Larangan media sosial di Australia untuk anak di bawah usia 16 tahun resmi dimulai hari Kamis ini (10/12), menandai upaya pertama di dunia untuk melindungi anak-anak dari kecanduan ponsel dan bahaya daring.
Mulai sekarang, sekelompok platform media sosial akan menghadapi denda hingga A$50 juta, sekitar Rp554 miliar, jika mereka tidak mengambil "langkah-langkah yang diperlukan" untuk mencegah anak-anak dan remaja di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial.
Tapi Pemerintah Australia mengakui larangan tersebut tidak akan sempurna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, remaja di bawah 16 tahun masih dapat melihat konten media sosial yang tersedia untuk umum yang tidak memerlukan "login".
Dengan kata lain, pembatasan konten di media sosial tidak akan sempurna.
Namun, pemerintah Australia bersikeras larangan ini tetap patut dicoba untuk melindungi anak-anak dari "doomscrolling" yang tak ada habisnya dan bahaya lainnya seperti perundungan siber dan "grooming".
Tanggapan yang beragam dari diaspora Indonesia
Kebijakan baru ini disambut beragam oleh sejumlah orangtua diaspora Indonesia di Australia.
Dian Fikriani di Melbourne adalah ibu dari seorang anak yang berusia sembilan tahun bernama Gesit Mardika.
Dian mengetahui bahwa yang dimaksud dengan pelarangan bermedsos bagi remaja ini sebenarnya hanya larangan untuk memiliki akun di sejumlah platform dan bukan larangan mengakses sepenuhnya.
Menurut Dian, selama ini memang anaknya tidak memiliki akun media sosial dan masih mengakses konten melalui akunnya.
"Memang masih ada celahnya, tetapi kebijakan ini cukup membantu orangtua," kata Dian.
Ia mengatakan larangan remaja bermedsos bisa membantu mencegah perundungan atau "bullying" di dunia maya yang kerap dialami mereka yang memiliki akun medsos.
"Anak-anak ini rentan terkena bullying dari teman-temannya sendiri [di medsos] daripada dari orang yang tidak mereka kenal."
Vironica Hadi memiliki seorang putri berusia 15 tahun, yang sudah memiliki akun media sosial dengan sepengetahuan dan sepengawasannya.
Vironica menilai kebijakan melarang memiliki akun tapi masih bisa mengakses platform media sosial tanpa perlu "login" adalah kebijakan yang "tanggung."
"Menurutku kalau mau di-ban ya sekalian saja, jangan bisa akses tapi enggak bisa posting, bikin story, atau comment," kata dia.
"Dan untuk mereka yang sudah punya akun medsos dengan sepengetahuan dan pengawasan orangtuanya, kasihan juga melihat tiba-tiba mereka enggak bisa lagi bikin apa-apa," tambahnya yang selama ini mencoba untuk mengecek aktivitas putrinya di media sosial secara berkala.
Menyadari kesulitan teknis untuk menutup seluruh akses media sosial seluruhnya untuk remaja, Vironica mengusulkan agar platform memberi limit akses harian untuk setiap akun yang dimiliki remaja.
"Misalnya dalam sehari mereka cuma bisa mengakses akun medsosnya dua jam, saya pikir itu sudah maksimal' setelah itu ter-logout, mungkin itu lebih masuk akal," katanya.
Sigit Lestanto, ayah dari dua orang anak berusia 12 dan 10 tahun, selama ini sudah memberlakukan limit harian sebagai upaya membatasi akses anak-anaknya ke media sosial.
"Dua jam, itu maksimal ya," kata Sigit.
Ia menceritakan anak-anaknya biasa mengakses Instagram, Roblox, dan YouTube Kids.
Menanggapi kebijakan Australia yang terbaru, Sigit memilih berada "di tengah-tengah", karena menurut dia selalu ada sisi positif dan negatif dari teknologi, termasuk media sosial.
"Media atau teknologi itu kayak senjata, tergantung siapa yang pakai ... saya masih melihat bahwa ada sisi positif dari teknologi."
Untuk itu, Sigit mengatakan peran orangtua masih signifikan dalam akses anak-anak ke teknologi internet.
Zaneta Subrata, yang memiliki seorang putra berusia 11 tahun mendukung kebijakan pemerintah yang melarang remaja dan anak-anak sampai 16 tahun memiliki akun media sosial.
"Masalah mental health, bullying, dan lain-lain yang marak ini memang related kok menurut saya dengan akses media sosial ini."
"Ketika mereka punya personal account, mereka bisa mulai chat sama orang-orang, dan di sanalah semuanya berawal ... bisa menjadi korban bully atau mereka yang mem-bully orang lain."
Meski begitu, Zaneta menilai kebijakan ini tidak begitu efektif karena anak-anak masih bisa mengakses "feed" konten dari platform-platform tersebut.
"Pengawasan yang paling efektif ya masih pengawasan dari orangtuanya sendirilah ya, menurut saya."
Di sisi lain, Zaneta mengatakan mungkin ada sisi baik dari aturan ini yang bisa diadaptasi oleh Indonesia.
"Karena menurut saya medsos di Indonesia out of control banget, media sosial kayak sesuatu yang penting banget di Indonesia, jumlah followers dan like menjadi ukuran status dan eksistensi, jadi mungkin [kebijakan] ini bisa dicontoh, setidaknya ada sesuatu yang diatur."
Tanggapan di Australia dan dunia
Dalam pidatonya hari Kamis ini, Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mendorong anak-anak untuk "memanfaatkan liburan sekolah yang akan datang sebaik-baiknya, daripada menghabiskannya dengan menggulir ponsel."
"Mulailah menekuni cabang olahraga baru, pelajari alat musik baru, atau baca buku yang sudah lama tersimpan di rak bukumu," ujarnya.
"Yang terpenting, habiskan waktu berkualitas bersama teman dan keluarga, secara tatap muka langsung."
Pemerintah Australia juga menegaskan daftar aplikasi dan situs media sosial yang dibatasi masih akan bertambah dalam beberapa waktu ke depan.
Meskipun larangan media sosial untuk remaja di bawah 16 tahun ini populer di kalangan banyak orang tua di Australia, beberapa anak di kota-kota kecil dan pedalaman mengatakan larangan ini hanya akan memperburuk isolasi sosial, terutama bagi remaja LGBTQIA+, yang telah menemukan penerimaan dan dukungan di komunitas daring.
Dua remaja di Australia, misalnya, pernah memperjuangkan larangan tersebut hingga ke Pengadilan Tinggi.
Langkah kedua remaja berusia 15 tahun ini didukung oleh Digital Freedom Project, yang mengklaim undang-undang tersebut membatasi hak tersirat atas kebebasan berkomunikasi politik.
Kelompok tersebut awalnya mengumumkan pada bulan November bahwa mereka mencoba untuk menunda undang-undang tersebut.
Namun, pengadilan akan menyidangkan kasus khusus tahun depan.
Sementara anak-anak muda lainnya menyambut baik larangan tersebut, mengatakan mereka kesal dengan cara perusahaan teknologi membuat mereka kecanduan dengan menggunakan data mereka untuk mengembangkan algoritma yang adiktif.
Larangan media sosial di Australia menandai pertama kalinya suatu negara mencoba melawan raksasa teknologi besar, yang juga mendapat banyak perhatian negara-negara lain.
Uni Eropa kini sedang mempertimbangkan larangan serupa, serta usulan untuk "jam malam", aplikasi verifikasi usia, dan pembatasan fitur-fitur yang membuat ketagihan, seperti "scrolling" konten medsos tanpa henti dan notifikasi yang berlebihan.
Malaysia akan bergabung dengan daftar negara yang membatasi akses ke media sosial bagi remaja di bawah 16 tahun, dengan aturan yang akan berlaku mulai 1 Januari mendatang.











































