Setiap cerita memiliki dua sisi, dan begitulah dua film dokumenter yang digarap oleh Joshua Oppenheimer melengkapi satu sama lain.
Dua tahun setelah film dokumenter Jagal atau The Act of Killing diputar di Indonesia pada November 2012, Joshua Oppenheimer kembali mengangkat peristiwa pembunuhan anti-Partai Komunis Indonesia yang terjadi pada 1965 melalui film berjudul Senyap atau The Look of Silence.
Jika Jagal berfokus pada kisah pelaku, yaitu Anwar Congo, maka Senyap memberi kisah dari sisi lain, yaitu dari sisi korban bernama Ade Rukun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang membedakan Senyap dengan Jagal?
Senyap sebenarnya mengambil sudut pandang dari keluarga korban dan menggambarkan akibat setelah setengah abad. Senyap dan ketakutan yang dirasakan satu keluarga – yang mencerminkan ketakutan jutaan orang di Indonesia yang terkena stigma sebagai keluarga korban pembantaian 1965, yang dituduh terlibat PKI. Film ini menggambarkan betapa dasyat kebutuhan rekonsiliasi di Indonesia sekarang.
Bagaimana Anda menyiapkan film ini?
Ada beberapa adegan dengan pelaku pembantaian yang diambil sebelum saya memulai syuting film Jagal pada tahun 2003-2004. Tetapi sebagian besar dari film Senyap ini disyuting setelah film Jagal diedit tapi sebelum film Jagal keluar. Karena saya tahu bahwa sesudah film Jagal keluar, saya mungkin tidak bisa kembali ke Indonesia dengan aman. Jadi film ini disyuting pada tahun 2012.
Dan apakah waktu itu sudah jelas bentuknya seperti apa?
Waktu saya datang ke Indonesia untuk syuting film Senyap pada tahun 2012 saya tidak tahu siapa yang akan menjadi tokoh utama dalam film saya. Tetapi saya tahu bahwa saya akan memulai proses syuting dengan Adi Rukun yang akhirnya memang menjadi tokoh utama. Adi Rukun sendiri selama delapan tahun sudah menonton sebagian besar dari cuplikan mentah film Jagal. Dia adalah anak bungsu dari satu keluarga korban. Kakaknya menjadi korban.
Dan dia meminta kepada saya: Joshua saya harus bertemu dengan para pelaku. Saya awalnya langsung menolak karena tidak akan aman bagi kamu, keluarga kamu dan juga saya, bagi kru saya.
Tapi dia bilang: saya harus bertemu dengan para pelaku karena saya ingin memaafkan mereka. Saya yakin bahwa kalau pelaku bertemu dengan saya, mereka akan tahu bahwa mereka membunuh manusia dan korbannya adalah manusia. Dan jika mereka menyadari itu mereka akan tahu itu salah. Dan, kalau mereka mengaku mereka salah, saya bisa memaafkan mereka. Setelah itu saya bisa keluar bersama mereka sebagai tetangga, sebagai manusia. bukan sebagai pelaku dan korban, terpisah dari rasa takut dan rasa curiga. Jadi dengan cara ini saya dan keluarga saya bisa keluar dari penjara ketakutan.
Tujuan Adi mulia, dia ingin memaafkan mereka, dia ingin rekonsiliasi, dari situ kami mulai.
Oppenheimer membuat film Jagal selama enam tahun
Apakah para pelaku yang ditemui Adi ini adalah pelaku yang tampil dalam Jagal?
Tidak, semua pelaku di Senyap adalah orang yang tinggal dekat dengan keluarga Adi. Mereka terlibat secara langsung atau sebagai komandan dalam pembunuhan abang Adi, Ramli.
Bagaimana kondisi Adi Rukun sekarang?
Satu ironis yang sangat pahit adalah kenyataan bahwa Adi Rukun harus pindah dari Medan, dari bayangan para pelaku, dari para pembunuh, ke tempat yang lebih aman. Saya tidak ingin mengatakan ke mana dia pindah, tetapi dia pindah ke tempat yang lebih aman, ke satu lingkungan yang lebih mendukung yang menghormati kontribusi besar yang Adi beri untuk rekonsiliasi dan perdamaian di Indonesia.
Apakah Anda berbicara kembali kepada Adi setelah film ini?
Saya sering melakukan kontak dengan Adi dan dia juga hadir dalam pemutaran film perdana di festival film Venesia pada bulan Agustus. Dan Adi pasti hadir di pemutaran film perdana di Jakarta.
Anda menyebut tujuan film Senyap adalah mencari upaya rekonsiliasi, tetapi yang terjadi beberapa kalangan menyebut ini justru merusak upaya itu?
