Menteri Hanif Dhakiri beserta jajaran staf Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia terus memutar otak untuk mematangkan langkah-langkah jitu terkait penyiapan tenaga terampil dan penyerapan tenaga kerja Indonesia.
Terkait skill, Menteri Hanif mematok tenaga kerja Indonesia memiliki tiga kemampuan pokok yaitu terampil, berkarakter dan inovatif. Tantangannya, 60,7% angkatan kerja Indonesia saat ini memiliki tingkat pendidikan tidak lebih dari SMP.
Angkatan kerja dengan pendidikan menengah ke bawah ini rata-rata berusia 18 tahun ke atas. Bagi mereka, sekolah formal bukan prioritas. Mereka ingin berkeluarga dan bekerja.
Tapi untuk kerja, minim skill. Pilihannya, menganggur atau kerja dengan kualifikasi rendah dan kesejahteraan rendah. Dengan fakta-fakta yang ada, mewujudkan pekerja yang terampil, berkarakter dan inovatif jelas menjadi sebuah PR besar bagi Kementerian Ketenagakerjaan RI.
Soal penyerapan tenaga kerja, tantangannya ada di jumlah lulusan SMA yang semakin banyak. Tiap tahun bertambah 1,6 juta jumlahnya. Belum lagi ditambah dengan lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang per tahun.
Tidak semuanya siap masuk ke dunia kerja. Akibatnya 6,18% atau 7,56 juta dari jumlah angkatan kerja menganggur. Salah satu pemicunya adalah jomplangnya antara kebutuhan tenaga kerja dengan ketersediaan skill serta kualifikasi.
Anehnya, berdasarkan catatan BPS justru tingkat pengangguran naik di kategori lulusan pendidikan tinggi. Sementara di kategori lulusan pendidikan rendah malah tingkat penganggurannya turun.
Menteri Hanif mencermati, banyak orang bersemangat bicara soal investasi SDM. Tapi mereka terjebak dan hanya fokus pada pendidikan formal. Sehingga 90% anggaran dialokasikan untuk pendidikan formal.
"Sangat sedikit yang berorientasi pada pelatihan kerja. Padahal investasi SDM selayaknya imbang di dua jalur, pendidikan formal dan pelatihan kerja. Bahkan swasta yang gandrung bicara pentingnya investasi SDM pun masih minim menginvestasikan anggaran ke pengembangan SDM," keluh Menteri Hanif.
Untuk mengatasi hal ini, Menteri Hanif merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dan membuka akses seluas-luasnya bagi mereka yang ingin meningkatkan keterampilan kerja. Syarat-syarat formal yang menghambat dihilangkan karena Menteri Hanif ingin BLK terbuka bagi siapa pun.
"Awalnya BLK mensyaratkan lulusan SLTA. Saya minta syarat itu dihapus agar orang yang tidak sekolah pun bisa masuk BLK dan bisa diproses untuk dapat sertifikasi profesi sehingga bisa masuk pasar kerja yang dibutuhkan," tegas Menteri Hanif.
![]() |
BLK berkewajiban menjembatani mereka yang memiliki keterbatasan terhadap akses dan pelatihan kerja bermutu. Caranya adalah dengan membuka pelatihan kerja bermutu dan menyediakan sertifikasi kompetensi yang bisa diakses oleh siapa pun.
Setiap orang yang memiliki minat harus bisa mengakses pelatihan kerja di mana saja dan kapan saja. Maka Kemennaker RI mewajibkan semua daerah harus menyediakan Balai Latihan Kerja dan sejenisnya yang bermutu, serta tentu saja mudah diakses siapa saja.
Kemennaker RI akan memantu dan mengevaluasi kapasitas serta mutu 279 BLK yang tersebar di seluruh Indonesia. Ditargetkan, 70% BLK mampu memberikan akses dan mutu pelatihan kerja yang baik dan 30% yang buruk bisa dibenahi.
Untuk informasi lebih lengkap mengenai BLK, silakan mengunjungi www.naker.go.id.
(adv/adv)











































