Timor Leste Siapkan Peternakan Buaya Walau Dianggap Hewan Suci

Timor Leste Siapkan Peternakan Buaya Walau Dianggap Hewan Suci

BBC Magazine - detikNews
Rabu, 10 Agu 2016 15:43 WIB
Dili -

Pemerintah Timor Leste tengah membangun sebuah peternakan buaya dengan alasan akan membantu menghentikan peningkatan jumlah kematian orang yang meninggal dunia akibat diserang buaya. Dari peternakan itu, pemerintah Timor Leste juga berharap mendapat pemasukan dengan menjual daging dan kulit buaya. Langkah tersebut bertentangan dengan keyakinan sebagian penduduk yang menganggap buaya sebagai hewan suci.

Di sebuah pangkalan militer yang terletak di pinggiran Ibu Kota Timor Leste, Dili, terdapat dua buaya air tawar yang tersohor, Antonius and Maria.

Legenda buaya

Ada masyarakat di Timor Leste yang meyakini bahwa buaya adalah leluhur orang Timor. credit: Alfeo Sanches Pereira

Mereka adalah maskot Angkatan Darat Timor Leste. Salah satunya merupakan bekas peliharaan Kolonel Toto Suratman, kepala polisi Indonesia pada penghujung 24 tahun kekuasaan Indonesia di Provinsi Timor Timur.

Seorang serdadu bernama Sidonio Barros mengajak saya melihat kedua ekor buaya tersebut dari balik pagar kawat yang tipis.

Serdadu berusia 23 tahun itu menggoyangkan dedaunan dan seekor buaya besar tiba-tiba muncul dari dalam air. Sidonio berjongkok dan membelai hidung buaya seberat 300 kilogram itu dengan lemah lembut.

Buaya tersebut, kata Sidonio, adalah keluarganya, salah satu leluhurnya. Dia lalu menoleh ke arah buaya itu dan mengenalkan saya kepadanya dengan sopan.

Rakyat Timor Leste punya banyak kisah legenda tentang buaya.

Timor Leste, sebuah negara bekas jajahan Portugal, resminya adalah negara Katolik.

Namun, pengaruh animisme masih sangat kuat di sini. Rakyat Timor Leste menjunjung buaya dan punya banyak kisah legenda tentang hewan reptil itu.

Menurut salah satu legenda, Timor adalah bekas buaya sebelum berubah menjadi pulau. Dalam bahasa setempat, buaya disebut Abo, yang juga berarti kakek.

Antonia Fonseca adalah Kepala Desa Tutuala. Dia berkeras bahwa manusia dan buaya saling terhubung.

"Buaya dan manusia adalah satu keluarga. Kita berkerabat. Apapun yang terjadi dan ke manapun kita pergi, keterhubungan itu tidak bisa diputuskan. Sudah diputuskan bahwa sebagian di antara kami akan merawat daratan, dan sebagian lainnya merawat laut. Mereka yang di darat tidak bisa ke laut dan mereka yang di laut tidak bisa ke darat," papar Antonia.

Pemerintah mengatakan 18 orang tewas dalam 10 tahun.

Dia kemudian mengenalkan saya dengan kepala suku di sini, Nicolau de Santana.

"Buaya berkembang menjadi manusia sehingga mereka bisa berjalan-jalan, bisa masuk hutan, dan bergerak bebas di daratan. Mereka berubah jadi manusia," katanya.

"Semuanya yang hidup di dunia ini datang dari mereka. Tuhan memutuskan nasib mereka. Beberapa bertahan di laut, beberapa di sungai."

Habitat beberapa spesies buaya air tawar hidup di bagian selatan Timor Leste. Panjang tubuh mereka bisa mencapai delapan meter, dan bergerak diam-diam di sungai dan danau. Dalam beberapa kasus, mereka menyerang manusia.

Saat Timor Leste berada di bawah kekuasaan Indonesia, yang berakhir 1999, pembantaian terhadap buaya berlangsung

Namun sejak Timor Leste merdeka 16 tahun lalu, buaya air tawar berkembang biak dengan bebas dan populasi mereka meluas ke kawasan permukiman manusia dan tempat manusia menangkap ikan.

Berdasarkan data pemerintah Timor Leste, lebih dari 18 orang meninggal dunia dan 70 lainnya cedera akibat serangan buaya selama 15 tahun terakhir. Jumlah itu amat mungkin lebih besar mengingat sejumlah kematian manusia akibat buaya tidak dilaporkan.

Buaya

Pemerintah Timor Leste ingin membuka peternakan buaya.

Menteri Lingkungan Timor Leste, Constancio Pinto, mengatakan buaya-buaya itu telah menjadi ancaman.

"Dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat peningkatan jumlah buaya. Mereka berkeliaran, yang sebenarnya adalah perilaku tidak biasa. Kami tidak yakin mengapa bisa begitu? Mungkin karena perubahan iklim. Jumlah buaya di sungai makin banyak. Bahkan beberapa kali mereka terlihat berkeliaran di dalam kota. Anda bisa melihat mereka di pantai," kata Constancio.

Penuturuan Constancio sejalan dengan pengakuan sejumlah penduduk Tuluvera. Di daerah tersebut, banyak orang memiliki kerabat yang meninggal dunia akibat serangan buaya.

Elda mengaku tidak menyalahkan buaya atas kematian kakaknya.

Elda Vicente, misalnya. Dia tinggal di samping kompleks permakaman yang dihuni mendiang kakaknya. Pria itu diserang buaya saat memancing dua tahun lalu.

Saya menjumpai Elda saat dia berziarah ke makam kakaknya. Elda mengaku tidak menyalahkan buaya atas kematian kakaknya.

"Jika kita berkata hal-hal buruk tentang buaya, maka kita tidak bisa punya anak. Mereka marah karena beberapa tahun terakhir kami tidak menghormati mereka, menyebut nama binatang, dan membuang puntung rokok ke laut. Mereka berhak marah," kata Elda.

Adik perempuan Kepala Desa Tutuala, Antonia Fonseca, juga diserang buaya saat dia berusia 14 tahun. Menurutnya, penduduk desa meyakini ada sesuatu yang salah dengan para korban buaya.

"Gadis 14 tahun tidak punya dosa, namun ketika kami memperhatikan, ibunya dan neneknya berbuat salah. Di sini kami punya keyakinan bahwa jika buaya menyerang kami, pasti kami berbuat sesuatu yang salah. Di matanya, kami tak lagi manusia yang harus dihormati . Kami menjadi mangsa, hanya sepotong daging buat mereka. Kami harus introspeksi, mungkin kami mengatakan sesuatu yang salah, berbuat kekeliruan."

Timor Leste adalah salah satu negara terbaru dan termiskin di Asia. Salah satu sektor yang diandalkan untuk mengembangkan ekonomi adalah pariwisata.

Populasi buaya di alam mengalami peningkatan

Pantai-pantai dan sejumlah gunung yang mempesona menjadi modal bagi pemerintah Timor Leste untuk mendatangkan lebih banyak turis sekaligus mengusir kemiskinan penduduk desa. Akan tetapi cerita tentang manusia yang diserang buaya di pantai menjad halangan untuk mewujudkan rencana tersebut.

"Kami percaya dengan cerita-cerita itu, tapi kami tidak mau menjadi korban darinya," ujar Menteri Lingkungan Constancio Pinto.

"Jika buaya tidak menyerang manusia, kita tidak usah mengusik mereka. (Tapi) mereka membunuh manusia, sehingga kami ingin menaruh mereka di tempat yang layak. Paling penting mana, nyawa manusia atau buaya?"

Tempat layak yang dimaksud Constancio adalah peternakan buaya, sejauh 30 menit berkendara dari Kota Dili.

Menurutnya, sebagaian penduduk desa meyakini ada sesuatu yang salah dengan para korban buaya

Joao Carlos Soares dari Kementerian Lingkungan Timor Leste mengajak BBC mendatangi kawasan berlumpur yang diklaim akan menampung 30 buaya dewasa.

"Buaya punya nilai ekonomi tinggi. Kulitnya bisa dipakai untuk jaket, sepatu, sabuk, dompet, dan dagingnya bisa dijual."

Saya bertanya kepadanya apakah makan daging buaya bagi sebagian orang di Timor Leste berarti menyantap keluarga sendiri?

"Ada dua versi. Beberapa orang meyakini itu. Lainnya akan makan (daging buaya)," katanya.

Kembali ke Desa Tuluala, para tetua adat resah dengan rencana pemerintah untuk membuat peternakan buaya.

Nicolau de Santana

Pemuka masyarakat Nicolau de Santana pemerintah harus bertanggaung jawab jika peternakan buaya berdampak negatif terhadap masyarakat Timor.

Jorginha Martins, seorang perempuan berusia 64 tahun, terlihat ketakutan ketika saya menuturkan rencana peternakan buaya.

"Bahaya itu ketika kami menyebutkan nama hewannya saja bahaya, apalagi menghalangi pergerakan mereka," kata Jorginha.

Rencana pemerintah tidak boleh dilakukan, tambah Jorginha seraya berbisik dan menggelengkan kepalanya. "Akan bawa malapetaka," ujarnya.

Nicolau de Santana, orang yang mengklaim punya kekuatan berbicara kepada buaya, mengatakan pemerintah Timor Leste harus bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi.

Dia secara pribadi tidak akan bisa berbuat apa-apa, kata Nicolau.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads