Hidup di Negara Tanpa Liburan

Hidup di Negara Tanpa Liburan

- detikNews
Minggu, 10 Mei 2015 14:58 WIB
Amerika Serikat adalah satu-satunya negara maju yang menganggap cuti sebagai tunjangan, bukan hak. (Kredit foto: Thinkstock)
Jakarta -

Edmund McCombs pindah ke Sydney, Australia, enam tahun lalu dan tak berencana untuk meninggalkannya. Bukan hanya karena kota itu punya pantai atau pelabuhan yang dipenuhi barisan café -yang membuat manajer kesinambungan sosial berumur 33 tahun ini kerasan di kawasan selatan bawah dunia itu. Ternyata, pria asal Florida ini tidak mau pindah lagi dari sana karena atasannya ingin agar dia berlibur dan menikmati kehidupan di luar pekerjaan.

McCombs berkata atasannya secara aktif mencatat waktu liburnya. Tujuannya bukan untuk memastikan agar dia sampai mengambil cuti terlalu banyak, tetapi untuk menjamin ia beristirahat secara teratur. Bahkan ada karyawan-karyawan di perusahaan properti dan prasarana yang ditugaskan untuk memikirkan cara-cara untuk berlibur dan menikmati hidup.

Berlibur sebagai norma budaya ini awalnya membuat McComb –yang terbiasa dengan cara berpikir Amerika– terkaget-kaget.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Australia, katanya, orang-orang berlibur dan menyibukkan diri dengan kehidupan ‘yang sesungguhnya’ tanpa kuatir dihukum akibat meninggalkan kantor.” Semangat yang merupakan perubahan besar baginya.

Berdasar undang-undang federal Australia, para pekerja dijamin mendapat cuti yang ditanggung perusahaan sebanyak 20 hari selain tujuh hari libur resmi. Tahun lalu saja, McCombs berwisata ke Fiji, Australia Barat, dan Florida.

Waktu enam tahun lalu dia bekerja di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, untuk sebuah asosiasi industri asuransi dan keuangan, ia hanya mendapat 10 hari waktu cuti saja dalam satu tahun.

“Untuk berhak atas cuti itu, saya harus bekerja selama setahun di sana, dan kemudian baru boleh memakai cuti itu di tahun berikutnya,” kenangnya. “Itupun dengan catatan, saya tak boleh mengambil cuti lebih dari lima hari berturut-turut.”

Bangsa tanpa liburan

Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara maju yang menempatkan waktu cuti yang ditanggung perusahaan sebagai tunjangan dan bukan sebagai hak. Sementara negara seperti Austria, Jerman, Italia, dan Spanyol menawarkan warga negara mereka lebih dari 30 hari libur setahun dalam bentuk cuti dan liburan tahunan. Tapi Amerika Serikat menawarkan… nol!

Penyebabnya adalah Undang-undang Standar Keadilan Buruh. Undang-undang peninggalan kuno tahun 1938 ini mengatur waktu kerja maksimum untuk seminggu, lembur, upah minimum, dan pekerja anak, tapi tak menyebut sama sekali cuti yang ditanggung perusahaan. Artinya, keputusan tentang liburan yang ditanggung, cuti sakit, dan libur nasional tergantung pada tawar menawar antara perusahaan dengan pekerja.

Sekalipun banyak perusahaan Amerika memberi hadiah bagi pekerja mereka antara lima hingga 15 hari cuti yang dibayar setiap tahunnya, sebuah penelitian baru-baru ini dari Pusat Riset Ekonomi dan Kebijakan AS menemukan bahwa hampir satu dari empat pekerja di perusahaan swasta AS sama sekali tak mendapat cuti yang ditanggung perusahaan.

Carrie Stevens yang bekerja sebagai pelayan bar adalah salah satunya. Perempuan berusia 31 tahun ini bekerja antara 38 hingga 45 jam per minggu di sebuah bar di Charlottesville, Virginia, dan mengaku tak pernah berhak atas cuti sakit ataupun libur satu haripun.

“Bahkan jika saya dapat cuti yang ditanggung perusahaan atau cuti sakit, dan bayarannya berdasarkan upah per jam, maka akan minimum,” katanya. Carrie baru saja mendapat kenaikan upah dari US$2,13 (Rp28.000) per jam menjadi US$3,50 (Rp46.000) dan mendapat sebagian besar penghasilan dari tip yang diberi para pelanggan. (Upah minimum di AS adalah US$7,25 (Rp95.000) per jam, tapi menurut hukum, para pekerja yang mendapat tip boleh dibayar lebih rendah per jamnya.)

