Pahit dan Manis Kampus AS dan Eropa di Singapura

Pahit dan Manis Kampus AS dan Eropa di Singapura

BBC Magazine - detikNews
Selasa, 16 Jun 2015 13:07 WIB
Jakarta -

Sebuah pameran seni yang memamerkan karya seni sejumlah mahasiswa baru-baru ini berlangsung di Singapura.

Menariknya, para mahasiswa itu merupakan angkatan pertama yang lulus dari kampus Glasgow School of Art di Singapura.

Institusi seni asal Skotlandia itu ingin membuka lebih banyak lagi jurusan dalam beberapa tahun ke depan dan bertujuan membantu mengembangkan iklim kreatif di negara-kota tersebut.

"Untuk masuk ke sekolah seni internasional, Anda harus mengerti cara kerja dunia dalam arti wilayah dan perbedaan cara berpikir serta perbedaan budaya. Hanya setelah berada di sana, Anda bisa mulai mengerti hal itu. Anda tidak bisa mengerti dengan mengawasi dari jauh," kata direktur Tom Inns.

Glasgow School of Art bukan perguruan tinggi asing pertama yang membuka kampus di Singapura. Sebelumnya, ada Tisch School of the Arts in Asia milik New York University.

Gulung tikar

Namun, berbeda dengan sekolah seni Glasgow yang baru membuka kampusnya di Singapura pada 2011, Tisch School of the Arts in Asia akan tutup setelah berkiprah selama kurang dari 10 tahun akibat terlibat hutang jutaan dolar.

"Kendati kesuksesan kreatifnya, kampus Tisch Asia gagal mencapai keberlanjutan finansial," bunyi tulisan di situsnya.

John Beckman, wakil presiden departemen hubungan masyarakat di New York University mengatakan mereka "belajar banyak" setelah berkaca pada pengalaman.

"Secara akademis dan artistik, kampus Tisch Asia merupakan sukses besar," katanya. "Namun keunggulan akademik juga sangat mahal. Kami terlalu optimis mengenai pendaftaran internasional dan lokal, yang sangat penting bagi banyak inisiatif akademik global," ujar Beckman.

Dewan Perkembangan Ekonomi (EDB) Singapura, yang bertujuan membawa investor ke negaranya, meluncurkan proyek "Global Schoolhouse" pada 2002.

Β 

Beckman menambahkan bahwa Tisch Asia "sebagai lembaga pendidikan tinggi seni yang relatif kecil dan independen adalah sebuah perusahaan yang ambisius".

"Kami bekerja dengan prinsip bahwa tidak akan menggunakan anggaran dari kampus di New York untuk megelola kampus global, kami seharusnya memperhitungkan faktor-faktor yang membutuhkan dukungan selain uang kuliah, khususnya pada tahun-tahun awal yang kritis."

Penutupan itu selain merupakan kegagalan mahal universitas tersebut, juga merupakan kegagalan bagi pemerintahan Singapura, yang mengundang mereka membuka kampus di sana pada 2007.

Tisch Asia tidak sendiri

Dalam beberapa tahun terakhir, University of New South Wales asal Australia, University of Las Vegas Nevada dan Warwick University juga terpaksa harus gulung tikar, kebanyakan karena alasan keuangan.

Singapura sering mengumumkan niat mereka menjadi pusat pendidikan global, dan mengatakan mereka berharap bahwa sektor itu kemudian bisa berkontribusi hingga 5% produk domestik bruto (PDB).

Dewan Perkembangan Ekonomi (EDB) Singapura, yang bertujuan membawa investor ke negaranya, meluncurkan proyek "Global Schoolhouse" pada 2002.

Mereka menawarkan hibah dan subsidi jutaan dolar untuk membawa institusi-institusi besar ke Singapura. Dalam beberapa hal, proyek itu lumayan sukses.

Sekolah bisnis asal Prancis, INSEAD, sudah mulai menjalankan kampus satelitnya. Universitas Yale asal AS juga sudah membuka cabang di sana, walau menuai kontroversi.

Namun menyusul kegagalan Tisch Asia dan universitas-universitas asing lainnya, tampaknya pemerintah setempat mengubah pikiran untuk membawa lembaga lainnya.

Alvin Tan, asisten direktur EDB bidang pengembangan perusahaan, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir penyediaan pendidikan tinggi lokal telah meningkat dalam hal "keragaman dan kualitas" dan dia mengatakan setiap lembaga akan menjadi "pelengkap" bagi pilihan lokal yang bagus.

Β 

Pertimbangan keuangan

Meski demikian, masa depan lembaga universitas di Singapura tidak hanya bergantung pada pertimbangan finansial.

Booth School of Business dari University of Chicago memutuskan memindahkan kampusnya dari Singapura ke Hong Kong agar lebih dekat dengan pasar Cina.

William Kooser, wakil dekan jangkauan global di University of Chicago mengatakan kontrak sewa mereka di Singapura akan habis tahun ini dan bahwa strategi mereka ditinjau ulang.

"Ada beberapa hal yang harus dimengerti lembaga pendidikan sebelum memutuskan membuka cabang asing," kata Kooser.

"Satu, itu tidak mudah. Itu tidak segampang mencontoh strategi yang digunakan di AS dan langsung masuk ke kota lain. Dua, anda harus mengerti tujuan program ini. Apakah ini untuk meraup untung? Atau lebih dari itu? Bila memang untuk meraup untung, bila Anda tidak mencapai target finansial, maka gampang untuk keluar. Namun bila Anda memiliki tujuan lain maka biasanya itu akan menjadi proyek jangka panjang."

Singapura sering dipuji karena kualitas hidupnya yang tinggi, stabilitas politik, lingkungkan berpajak rendah dan kemudahan berbisnis.

Namun, meningkatnya biaya kehidupan di sana menyebabkan masalah besar bagi universitas dan mahasiswa asing. Harga properti yang terus meningkat dan mata uang yang kuat menyebabkan harga sewa dan biaya kuliah yang makin mahal.

Menurut sebuah survei tahunan oleh Economist Intelligence Unit, Singapura adalah negara termahal di dunia.

Belum lagi masalah mencari pekerjaan setelah lulus.

Pasar tenaga kerja Singapura makin ketat dalam beberapa tahun terakhir, sehingga semakin susah bagi orang asing untuk memperoleh pekerjaan.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads