Mantan Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Daerah versi Pemerintah Made Suwandi menyatakan bahwa Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai pijakan menyusun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 18 ayat (5) berbunyi, Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang¬undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
“Dari mana mulai bergeraknya? Dari konstitusi, Pasal 18 ayat (5). Rambu-rambunya adalah bentuk negara kesatuan, bukan federal,” ujar mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) ini dalam rapat dengar pendapat Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membahas isu-isu pemerintahan daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11).
Lalu, kekuasaan siapa yang diotonomikan seluas¬luasnya dari pusat ke daerah? Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini merujuk ke trias politica (eksekutif, legislatif, yudikatif). “Satu-satunya cabang kekuasaan yang diotonomikan seluas-luasnya adalah eksekutif. Siapa pemegangnya? Presiden.”
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah kekuasaan Presiden diotonomikan seluas-luasnya dari pusat ke daerah, yang tetap menjadi penanggung jawab akhir adalah Presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 eksplisit mengindikasikan bahwa Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan dan otomatis juga tanggung jawab akhir kekuasaan pemerintahan ada di tangan Presiden. “The ultimate responsibility lies upon the President,” ujarnya.
Pada negara yang menganut paham sentralistik, sedikit kekuasaan pemerintahan yang diberikan dari pusat ke daerah. Sebaliknya, pada negara yang menganut paham desentralistik, banyak kekuasaan pemerintahan yang diberikan dari pusat ke daerah. “Kekuasaan Presiden diotonomikan seluas-luasnya, tanggung jawab akhir di tangan Presiden. Implikasinya ialah seluas apapun otonomi diberikan ke daerah, tetap saja pusat ada kerjanya.” (adv/adv)