Waspada Bahaya Kanker THT, Kepala, Leher, dan Nasofaring

Diagnosis dan Penanganan

Waspada Bahaya Kanker THT, Kepala, Leher, dan Nasofaring

advertorial - detikNews
Selasa, 25 Jul 2017 00:00 WIB
Jakarta -
Cabang ilmu kedokteran yang meneliti diagnosis dan pengobatan penyakit seputar telinga, hidung, tenggorokan, serta kepala dan leher dikenal dengan otolaringologi. Di Indonesia, cabang ilmu itu lebih populer dengan nama ilmu telinga hidung tenggorokan bedah kepala leher atau THT KL. Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher sekaligus Konsultan Siloam MRCCC Siloam Hospitals Semanggi dr Marlinda Adham, Sp THT-KL(K), PhD menjelaskan bagiamana penyakit kanker yang berkaitan dengan THT KL.

dr Marlinda Adham, Sp THT-KL(K), PhD mengatakan, kasus kanker nasofaring lebih sering dijumpai dibandingkan jenis-jenis kanker THT, kepala, leher, atau jenis lainnya. Prevalensi kanker nasofaring di Indonesia yaitu 6,2 per 100 ribu penduduk dengan jumlah hampir sekitar 13 ribu kasus baru per tahun.

"Urgensi kanker THT, kepala, dan leher ini belum cukup dikenal dan gejalanya sulit dideteksi oleh orang awam, misalnya kanker nasofaring. Kanker nasofaring adalah kanker yang muncul pada area di belakang hidung di atas tenggorokan. Gejalanya tak jauh berbeda seperti infeksi saluran napas atas. Hidung tersumbat dan telinga terasa penuh pada satu sisi. Bahkan adanya lendir bercampur darah umumnya justru dianggap serangan alergi biasa," ujar dr Marlinda Adham.

Minimnya informasi menyebabkan pasien terlambat memeriksakan diri kepada dokter. Biasanya pasien yang datang sudah memasuki stadium lanjut. Mereka baru berkonsultasi ketika menyadari adanya benjolan di leher.

Kondisi itu justru semakin mempersulit proses terapi. Agar tidak terlambat, pasien sangat disarankan untuk melakukan deteksi dini.

Pada umumnya, kanker nasofaring lebih banyak menyerang usia produkif antara 40 sampai 60 tahun. Alasan utamanya, usia produktif rentan memiliki faktor risiko. Faktor itu antara lain gender di mana wanita lebih banyak terserang kanker nasofaring, kebiasaan mengonsumsi makanan yang diawetkan, infeksi Virus Epstein-Barr, kebiasaan merokok, serta minum alkohol.

Riwayat keluarga juga memperbesar seseorang terkena kanker nasofaring. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi seseorang yang memiliki faktor risiko tersebut agar dapat memonitor kesehatannya dan rutin melakukan deteksi dini.

Diagnosis dan Penanganan

Perhatikan diri Anda, jika mengalami salah satu gejala kanker THT KL dan terpapar risiko dalam rentang waktu lama, maka Anda harus waspada. Segera konsultasikan kepada dokter agar dapat diketahui kondisi dan tingkat stadiumnya.

Diagnosis awal yang bisa dilakukan yaitu anamnesis. Hal itu dilakukan untuk mengetahui gejala yang tampak dan dirasakan oleh pasien. Jika diperlukan pemeriksaan radiologi, maka pasien akan diperiksa dengan USG, CT Scan, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Selain itu, pemeriksaan juga bisa dibantu dengan teknologi unggulan dari MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, yakni Positron Emission Tomography (PET) Scan. Alat itu menggunakan kombinasi radiofarmaka dan sinar X dosis rendah (low dose) yang nantinya menghasilkan citra 3D dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dengan memanfaatkan PET Scan, lokasi sumber kanker dalam tubuh bisa segera terdeteksi. Tidak menutup kemungkinan bila PET Scan digunakan pasca operasi untuk melihat kemungkinan penyebaran kanker sekaligus melihat dampak baik buruknya terapi. Selanjutnya, dokter akan melakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomik.

Menurut dr Marlinda, saat ini masih sering ditemukan persepsi yang keliru. Pasien merasa takut dibiopsi karena menganggap bahwa kanker bisa semakin menjalar. Faktanya, kondisi itu bisa terjadi bila pasien tidak melakukan tindak lanjut dengan segera. Setelah biopsi, seharusnya ada tindak lanjut untuk melakukan terapi dengan tujuan meminimalkan risiko penyebaran.

"Penatalaksanaan kanker tidak dapat dilakukan hanya dengan satu cara. Bisa dilakukan dengan operasi, radioterapi, kemoterapi, atau cara kombinasi tergantung jenis kanker dan stadium kanker," kata dr Marlinda.

"Tim dokter onkologi pun harus berkoordinasi dengan tim gizi, terutama untuk menangani pasien yang sedang menjalani terapi. Bagaimanapun, kami harus memastikan kondisi pasien tetap baik terutama asupan gizi agar siap menjalani terapi hingga selesai," imbuhnya.

Dokter onkologi juga bekerja sama dengan spesialis penyakit dalam, radioterapi, hematologi onkologi, psikiater atau psikolog, rehabilitasi medis, dokter gigi, paliatif serta bedah plastik. Pemeriksaan setelah terapi selesai juga harus dilakukan. Pada tahun pertama, pasien wajib memeriksakan diri kembali setiap 3 bulan untuk konsultasi dan evaluasi.



Oncology Center

Salah satu Oncology Center yang berkembang pesat menjadi pusat onkologi komprehensif di Jakarta yaitu MRCCC Siloam Hospitals Semanggi yang berlokasi di Karet Semanggi, Jakarta Selatan. Pusat onkologi MRCCC Siloam Hospitals Semanggi terdiri dari para dokter yang berpengalaman di masing-masing keahlian sub spesialis.

Di sana, tim dokter berada dalam satu gedung dengan pasien. Dengan begitu pasien tidak perlu berpindah rumah sakit untuk mendapatkan penanganan secara optimal.

Pelayanan yang terintegrasi dan lengkap didukung dengan layanan paliatif bagi penderita kanker stadium terminal. Pihak rumah sakit juga memberikan dukungan pada penderita kanker berupa motivasi yang datang dari sisi psikologis dan spiritual.

Nantinya pasien dapat bergabung di dalam grup para survivor kanker yang saling memberikan dukungan. Layanan terbaik diberikan oleh MRCCC Siloam Hospitals Semanggi agar pasien mendapatkan kembali kehidupan yang berkualitas.
(adv/adv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya
Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.