Kisah Joki Cilik dari Sumba

Kisah Joki Cilik dari Sumba

BBC Magazine - detikNews
Jumat, 18 Des 2015 11:50 WIB
Jakarta -






Di Sumba, anak-anak sudah mulai bekerja sebagai penunggang kuda professional, sejak umur lima tahun.

Menurut UU, mempekerjakan anak di bawah umur 15 merupakan perbuatan pidana, namun para tokoh Sumba menyebut, soal joki cilik ini adalah lebih soal budaya.

Tinggi tubuh kuda di Sumba lebih kecil ketimbang jenis kuda-kuda balap lainnya, hanya sekitar 1,5 meter. Meski demikian, Racun harus ditopang untuk menunggangi seekor kuda Sumba.

Begitu tubuh Racun berada di punggung kuda, tangan mungilnya langsung memegangi leher hewan tersebut. Sesaat kemudian, mereka melesat.

Meski memakai masker penutup wajah, Racun terlihat jelas di antara kerumunan penonton lantaran mengenakan jaket pink dan celana biru.

Kakinya yang tidak dibungkus sepatu dan kepalanya yang tidak dilindungi helm pun mudah dikenali.

Paman Racun, Domic Herwan, mengatakan keponakannya berusia 9 tahun tapi tampak lebih muda.

Walau tubuh Racun hanya setinggi satu meter, Domic mengaku tidak khawatir keponakannya bisa jatuh dan terluka.

"Oh dia biasa seperti itu. Dia kadang-kadang jatuh lalu kembali menaiki kuda. Dia pernah jatuh sekali dan kepalanya bocor. Darah pun mengalir. Kami membawanya ke rumah sakit dan mereka menjahit kepalanya, lima jahitan. Lalu dia kembali naik kuda. Dia melakukan itu agar kami bisa punya uang untuk membeli makanan," kata Domic.

Racun sendiri mengatakan suka menjadi joki karena gemar melaju kencang.

Β 

Bolos sekolah

Ade juga seorang joki cilik profesional di Sumba.

Dia telah berkeliling tiga putaran dan sangat kelelahan. Ayahnya pun datang dan menggendongnya melintasi arena balap.

Kelelahan adalah hal yang jamak dialami joki cilik. Bagaimana tidak? Dalam sehari mereka bisa menunggang 10 kuda di arena balap.

Cedera juga menjadi risiko yang harus ditanggung joki cilik. Ade, misalnya, menderita memar di matanya akibat jatuh dari kuda. Ayahnya mengatakan putranya tersebut telah menjadi joki cilik sejak berusia empat tahun.

"Kami mulai mengajarinya sejak dia berusia tiga setengah tahun. Sekarang dia berusia tujuh tahun dan merupakan penunggang yang hebat," kata ayah Ade, merujuk putranya yang menempati urutan dua dalam balapan terakhir.

Ayah Ade mengaku mendapat Rp50.000 setiap anaknya berkompetisi di arena balap.

"Dia menunggangi lebih dari 10 kuda dalam sehari. Jika dia punya energi tambahan, dia akan terus berpacu. Namun, jika lelah, dia akan beristirahat," kata ayah Ade.

Ibunda Ade mengatakan Ade dan kakaknya yang berusia 9 tahun, Ende, ialah dua joki cilik yang menjadi tulang punggung keluarga.

"Kami bisa mendapat sekitar Rp15 juta atau Rp10 juta setelah tujuh hari balapan," kata ibu Ade.
Jumlah tersebut, menurutnya, sangat berarti.

"Anak-anak paham ini pekerjaan mereka. Saat guru mereka bertanya mengapa sering bolos untuk balapan kuda, dia berkata, Siapa yang mengurus ibu saya dan memberi makan saudara-saudara saya yang masih kecil kalau bukan saya?" kata ibu Ade.

Β 

Tradisi budaya

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, anak berusia di bawah 15 tahun dilarang bekerja. Melalui undang-undang itu pula seseorang harus berusia setidaknya 18 tahun sebelum mereka bisa melakukan pekerjaan berbahaya.

Namun, penyelenggara balapan, Umbu Tamba, mengatakan kompetisi yang dia bentuk tunduk pada aturan.

"Ini adalah tradisi yang diturunkan nenek moyang kami sehingga kami tidak melanggar hukum. Hukum tradisional harus ada bersamaan dengan hukum negara. Waktu kecil saya juga joki, jatuh beberapa kali, dan saya baik-baik saja," kata Umbu.

Β 

Pekerjaan berbahaya

Kembali ke arena balap, Ade menunggang kuda lain. Dia membelok tajam dan melesat menuju gerbang masuk. Namun, gerbang itu tertutup dan kuda mendadak berhenti sehingga Ade terpelanting.

Ibunya buru-buru menghampiri.

Dia terlihat mencium kening anaknya. Namun, belakangan dia mengaku tindakan itu dilakukan demi mengusir roh-roh jahat agar menjauh dari putranya.

Kaki Ade tampak terluka, namun ibunya berkeras tidak membawanya ke rumah sakit.

"Tidak, kami tidak akan membawanya ke rumah sakit. Jika kakinya patah, kami akan gunakan obat tradisional. Di rumah sakit, jika mereka tidak bisa menyembuhkan kakinya, mereka akan langsung mengamputasi. Itu yang dilakukan orang-orang rumah sakit," kata ibu Ade.

Ade bangkit kembali dan berjalan. Kali ini kakinya memar.

Dia terlihat lelah dan menggelayuti pamannya.

Seiring dengan kian condongnya matahari ke barat, balapan kuda akan segera berakhir.

Ade berlari di tengah arena balap yang telah ditinggalkan penonton untuk menangkap jangkrik. Sedangkan joki cilik lainnya berjoget.

Mereka bebas menjadi anak-anak, setidaknya sampai balapan dimulai esok hari.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads