Belum habis kekayaan tambang yang dimiliki oleh Indonesia. Kali ini, ada satu mineral yang disebut-sebut sebagai 'harta karun' terbesar di dunia yaitu nikel. Apalagi, pengembangan kendaraan listrik sangat bergantung pada nikel.
Dilansir dari CNBC Indonesia, mengutip Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, Indonesia tercatat memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton nikel (termasuk nickel limonite).
Sebelumnya, tak semua nikel dianggap sebagai barang yang bagus, salah satunya adalah nikel limonit. Menurut sebuah jurnal di Jurnal Metal Indonesia, bijih limonit mengandung kadar nikel yang rendah, sehingga kerap dipandang tidak ekonomis.
Bijih limonit dapat diekstrak nikel dan kobaltnya dengan menggunakan teknologi tinggi dan memerlukan investasi besar. Nikel dan kobalt secara maksimal dapat diekstrak dalam Autoclave dengan bantuan asam sulfat konsentrasi tinggi pada temperatur dan tekanan yang tinggi, dengan waktu pelindian yang relatif singkat.
Proses keseluruhan pengolahan dan pemurnian bijih limonit ini cukup kompleks dan sulit karena kadar nikelnya yang rendah.
Walau begitu, salah satu perusahaan Harita Nickel yang berbasis di Pulau Obi, melalui unit usahanya Halmahera Persada Lygend, berhasil melakukan konservasi mineral dengan mengolah bijih nikel berkadar rendah ini menjadi produk bernilai ekonomis dan strategis bagi Indonesia dan dunia.
Jurusnya adalah dengan menggunakan sebuah inovasi teknologi yang dinamakan High Pressure Acid Leach (HPAL). Teknologi ini adalah yang pertama diterapkan di Indonesia dan sudah memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) sebanyak 188.600 WMT selama 1 tahun beroperasi sejak 23 Juni 2021.
MHP yang dihasilkan kemudian dapat diolah lebih lanjut menjadi Nikel Sulfat (NiSO4) dan Kobalt Sulfat (CoSO4). Seluruh produk yang dihasilkan itu dipakai untuk menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik. Artinya, nikel limonit ini sebelumnya tidak termanfaatkan, tapi kini punya nilai ekonomis dan mendukung upaya pemerintah dalam transisi energi bersih.
Terkait teknologi ini, Guru besar Teknik Metalurgi ITB Muhamad Zaki Mubarok mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Harita Nickel. Menurutnya, teknologi HPAL yang digunakan tersebut adalah hal baru di Indonesia.
"Mengolah low grade nickel yang selama ini belum diolah. Jadi kita bicara pengolahan yang limonit. Membandingkannya dengan atmospheric pressure. Kita juga bisa bandingkan dengan pengolahan bijih saprolit. Tentu ini memang barang yang berbeda. Tapi kalau dibandingkan prosesnya, emisi CO2-nya memang lebih rendah," imbuh Zaki dikutip dari video YouTube Harita Nickel.
Sementara itu, Technical Support Department Head Harita Nickel Rico Windy Albert menjelaskan proses pengolahan nikel limonit diproses dalam sebuah unit utama bernama autoclave. Di tempat ini, bijih nikel diproses dengan tekanan dan suhu tinggi untuk mengekstraksi nikel dan kobalt.
"Prosesnya memanfaatkan asam sulfat yang berfungsi sebagai sumber energi untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Sebagai pionir dalam penerapan teknologi ini di Indonesia, tentu kesempatan baik bagi anak bangsa mempelajari teknologi ini demi kemajuan bangsa di masa yang akan datang," kata Rico.
![]() |
Rico melanjutkan, sisa hasil pengolahan nikel limonit ini memiliki bentuk padat, tidak berbahaya, dan tidak beracun. Sisa pengolahan itu pun ditempatkan pada lubang bekas tambang, dan telah memperoleh izin dari pemerintah pusat (KLHK).
Selain penerapan teknologi HPAL yang ramah lingkungan, perusahaan juga dijadikan benchmark di industri sejenis oleh pemerintah dalam penempatan sisa hasil pengolahan berupa padatan di area bekas tambang.
(adv/adv)