Kisah Edi, Mantan Pasien Panti 'Sakit Jiwa' yang Berhasil Sembuh

Kisah Edi, Mantan Pasien Panti 'Sakit Jiwa' yang Berhasil Sembuh

BBC Magazine - detikNews
Senin, 29 Feb 2016 15:38 WIB
Bekasi -
Edi

Kondisi Edi ketika pertama kali dibawa ke Panti Fajar Berseri di Bekasi.

"Bu, minta 2000 Bu. Bu, minta 2000...," suara lirih itu terdengar sesekali, begitu saya keluar dari mobil.

Saya sedikit bingung menyikapinya. Bagaimana semestinya saya menanggapi permintaan seorang wanita, yang ingin diberi uang Rp2000 -saya tidak tahu untuk apa- tetapi hidup dirantai di balik tembok teralis sebuah panti karena dianggap mengalami gangguan jiwa?

Saya mempercepat langkah saya, berusaha untuk tidak melihat ke arah asal suara.

Sedikit khawatir dia akan memanggil saya kembali, dan meminta uang 2000 yang dia harapkan itu.

Namun rasa was-was tersebut, semakin meningkat ketika saya akhirnya memasuki Panti Rehabilitasi Sosial Fajar Berseri yang berada di Bekasi, Jawa Barat tersebut.

Puluhan pria, beberapa di antaranya bertelanjang dada, dirantai kaki maupun tangannya ke tiang-tiang besi.

Alasannya karena mereka terganggu jiwanya dan dapat membahayakan keselamatan orang lain.

Mantan pasien

Berbeda dengan saya, Edi Priyono, pria berusia 30 tahun, tampak santai menghadapi para pasien.

Edi

Edi kini menjadi pekerja di panti dan biasa menyuapi para pasien.

Dengan penuh kesabaran Edi menyuap seorang pasien yang tampak enggan untuk makan.

Bukan tanpa alasan, Edi dapat melakunnya dengan kasih sayang. Dia dulu sama seperti mereka, menderita gangguan mental.

Disela-sela aktivitasnya sebagai seorang perawat pasien dengan gangguan mental, Edi menceritakan kisahnya.

''Asal muasal di akhir tahun 2014. Keadaan saya sudah menikah, sudah berkeluarga. Terkadang kita ada masalah, saya pelariannya hiburan di luar...," perlahan-lahan Edi membuka diri.

Dia mengaku sebagai seorang suami, ia merupakan sosok yang "kacau".

Tapi keadaan semakin buruk, setelah perlahan-lahan berbagai masalah finansial muncul. Ia merasa tertekan dengan pekerjaannya dan tidak mendapatkan upah yang layak.

Alhasil Edi memutuskan untuk berhenti bekerja di sebuah pabrik dan beralih menjadi pedagang batu-batuan seperti batu akik.

jiwa

Penyebab gangguan jiwa beragam dan sulit untuk benar-benar diketahui.

Namun hal tersebut membuat keadaan semakin sulit karena pemasukannya ternyata lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.

"Saya kan, rumah tangga di situ punya kreditan-kreditan. Ya dari situ, saya kacaunya dari situ, cekcok. Saya lupa diri, sering minum, saya makai ganja," ungkap Edi.

Ia kemudian mulai sering marah. Dan setiap kali marah, dia menjadi agresif.

"Kalau kondisi kayak gitu, gak kontrol. Jadi apa yang melawan saya, di situ saya lawan".

"Saya sempat berantem sama paranormal yang mencoba menyembuhkan saya. Hampir saya bunuh gitu. Saya bukan diri saya yang sebenarnya," kenang Edi.

Malang melintang seorang diri

Istri dan anak-anaknya akhirnya meninggalkannya. Keluarga pihak istri -karena Edi tidak memiliki keluarga kandung- menempatkannya di sebuah rumah sakit jiwa di Grogol.

Tapi setelah kurun waktu tertentu, Edi dilepas sebelum pulih karena keluarga tidak sanggup membayar biaya pengobatan dan dia terpaksa bertahan seorang diri.

Suatu hari pada bulan Mei 2015, warga menemukan Edi malang melintang mencari istrinya di kawasan Bekasi.

Edi

Edi mengaku sekarang tidak lagi ambisius mengejar harta.

Melihat Edi yang tampak bingung, warga membawanya ke panti rehabilitasi gangguan mental Fajar Berseri di Bekasi.

"Saya tiba di sini kan dirantai. Dirantai, kondisi saya memang begitu. Dua hari, tiga hari, teriak-teriak.

"Mungkin kalau gak dirantai saya yang ngelukain orang. Saya dirantai karena saya agresif," kata Edi.

Setelah dirantai selama dua minggu, Edi mulai tenang dan akhirnya rantainya dilepas.

Pada bulan Agustus 2015, kondisi Edi membaik secara signifikan dan ia secara resmi dinyatakan stabil secara mental.

Perawat di panti

Dia lalu mulai bekerja di panti tersebut dan merawat para pasien.

Setiap hari, Edi memandikan para pasien pria yang berjumlah sekitar 30 orang, memberi mereka makan, memberi mereka kasih sayang.

"Saya di sini memang sudah niatnya gak nyari materi yang lebih. Saya gak ingin berlebihan nyari kerja. Diupah syukur, gak ya udah. Saya di sini ibadah," tuturnya.

Tapi Edi mengaku tidak dapat lagi bersatu kembali dengan keluarganya karena istrinya menganggap lebih baik untuk hidup terpisah.

Selain itu juga tidak mudah untuk bisa kembali ke masyarakat

"Kalau dari masyarakat sih, pandangan untuk mereka-mereka yang seperti saya itu kan kebanyakan masyarakat bukannya gak nerima, kita seperti terkucilkan di sini. Jadi sudah lain, untuk penerimaannya, untuk penilaiannya.

"Lainnya apa? 'Oh, dia udah pernah sakit, takut dipukul'. Memang sudah lain sama kita. Kita tanya, mereka pun gak nanya, kalau kita gak nanya," kata dia.

Masyarakat perlu membantu

Sedikitnya satu juta orang di Indonesia menderita gangguan jiwa dan diperkirakan 30.000 diantaranya hidup dalam keadaan dirantai karena keluarga tidak tahu apa yang harus mereka perbuat terhadap anggota keluarga tersebut.

Bagus Utomo, pendiri komunitas skizofrenia Indonesia menjelaskan bahwa selain menghadapi stigma, para penderita skizofrenia yang sudah sembuh memilki tantangan lain.

"Kesinambungan pengobatan, terus kemudian siapa yang harus mengurus dia sehari-hari. Dilepas pasungkan, gak langsung pulih gitu".

"Kemudian kegiatannya apa, kalau gak ada pekerjaan, kembali lagi melamun lagi, berhalusinasi lagi," papar Bagus.

Masyarakat oleh karena itu diharapkan untuk tidak berpandangan negatif terhadap mereka yang sudah sembuh, dan membantu mereka untuk kembali hidup dengan masyarakat.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads