Guru Besar Kelautan dan Pesisir Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Dietrich G. Bengen, DEA mengakui lingkungan alam di Teluk Benoa sangat unik, sumber daya alamnya bagus, dan yang menonjol adalah ekosistem mangrove dan laut yang jadi sumber kehidupan biota laut term asuk ikan.
Namun, sejak dibangunnya Jalan Tol Bali Mandara, terjadi perubahan yang signifikan di sekitar teluk tersebut.
“Salah satu yang paling jelas kita amati, saat air laut surut terjadi pedangkalan. Dengan adanya pendangkalan setiap saat, ekosistem mangrove dangkal dan mengalami gangguan. Nah, untuk itu perlu upaya perbaikan melalui revitalisasi yang berbasis reklamasi, agar alur yang dangkal diperdalam,” kata Prof Dietrich dalam keterangannya kepada wartawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di darat, di sekitar kawasan itu banyak terjadi pencemaran, kualitas air menurun, sampah yang menumpuk dimana-mana. Melalui perbaikan dan pemulihan di Teluk Benoa, akan ada nilai lebih bagi masyarakat sekitar, yakni ada tambahan ruang terbuka hijau, ada nilai ekonomis, ada juga nilai sosial, budaya dan religius,” katanya.
Dalam kajian, ia menekankan perlunya revitalisasi berbasis reklamasi, karena revitalisasi ada reklamasi didalamnya yakni membangun pulau-pulau baru.
“Jadi penekanannya, revitalisasi berbasis reklamasi. Jadi tidak semata-mata reklamasi saja seperti yang dipikirkan orang dan sudah tertutup. Dengan revitalisasi, Pulau Pudut yang selama ini mengalami abrasi yang keras akan dikembalikan seperti semula,” ungkap Prof Dietrich.
Abrasi dan pedanggkalan di Pulau Pudut sangat memprihatinkan. “Pendangkalan ini menyebabkan nelayan tidak setiap saat bisa menangkap ikan. Aktivitas watersport pun tidak setiap saat,” katanya sembari menjelaskan, sedimen yang masuk dari sungai merupakan salah satu penyebab pendangkalan, kemudian faktor sampah juga salah satunya. Salinitas turun mengakibatkan kualitas bakau menurun.
“Secara sosial dan teknis perlu diperbaiki, maka harus dilakukan revitalisasi,”ujarnya
Pendapat senada juga diungkapkan pakar pesisir, Made Mangku yang sejak tahun 1990-an telah mempelajari karakteristik alam di Teluk Benoa. Menurutnya proses sedimentasi dan pedangkalan terus menjadi-jadi tiap saat. Setiap pasang surut 15 hari sedemennya pasti tinggi.
“Saat musim hujan Tanjung Benoa menjadi muara sampah, melalui daerah aliran sungai Tukad Mati Bualu dan estuaridam. Dengan kondisi itu, maka dengan sendirinya area itu tidak lagi menjadi kawasan konservasi,” kata Made Mangku Ketua Sekretariat Kerja Pelestari dan Penyelamatan Lingkungan Hidup (SKPPLH).
Menurut Made Mangku, bila konservasi dipertahankan, Bali jadi stag di lingkungan, dan akan terjadi abrasi besar-besaran di seluruh Bali. Tapi bila dikelola dengan baik, melalui perbaikan dan pemulihan (revitalisasi) tanpa mengabaikan lingkungan akan membawa dampak bagi lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat di sekitar yang menjadi penyangga kawasan itu.
“Intinya dengan berjalannya proyek ini, para nelayan, pengusaha water sport yang ada di Tanjung Benoa, akan diakomodasi dalam satu kesatuan proyek itu. Jadi tidak seperti yang dicemaskan selama ini, nelayan terpinggirkan, pengusaha watersport tergusur. Saya pastikan hal itu tidak akan terjadi,” tandas Made Mangku.
Dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu, Ketua Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan LPPM Unud, Dr. KG. Dharma Putra, M.Sc mengatakan Teluk Benoa harus ditata, salah satunya dengan kegiatan reklamasi. Bila dilihat dari sisi pengelolaan lingkungan, sebagai orang lingkungan ia menilai kegiatan semacam reklamasi sangat diperlukan Bali.
“Kami sering melakukan reklamasi atau kegiatan proyek pengembangan pantai, diantaranya di Pantai Sanur, Pantai Kuta dan Pantai Nusa Dua. Termasuk juga Tanjung Benoa, kami lakukan reklamasi pantai dengan menambahkan pasir,” kata Dharma Putra sambil menambahkan kegiatan reklamasi adalah bagian dari pengelolaan lingkungan yang disebut sebagai pencegahan bencana alam akibat adanya abrasi,” jelasnya.
Menurutnya, untuk di Teluk Benoa, mau tidak mau pengelolaan lingkungan harus dilakukan ditempat tersebut.
“Saya tiap tahun melakukan penelitian di sana, tingkat pencemaran kawasan perairan Teluk Benoa itu makin jelek. Jadi beberapa titik di Teluk Benoa merupakan kawasan perairan yang paling tercemar di Bali. Oleh karena itu, di tempat itu memang harus dilakukan kegiatan pengelolaan lingkungan. Selain untuk mengantisipasi limbah, juga harus dilakukan penataan sedimentasi. Karena alur-alur air yang ada di Teluk Benoa semakin dangkal,” ungkapnya. (Penulis Dalton)
(adv/adv)