Saya yakin semua yang menonton film Senyap akan setuju bahwa film ini menggambarkan seberapa penting rekonsiliasi bagi Indonesia dan mereka akan merasakan ini dari hati mereka, mereka akan melihat upaya Adi, jalan untuk mencapai rekonsiliasi yang damai.
Kita tidak bisa lari dari sejarah, sejarah selalu akan lari lebih cepat dari kita. Kita tetap akan dihantui oleh sejarah kecuali jika kita menghadapinya dan mengakui bahwa yang salah adalah salah dan yang benar adalah benar. Dan tanpa rekonsiliasi kita akan tetap dihantui.
Aktor Adi Rukun dan Joshua Oppenheimer
Bagaimana dengan anggapan bahwa adanya Jagal dan Senyap ini justru membuka luka lama?
Luka lama itu tidak akan sembuh tetapi tetap ada, tetap membusuk. Jika luka lama ingin sembuh, harus dibuka, harus dibersihkan, harus diakui, dirawat, diobati.
Apakah ada ancaman-ancaman sekarang ini?
Sekarang ini sebetulnya jarang. Ada ancaman-ancaman terhadap saya selama mungkin sampai bulan Agustus, tetapi sekarang, dan untuk pemutaran Senyap mudah-mudahan tidak ada. Bahkan tim yang meluncurkan pemutaran film Senyap ini juga setahu saya dan mudah-mudahan, tidak ada ancaman.
Tahun lalu Anda mengungkapkan soal tidak bisa kembali ke Indonesia karena alasan keamanan. Bagaimana dengan sekarang setelah pergantian pemerintahan? Apakah ada harapan?
Saya selalu ada harapan, karena dua film ini adalah surat cinta saya, kru saya, kepada Indonesia. Dari tim anonim yang sebenarnya warga Indonesia juga. Saya selalu ada harapan untuk bisa kembali. Tetapi kita harus mengakui bahwa masalahnya bukan soal kebebasan berekspresi, tetapi soal penegakan hukum. Orang yang berkuasa di Indonesia kebal hukum. Ada impunitas untuk orang yang berkuasa. Ini masalah yang paling besar. Jadi walau presiden baru ini mendukung rekonsiliasi untuk semua pelanggaran HAM dari 1965, kita harus mengaku bahwa militer, paramiliter, polisi, mereka masih punya impunitas dan sebagain membenci rekonsiliasi, sebagian membenci upaya saya karena mereka takut bahwa mereka akan kehilangan kekuasaan.
Apakah ini berarti Anda membayangkan tidak bisa membuat lagi film di Indonesia?
Saya tidak berniat lagi untuk membuat film di Indonesia. Dua belas tahun lalu saya tidak datang ke Indonesia untuk menghabiskan lebih dari 10 tahun membuat film di sini. Saya hanya datang untuk membantu buruh perkebunan membuat film dokumenter mereka. Mereka yang menyutradarainya dan saya hanya sebagai fasilitator. Disitulah saya ketemu pembantai tahun 1965, saya ketemu kenyataan para pelaku masih membual, dan korban tetap diam dan takut. Itu satu kenyataan yang sangat tidak adil dan menjadi cerminan kasus impunitas di seluruh dunia dan saya tidak bisa mengabaikannya.
Jadi saya terpaksa membuat film di Indonesia tentang ini. Tapi dari awal, saya tahu setelah dua film ini, saya akan kembali ke pekerjaan saya membuat film di luar Indonesia.
Dan apakah Anda menganggap Senyap ini sebagai kelanjutan atau sekuel dari Jagal atau keduanya hal yang terpisah?
Ini saling melengkapi, tetapi orang tidak perlu menonton Jagal sebelum menonton Senyap. Seperti dua lukisan di dinding yang saling menjadi cermin satu sama lain. Dua bab. Dua bagian dari satu cerita yang saling melengkapi.
Apa harapan Anda terhadap pemutaran film Senyap di Indonesia?
Dengan Senyap harapan saya lebih tinggi, dibandingkan dengan Jagal. Harapan saya orang akan merenung, orang akan memikirkan kita harus apa, tapi saya rasa Senyap juga akan membuka jalan keluar. Film Jagal menggambarkan masalah besar, namun film Senyap menggambarkan obat. Apa yang harus kita lakukan supaya kita sembuh.
Apa Anda masih punya kontak dengan Anwar Congo (tokoh utama film Jagal, pelaku pembunuhan 1965?
Masih tetap ada, mungkin setiap bulan saya kira.
Bagaimana hubungannya?
Ramah, kami saling peduli, bagaimana kami tidak saling peduli setelah enam tahun kerjasama? Enam tahun mengikuti bersama perjalanan yang sangat pahit, yang sangat menyentuh. Kami saling peduli.
(bbc/nwk)