Tanggapan itu ditampung dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Pandangan dan Masukan Tentang Pemindahan Ibu Kota Ditinjau Dari Aspek Ekonomi, Sosial, Politik, dan Lingkungan yang disampaikan oleh Senat Mahasiswa President University. FGD ini diselenggarakan di President Lounge, Menara Batavia, Jakarta pada Rabu (15/5/2019).
Turut hadir pada acara ini antara lain Chairman Jababeka Group, Dr. S.D.Darmono, Pimpinan President University Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D. dan Handa Abidin, SH., LLM., Ph.D.
Pada kesempatan ini, mahasiswi Luh Devany Trishnaputri Wijaya menanggapi mengenai tingkat kemacetan di Jakarta yang menempati posisi kota ke-9 terpadat di dunia. Untuk diketahui, Jakarta memiliki penduduk sekitar 14 juta jiwa pada siang hari dan 10 juta jiwa pada malam hari di area seluas 661 kilometer persegi. Menurutnya, dengan kondisi itu, penduduk memiliki kesibukan tinggi sehubungan fungsi Jakarta sebagai pusat kota pemerintahan, bisnis, dan jasa.
"Sayangnya, aktivitas itu tidak diimbangi dengan mobilitas warga akibat masalah kemacetan di Jakarta yang tidak mudah ditata dan dikendalikan. Hal ini mengakibatkan jalannya kegiatan pemerintahan, bisnis, dan jasa tidak berjalan efektif dan efisien sehingga berdampak pada kerugian ekonomi," katanya.
Sebagai informasi, Jokowi pernah mengungkapkan bahwa kemacetan di Jakarta dan wilayah sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mengakibatkan kerugian hingga Rp 65 triliun.
Sementara itu, Natalia Tamara Hamdali menanggapi mengenai faktor pendidikan. "Pendidikan menjadi sangat penting untuk mengawal transformasi itu. Oleh sebab itu, di daerah baru tersebut perlu dikembangkan pusat-pusat pendidikan yang dapat menunjang kebutuhan pembangunan setempat dengan mengakomodasi SDM lokal, seperti sekolah kejuruan, politeknik, dan universitas. Sehingga diharapkan terjadi sinergi yang erat antara pemerintah, kalangan usaha, dan dunia pendidikan dalam mengembangkan SDM lokal," katanya.
Tanggapan juga dianggapkan oleh Militia Christia Pandelaki. Ia mengatakan perubahan fungsi suatu wilayah menjadi ibu kota membawa konsekuensi tertentu pada lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Maka, lanjut Militia, sebagai bagian dari rencana pemindahan ibu kota, pemerintah perlu memikirkan solusi bagi penghidupan atau livelihood masyarakat lokal sebagai akibat dari perubahan fisik dan fungsi wilayah tempat mereka tinggal.
"Seperti kita pahami bersama, pembangunan memerlukan kesiapan penduduk di sekitarnya agar ikut merasakan manfaat pembangunan yang terjadi di daerahnya. Dalam hal ini, perlu dipikirkan suatu proses transformasi sosial sehingga tidak mengganggu tatanan sosial masyarakat yang sudah ada, sekaligus mencari alternatif penghidupan dengan memperhatikan pendidikan dan keahlian mereka," pungkasnya. (adv/adv)