Selama enam tahun bekerja, Carrie menghitung telah mengambil sekitar lima hari cuti setiap tahunnya. Dia harus meminta berbulan-bulan sebelumnya untuk cuti, yang biasanya digunakan untuk perjalanan singkat yang dibiayai dari tabungannya.

“Saya jelas sekali bisa merasakan kapan saya butuh liburan; yaitu ketika kesabaran dan toleransi saya terhadap tamu makin menipis,” kata pelayan bar.

Budaya ketakutan

Bahkan bagi orang Amerika yang mendapat hak cuti yang ditanggung perusahaan, dibutuhkan keberanian besar untuk benar-benar mengambilnya. Di Amerika, sesuai budaya kerjanya, tempat kerja adalah tempat orang sering merasa -ketika mereka meminta cuti- akan dicap sebagai malas atau tidak setia pada pekerjaan. Akibatnya, banyak yang tak menggunakan semua hari dalam cuti tahunannya. Para ahli mengatakan hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan dan pekerjaan, yang jarang ditemui dalam masyarakat di negara maju lainnya.

Sebuah survei yang mengejutkan, yang diedarkan oleh situs karir Glassdoor.com bulan April lalu, menemukan bahwa rata-rata pegawai di AS yang berhak atas cuti yang ditanggung perusahaan, hanya menggunakan separuhnya saja.

Sebanyak 20% dari pekerja itu berkata kepada Glassdoor bahwa mereka takut ketinggalan dalam pekerjaannya, sementara 17% takut kehilangan pekerjaan. Sedangkan 19% lagi menyatakan tidak mengambil cuti panjang karena ingin unggul dalam persaingan untuk mendapat promosi.

“Jelas bahwa sekarang ini kata ‘liburan’ di kalangan pekerja dan perusahaan tidak lagi sama artinya dengan di masa lalu,” kata Rusty Rueff, pakar karir dan tempat kerja di Glassdoor.

Pertarungan mengubah UU di AS



Edmund McComb pindah dari Amerika ke Australia dan tidak mau kembali lagi (Kredit foto: L Venegas)

Seorang anggota Kongres AS berulang kali mengupayakan jaminan untuk cuti yang dibayar. Alan Grayson dari Florida telah mengambil prakarsa ini beberapa kali.

Anggota Partai Demokrat ini yakin kakau tekanan yang terkait pekerjaan ikut berperan pada absen, rendahnya produktifitas, dan masalah kesehatan, yang menyebabkan dunia usaha menderita kehilangan pendapatan sebesar US$344 miliar setiap tahunnya. Grayson mengusulkan RUU di Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 2013 dengan nama UU Cuti Yang Ditanggung dengan tujuan antara lain menngharuskan perusahaan-perusahaan dengan 100 pegawai lebih untuk memberikan satu minggu cuti bayaran setiap tahunnya kepada karyawan tetap.

Undang-undang itu mendekam di bawah sebuah komite khusus, lebih dari setahun. Sebuah RUU serupa dengan yang diusulkan Grayson juga gagal tahun 2009. Setiap pegawai federal yang punya suara pada RUU itu, rekan-rekan Grayson di dewan perwakilan, mendapat cuti yang ditanggung sebanyak satu bulan dalam setahun.

Beberapa perusahaan di AS melawan kecenderungan 'negara tanpa liburan' ini dengan bermurah hati memberi waktu libur kepada karyawan atau bahkan mengharuskan karyawan berlibur, namun para anggota kongres merupakan bagian dari sedikit warga Amerika yang mendapat waktu cuti dengan jumlah hari yang setara dengan negara maju lainnya.

“Jika saya tak pernah meninggalkan AS, gagasan libur satu bulan tak akan pernah masuk ke dalam pikiran saya,” kata McCombs, lelaki asal Florida yang telah pindah ke Sydney. “Tapi di Australia, hal itu bukan sebuah terobosan –rasanya biasa saja dan begitulah seharusnya.”

Anda bisa membaca artikel ini dalam Bahasa Inggris: Life in a no-vacation nation di BBC Capital.

(bbc/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads