Kain tenun khas Kalimantan Timur yang disebut Ulap Doyo telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Berbenda Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2013 lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akim, pengrajin tenun ulap doyo, tengah mencari daun doyo di sebuah lahan yang tak jauh dari Desa Mancong, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.
Daun doyo ini akan dibuat sebagai serat bahan baku tenun khas suku dayak Benuaq, yang disebut ulap doyo.
"Daun doyo ini kemudian dijadikan serat sambil dibilas di air sungai, atau disebut dilorot, dijemur dan dijadikan benang, lalu ditenun, biasanya diberi pewarna alami dari beragam tumbuhan hutan," jelas dia.
Doyo merupakan jenis tanaman liar yang tumbuh di hutan ataupun di ladang milk penduduk di Kalimantan Timur. Selain doyo, Akim juga mengambil pelepah kayu sebuah pohon untuk dijadikan pewarna alami.
Tanaman Doyo mirip dengan daun pandan tetapi berukuran lebih lebar, ini tumbuh di lahan-lahan pingiran hutan dan ladang di wilayah Kutai Barat.
'Sempat hilang'
Tanaman doyo dan berbagai tumbuhan yang digunakan untuk pewarna alami, saat ini sulit untuk dicari akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan di Kutai Barat sejak tahun 1990an. Kawasan hutan jadi semakin jauh dari permukiman penduduk.
Doyo yang biasa tumbuh di ladang penduduk juga tak dapat ditemukan karena para petani beralih menjadi pekerja tambang dan perkebunan kelapa sawit.
Salah seorang pengrajin, Rimin, mengatakan sampai ke desa tetangga untuk mencari doyo.
"Susah cari doyo, sampai ke Muara Tae, atau ke daerah lain lah sekitar satu jam dari sini, itu kendalanya perusahaan itu masuk kita, mana orang kita orang kampung ini jarang bikin ladang, apalagi kebakaran, bulan lalu kan musim kebakaran, susah kita cari doyo," jelas Rimin.
Sulitnya mencari tanaman doyo dan pewarna alam, membuat para perajin tenun menggunakan benang untuk membuat kain dengan motif ulap doyo, serta pewarna kimia.
Kemudahan mendapatkan benang sebagai bahan baku kain tenun, juga menyebabkan pembuatan Ulap doyo - yang diwariskan secara turun temurun di kalangan Suku Dayak Benuaq pun mulai bergeser.
Ketika diajari menenun Rimin mengaku lebih banyak menggunakan benang dibandingkan doyo.
"Memang diwariskan dari keluarga turun menurun, dari nenek sampai mamak, sampai anak ssampai cucu nanti, dulu nenek bikin ulap, dulu kan untuk dipakai tapi dari benang, lain dari ini mungkin ada bedanya kalau benang jahit itu mudah kita cari, kalau benang doyo itu kan susah kita cari ke hutan dulu, baru kita ngelorot lalu moyan, kalau kita beli benang jahit kan langsung sudah di toko engga pake putus-putus, kalau ini kan (doyo), putus-putus," jelas Rimin.
Penggunaan benang dan bahan pewarna kimia yang diturunkan ke anak-cucu menyebabkan tenun berbahan doyo dan pewarna alami sangat jarang dibuat. Selain itu, tenun yang menggunakan benang lebih diminati karena lebih halus dan dapat digunakan untuk bahan pakaian. Sementara yang berbahan doyo cenderung kasar dan keras.
Permintaan meningkat
Namun, seiring dengan peningkatan permintaan ulap doyo terutama dari wisatawan asing yang berkunjung ke Kutai Barat - membuat sejumlah warga pengrajin ulap doyo antara lain di Desa Tanjung Isuy dan Mancong kembali membuat tenun berbahan serat dari tanaman dan pewarna alami.
Tetapi, menurut Akim, mereka tak selalu dapat memenuhi permintaan tersebut.
"Doyo terutama yang dikembangkan, kalau tanpa doyo ulapnya tak bisa berkembang. Ini jadi fokus utama. Kalau ada bahan bakunya, pengrajin bisa diatur," jelas Akim.
"Sekarang di Kutai Barat sekali pesan bisa 50 atau 100. Kalau sekarang mungkin cukup bahan baku, tenaga yang tidak ada karena kita kan bukan pabrik mereka pesan minta 50 itu minta selesai 3 hari. Kita bikin tak pernah ada tumpukan padahal nenun terus menerus," tambah dia.
Proses pengerjaan ulap doyo dengan ukuran lebar sekitar 50 centimeter dan panjang 150 centimeter - butuh waktu sekitar satu bulan, jika dilakukan sejak proses pencarian daun doyo lalu dijadikan benang dan kain.
Namun kini, di Kecamatan Jempang ada pengrajin yang khusus membuat serat dari tanaman doyo, sehingga memudahkan pengrajin tenun.
Sekitar dua tahun lalu, ketika perusahaan tambang dan perkebunan sawit mulai berkurang, warga yang dulu bekerja di sana pun kembali berladang dan mengembangkan tanaman doyo.
"Dulu hanya lima orang yang bikin ladang, yang tua-tua saja, sekarang mereka bikin ladang, jadi kelihatannya doyo mudah dicari di ladang, sekarang saya lihat 90% masyarakat (kecamatan) Jempang bikin ladang, jadi doyo ini ada harapan," jelas Akim.
Akim menjelaskan warga pun mulai merawat tanaman doyo yang tumbuh liar di sekitar tanaman lain secara alami di ladang ataupun hutan.
Serbuan kain cetakan
Selain wisatawan asing, kini ulap doyo pun diminati konsumen dalam negeri dan digunakan sebagai bahan produk kerajinan seperti tas, yang diinisiasi oleh sejumlah organisasi non-pemerintah di Kalimantan, salah satunya Non-Timber Forest Product Exchange Programme for South and Sputheast Asia NTFP EP.
Romawati dari NTFP-EP mengatakan pembukaan pasar untuk produk kerajinan di Kutai Barat ini merupakan upaya agar mayarakat adat suku dayak Benuaq dapat melestarikan tradisi membuat ulap doyo dan menggunakan pewarna alami yang lebih ramah lingkungan
"Bahan serat dari pohon yang sudah masuk sebagai warisan budaya nasional, itu mungkin salah satu bentuk perhatian pemerintah tetapi masih kurang perhatiannya. Berbeda di Filipina ada serat nanas, bahkan ada UU untuk di Indonesia itu belum terlalu menjadi fokus bagi pemerintah," jelas dia.
Tahun 2013 lalu, Ulap Doyo ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Berbenda Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun, Roma menilai pengembangan ulap doyo masih menemui hambatan.
"Meski pemerintah daerah memang mewajibkan penggunaan baju motif ulap doyo bagi PNS, tetapi yang berkembang justru bahan cetak bermotif mirip ulap doyo. Jadi budaya tenun (dari tanaman) doyo ini tidak terangkat, untuk budaya menenunnya yang kurang diperhatikan," jelas Roma.
Roma mengatakan pembukaan pasar yang lebih luas bagi Ulap Doyo ini akan mengangkat ekonomi para pengrajin di Kalimantan Timur , sekaligus mendorong pelestarian budaya menenun dengan menggunakan bahan alami yang diwariskan secara turun temurun.