Revolusi Mental di Balik Tanaman Sorgum

Revolusi Mental di Balik Tanaman Sorgum

Kemenko PMK - detikNews
Minggu, 05 Agu 2018 00:00 WIB
Maria Loretha pegiat sorgum dari NTT / Foto: Kemenko PMK
Jakarta -

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menggelar acara Curah Pendapat Implementasi Revolusi Mental. Acara yang digelar di Grand Mercure Hotel Jakarta itu menghadirkan Maria Loretha dari Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu narasumber.

Tidak semua orang mengenal sorgum. Komoditas ini nyaris terlupakan, namun di tangan dingin Maria Loretha sorgum berkembang dari komoditas yang tidak dipandang menjadi komoditas terpandang, hal itu terjadi di provinsinya, NTT.

"Kita tidak bisa menunggu orang lain mengubah diri kita tetapi perubahan harus kita mulai dari diri sendiri sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang terdepan," kata Mama Loretha, sapaan akrabnya.

Sebagai seorang perempuan yang berkutat dengan pemberdayaan sorgum, Mama Loretha mengungkapkan, revolusi mental dapat terjadi ketika orang mau beralih dari nasi menjadi sorgum. Hingga kemudian sorgum berkembang menjadi makanan pokok.

"Saya sering mendengar dari teman-teman yang berasal dari Eropa. Mereka bahkan telah menjadikan sorgum sebagai makanan pokok dan dengan beralih ke sorgum maka menurut saya inilah revolusi mental," jelasnya.

Revolusi Mental di Balik Tanaman SorgumLahan sorgum / foto: Kemenko PMK

Lahan sorgum saat ini berkembang menjadi sumber pangan dan sekaligus sebagai sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat. "Lahan-lahan tidur yang selama ini tidak diberdayakan, sekarang berkembang menjadi lahan produktif dan menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat," ungkap Mama Loretha antusias.

Jatuh-bangun mengembangkan sorgum juga sudah dirasakan oleh Mama Loretha. Bahkan saking kuatnya komitmennya dalam mengembangkan sorgum, mata dan telingnya sudah kebal akan komentar negatif.

"Saya tidak peduli dengan berbagai pendapat orang dan mata, telinga, bahkan mental saya sudah sekeras tembok," tegasnya.

Mama Loretha tidak ambil pusing atas minimnya biaya bahkan dirinya menegaskan ada maupun tidak ada uang, pengembangan sorgum yang dilakukannya harus tetap berjalan. Dalam mengemangkan tanaman sorgum, Mama Loretha selalu memegang teguh gotong royong.

"Tanpa adanya gotong royong, sulit untuk dapat mengembangkan sorgum hingga dapat berkontribusi positif pada masyarakat," sambungnya.

Nilai gotong royong tidak lepas dari sebuah kearifan lokal yang ada di Flores Timur yaitu 'gemohin'. Gemohin menggambarkan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat seperti membersihkan kebun, memilih hasil komoditi, atau memperbaiki rumah bersama-sama.

"Nah ini kita tumbuhkan dalam bentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan pekerjaan mereka di ladang maupun kebun. Nilai-nilai itulah yang kita tumbuhkan," jelasnya dengan antusias.

Mama Loretha kemudian memaparkan bahwa revolusi mental memiliki sebuah kata kunci yang penting, yaitu perubahan. Ketika seseorang memiliki komitmen untuk berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, maka revolusi mental sesungguhnya telah terjadi.

"Sebagai contoh ketika seorang birokrat mau berubah dan memberikan layanan yang cepat dan mudah, maka inilah sesungguhnya perubahan yang diharapkan, tidak saja berdampak di internal tempat kerja birokrat tersebut, tetapi juga dapat dirasakan oleh masyarakat," lanjutnya.

Mama Loretha ingin agar revolusi mental dapat mengakar pada diri seluruh masyarakat Indonesia. Dia berharap, nantinya Indonesia dapat menjadi negara maju dan terpandang di dunia.

"Mari mulai dari diri sendiri. Karena revolusi mental tidak bisa menunggu lama. Mulai dari sekarang, dari hal yang paling kecil, dan sekarang juga," tutup dia.

(adv/adv)
Berita Terkait