
Pemandangan polisi antihuru-hara mendobrak tempat-tempat pemungutan suara 'merupakan bukti bahwa gairah kemerdekaan Catalunya menjerumuskan Spanyol ke dalam krisis politik terbesarnya selama satu generasi'.
Setelah kematian diktator Francisco Franco pada tahun 1975, Spanyol menyepakati undang-undang dasar baru pada tahun 1978.
Tapi kehendak demokrasi dari semua kekuatan politik tengah diuji, dan akhirnya diperkuat, oleh sebuah kudeta militer pada malam 23 Februari 1981, ketika Letnan Kolonel Antonio Tejero dari Guardia Civil menahan para anggota parlemen di bawah todongan senjata.
- 'Katalan menangkan hak untuk merdeka' dari Spanyol
- Sekitar 760 orang cedera dalam unjuk rasa referendum Catalunya
- Referendum Katalonia: Massa pro kemerdekaan datangi TPS, polisi menghalangi
Malam itu, Raja Spanyol Juan Carlos tetap setia terhadap demokrasi dan pengambilalihan kekuasaan dipadamkan.
Kekerasan berdarah yang dilancarkan kelompok separatis ETA (Euskadi Ta Askatasuna), dari wilayah Baskia (Basque) di bagian utara Spanyol, juga menguji konsensus demokrasi Spanyol.
Namun ETA kemudian meletakkan senjata pada tahun 2011 dan tujuan para pemimpin Baskia saat ini adalah bahwa mereka, dan Catalunya, akan diizinkan untuk mengadakan referendum sah melalui sebuah perundingan dengan Madrid.
- Demonstrasi raksasa jelang referendum kemerdekaan di Barcelona
- Barcelona menang atas Las Pasmas dalam pertandingan tanpa penonton
- Partai-partai separatis menang di Katalunya, Spanyol
Belum diketahui jelas bagaimana krisis Catalunya ini bisa diselesaikan.
Perdana Menteri Spanyol berhaluan konservatif, Mariano Rajoy, membela tindakan keras polisi di Catalunya hari Minggu (1/10), dengan tidak menyinggung adanya lebih dari 800 orang terluka, akibat kekerasan polisi yang berusaha mencegah mereka berpartisipasi dalam pemungutan suara yang dianggap ilegal oleh mahkamah Spanyol.
"Kami melakukan apa yang harus kami lakukan. Kami adalah pemerintah Spanyol dan, sebagai pemimpinnya, saya menjalankan tanggung jawab saya," katanya.
Presiden Wilayah Catalunya, Carles Puigdemont, juga bersikukuh terhadap referendum tersebut. Dia mengatakan bahwa suara 'Ya' adalah langkah pertama dalam perjalanan untuk mengumumkan kemerdekaan dan menciptakan sebuah republik baru.
Lalu sebagian orang Spanyol bertanya, di manakah raja berada di tengah krisis politik yang mengancam masa depan kerajaannya?
"Di mana dia? Dia harus membela perjuangan kita," kata seorang perempuan yang hanya ingin disebut sebagai Afrika, dalam sebuah demonstrasi antikemerdekaan di Madrid.
Saat Juan Carlos menikmati peran aktifnya dalam suasana perpecahan dan tekanan politik, Raja Felipe, putranya jauh dari hiruk pikuk politik.
Dia membatalkan semua pertemuan untuk beberapa minggu ke depan, namun Bagian Rumah Tangga Kerajaan mengatakan tidak ada agenda pertemuan atau pernyataan publik saat ini.
Sementara itu, di seluruh Spanyol, kecaman terhadap pemerintahan Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy yang membela status quo konstitusional tidak sekadar muncul dari kaum nasionalis Katalonia dan Baskia.
Para pemimpin partai kedua dan ketiga Spanyol, PSOE yang sosialis dan oartai sayap kiri Podemos, mengungkapkan kekhawatiran terhadap citra yang mucul akibat aksi keras polisi.
Pedro Sanchez dari partai PSOE mengatakan Spanyol membutuhkan 'regenerasi politik nasional,' sementara pimpinan Podemos Pablo Iglesias mengungkapkan bahwa ia 'jijik dengan apa yang dilakukan Partai Rajoy terhadap demokrasi kita'.
(jor/jor)