Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad 7 M banyak meninggalkan jejak budaya tak ternilai harganya di ibukota Sumatera Selatan yang terletak di tepian sungai Musi ini, diantaranya wastra (kain) yang begitu indah. Hingga kini kain songket yang dihias dengan teknik tenun lungsi tambahan, menjadi bukti kekayaan budaya peninggalan kerajaan Sriwijaya yang masih eksis, apalagi beberapa putra daerah memiliki kepedulian yang tinggi untuk melestarikannya.
Adalah H. Dungtjik, putra daerah Palembang, pensiunan Kepala Pemasaran PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) Palembang. Sejak masih aktif bekerja di PT PUSRI, dia berniat menjadikan kain songket sebagai sandaran hidup ketika memasuki usia pensiun, sekaligus melestarikan warisan budaya asli Palembang ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemasaran dari mulut ke mulut rupanya memang cukup jitu. Dalam waktu relatif singkat, produk kain songket yang diberi nama Tujuh Saudara, sesuai jumlah anaknya tersebut mulai dikenal oleh berbagai kalangan. Dari tetangga, teman-teman kantor hingga pejabat di lingkungan kabupaten dan Gubernur Sumatera Selatan. Usahanya pun terus berkembang. Bukan hanya memberikan rejeki bagi Dungtjik beserta keluarga, tapi para pengrajin yang dirangkul Dungtjik pun merasakan berkah dari “Ratu Segala Kain” ini.
Kini lebih dari 100 pengrajin berbisnis bersama keluarga H. Dungtjik. Tiga buah rumah pun difungsikan sebagai mess, menampung 29 pengrajin batik yang didatangkan langsung dari Wiradesa, Pekalongan, 35 pengrajin tenun dan tenun ikat (Blongsong) dan 15 pengrajin kain jumputan Palembang. Rata-rata dari mereka adalah kaum muda putus sekolah yang dididiknya menjadi pengrajin. Untuk diversifikasi usaha sejak tahun 1991 kakek dari 17 cucu itu juga mengembangkan batik motif kuno khas Palembang, seperti Lokan, Kembang Bakung dan sebagainya. Seluruh bahan baku, mulai dari kain, lilin, benang hingga pewarna, masih didatangkannya dari Pekalongan. Tak hanya itu, dengan bahan baku dan motif serta pelatihan dari pihaknya, Dungtjik menampung kain songket Palembang hasil karya pengrajin yang berdomisili di 12 Ulu, 13 Ulu, 16 Ulu. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat, sebagian kain batik pun dipesannya dari para pengrajin di Wiradesa, Pekalongan, Jawa Tengah. Harga batik, blongsong, bordir dan jumputan dibanderolnya sebesar Rp200 ribu ke atas sedangkan kain songket mulai Rp2 juta hingga Rp100 juta. Tergantung bahan, tingkat kesulitan pembuatannya, serta usia kain songket tersebut.
Bersama tujuh puterinya yang kini turut mengelola bisnis keluarga, Dungtjik rajin memperkenalkan kain songket, batik, bordir serta kain jumputan khas Palembang melalui pameran-pameran baik di dalam maupun di luar negeri, seperti Singapura, Korea Selatan, Malaysia, hingga Kanada. Pelanggannya pun tidak lagi terbatas dari Palembang dan sekitarnya, tapi juga dari berbagai wilayah seperti Jakarta dan beberapa kota di pulau Jawa, Sulawesi Selatan, P. Buton hingga Malaysia. Apalagi putri ke-enam-nya, Djamaliah Anggraini yang disapa Lia, Sarjana IT turut membantu pemasaran melalui online dengan membuka website dan jejaring sosial. Nama Tujuh Saudara pun semakin dikenal luas.
Pada tahun 1998, pria yang kerap mendapatkan penghargaan upakarti karena kepeduliannya dalam pelestarian budaya warisan leluhur itu pun menggandeng BCA Palembang menjadi mitra usahanya melalui kredit modal kerja dan KPR dari BCA untuk mengembangkan usahanya.
Memasuki usia senja, H. Dungtjik dan istrinya tinggal memetik buah manis jerih payah mereka. Ke tujuh putrinya saling bahu membahu meneruskan usaha yang dirintis orang tuanya. Didukung oleh kemampuan manajerial, pengetahuan serta teknologi modern, generasi penerus ini selain berupaya melestarikan warisan budaya leluhur juga menciptakan terobosan-terobosan baru. Diantaranya di bidang pemasaran, alternatif cara pembayaran transaksi, modifikasi bahan dan motif serta menciptakan peluang pasar melalui produk fashion ready to wear menggunakan kain khas Palembang. Apalagi mengingat bahan baku kain songket yang semakin langka, harga yang mahal serta pengerjaannya yang memakan waktu lama. Sehingga kain songket dan batik khas Palembang, tidak hanya dikenakan pada saat tertentu saja, tetapi dikenakan di berbagai kesempatan dan semakin diterima oleh berbagai kalangan.
Untuk mempermudah transaksi, outlet Tujuh Saudara yang kini beralamat di Jl. Talang Kerangga No. 28 – 30 Ilir, Palembang juga memasang EDC BCA. Keputusan yang tepat, terbukti lebih dari 50% transaksi konsumennya menggunakan fasilitas Debit BCA maupun Kartu Kredit BCA, 30 % melalui internet banking (KlikBCA) dan sisanya, 20%, bertransaksi secara tunai. Bahkan untuk kepentingan transaksi saat mengikuti berbagai pameran handicraft, Tujuh Saudara mengandalkan EDC Mobile BCA.
BCA Senantiasa di Sisi Anda.
(adv/adv)