18% di kalangan perempuan usia 2544 tahun, kendati menurun 10% di kalangan laki-laki sebaya. Dan pola minum alkohol yang berisiko meningkat khususnya di kalangan perempuan.
Tapi masalahnya tidak sekadar bahwa perempuan minum alkohol lebih banyak dari laki-laki. Para peneliti menemukan bahwa tubuh perempuan terdampak alkohol secara berbeda dibandingkan laki-laki.
Para ilmuwan menemukan bahwa perempuan menghasilkan enzim bernama alkohol dehidrogenasi (ADH), yang dikeluarkan di liver dan berfungsi mengeluarkan alkohol di dalam tubuh, dalam kuantitas yang lebih kecil.
Sementara itu, lemak mempertahankan alkohol, sedangkan air membantu menguraikannya. Jadi karena tubuh perempuan memiliki lemak yang lebih banyak dan air yang lebih sedikit, perempuan mengalami respon psikologis yang lebih dramatis terhadap alkohol.

"Kerentanan itulah alasan kenapa kita mengamati peningkatan masalah medis pada perempuan dengan gangguan alkohol, dibandingkan laki-laki," kata Dawn Sugarman, profesor psikologi di Sekolah Medis Harvard.
Perempuan yang minum alkohol berlebihan juga cenderung mengembangkan adiksi dan masalah kesehatan lainnya lebih cepat daripada laki-laki.
Fenomena ini disebut 'telescoping': perempuan dengan masalah alkohol cenderung mulai minum-minum di usia lebih tua daripada laki-laki, tapi mereka lebih cepat ketagihan alkohol. Perempuan juga lebih cepat merasakan penyakit liver serta gangguan pada jantung dan syaraf.
Banyak perbedaan berbasis-gender dalam efek alkohol pada tubuh baru ditemukan dalam beberapa dekade belakangan ini. Studi tentang perbedaan berbasis-gender dalam ADH, misalnya, dipublikasikan pada tahun 1990.
Bahkan, hampir semua studi klinis tentang alkohol dilakukan pada laki-laki sampai tahun '90-an. Ini sebagian dikarenakan para ilmuwan didorong untuk mengeliminasi sebanyak mungkin variabel yang bisa mempengaruhi hasil eksperimen - salah satunya gender.
Dan karena mereka berasumsi bahwa alkoholisme umumnya adalah masalah laki-laki, tidak ada yang berpikir bahwa mereka mungkin melewatkan sesuatu dengan tidak mempelajari perempuan.
Itu berubah ketika institusi pemerintah seperti Institut Kesehatan Nasional AS mengharuskan perempuan dan kelompok etnis minoritas dilibatkan sebagai subyek penelitian klinis, dan kesenjangan gender dalam penelitian medis mulai mendapatkan perhatian.

"Orang-orang tidak memikirkan perempuan," kata Sharon Wilsnack, seorang psikiater dan profesor ilmu perilaku di Sekolah Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Universitas North Dakota.
"Kalaupun mereka memikirkan perempuan, mereka hanya berasumsi bahwa hasil penelitian pada laki-laki bisa diterapkan pada perempuan."
Wilsnack menyusun disertasinya di awal tahun '70-an tentang perempuan dan alkohol; tinjauan literaturnya hanya menemukan tujuh studi di Perpustakaan Widener Harvard.
Bersama suaminya, seorang sosiolog, Wilsnack kemudian memimpin penelitian nasional jangka-panjang pertama tentang kebiasaan minum alkohol pada perempuan.
Di antara banyak temuan mereka adalah perempuan yang menyalahgunakan alkohol seringkali pernah mengalami pelecehan seksual di masa kanak-kanak, perbedaan berbasis-gender yang sejak saat itu dianggap krusial dalam membantu perempuan yang ketagihan alkohol.
Penelitian berbasis gender sejak itu telah menemukan berbagai hasil yang spesifik pada jenis kelamin tertentu.
Pada tahun 2000-an, pindaian otak pada para alkoholik sepertinya menunjukkan bahwa otak perempuan lebih sensitif terhadap alkohol daripada laki-laki.
Tapi Marlene Oscar-Berman, profesor anatomi dan neuropsikologi di Sekolah Kedokteran Universitas Boston, menemukan suatu kejutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika timnya mengamati otak para peminum alkohol jangka-panjang, mereka menemukan bahwa alkoholik laki-laki memiliki 'pusat imbalan' yang lebih kecil daripada laki-laki non-alkoholik. Wilayah otak ini, terdiri dari bagian sistem limbik dan korteks frontal, dikaitkan dengan motivasi; kunci dalam proses membuat keputusan dan bahkan penting untuk bertahan hidup.
Tapi pada perempuan alkoholik, pusat imbalannya lebih besar daripada perempuan non-alkoholik - mengimplikasikan bahwa otak mereka mengalami kerusakan yang lebih ringan dibandingkan laki-laki.
"Temuan itu benar-benar mengagetkan kami," kata Oscar-Berman. "Temuan kami seakan menantang anggapan umum bahwa perempuan lebih rentan terhadap kerusakan otak akibat alkohol daripada laki-laki." Para ilmuwan belum memahami penyebab perbedaan ini.
Temuan seperti ini menunjukkan pentingnya studi spesifik-gender tentang alkohol dan adiksi, kata Sugarman.
Ia menyoroti penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa perempuan yang ketagihan alkohol menunjukkan hasil yang lebih baik ketika mereka dirawat dalam kelompok khusus perempuan, yang juga mengedukasi mereka tentang elemen spesifik-gender dalam adiksi mereka dan motivasi perempuan untuk minum alkohol.
Mungkin bukan hal yang mengejutkan, motivasi tersebut berbeda dari laki-laki.
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku minum alkohol pada perempuan terkait dengan upaya mengatasi rasa sakit emosional, sementara pada laki-laki perilaku tersebut lebih terkait dengan tekanan sosial.

"Beberapa perempuan pernah menjalani perawatan [alkohol] lima, enam, sampai sepuluh kali, dan mereka mengatakan hal-hal seperti, 'Saya belum pernah mendengar informasi ini,' dan 'Saya tidak pernah dengar bahwa saya lebih rentan terhadap alkohol dibandingkan laki-laki, atau bahwa alkohol berdampak pada saya secara berbeda,'" kata Sugarman.
Karena motivasi yang berbeda ini, kerentanan biologis dan khususnya karena kaitan antara alkoholisme pada perempuan dengan trauma, penting untuk mencari tahu bagaimana kebutuhan perawatan alkohol pada perempuan berbeda dari laki-laki.
Contohnya, perempuan yang pernah mengalami pelecehan seksual mungkin tidak merasa aman mengikuti kebanyakan kelompok terapi untuk ketagihan alkohol, yang komposisi gendernya bisa mencapai 70% laki-laki.
Bagi perempuan-perempuan ini, mendengarkan cerita dari sesama perempuan dan mengetahui bahwa mereka tidak sendiri telah terbukti bermanfaat bagi proses pemulihan mereka.
Bagaimanapun, menurut para pakar, sudah saatnya kita berhenti berasumsi bahwa penelitian tentang hubungan laki-laki dan alkohol bisa langsung diterapkan pada perempuan.
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini, Why alcohol affects women more than men, di BBC Future.
(ita/ita)