Bagaimana Nasib Bandung, Salah Satu Pusat Tekstil Usai Perang Dagang AS-China?

Bagaimana Nasib Bandung, Salah Satu Pusat Tekstil Usai Perang Dagang AS-China?

ABC Australia - detikNews
Jumat, 24 Okt 2025 14:38 WIB
Industri tekstil pernah jadi kebanggaan Jawa Barat tapi terus mengalami kemunduran. (ABC News: Tim Swanston)
Jakarta -

Baca beritanya dalam bahasa Inggris

Dikelilingi oleh dengungan suara mesin pencelupan dan alat tenun, David Leonardi berjalan-jalan di pabrik tekstilnya dengan rasa bangga sekaligus khawatir.

Ayahnya memulai bisnis ini hampir 50 tahun lalu di selatan kota Bandung, yang dikenal sebagai jantungnya industri tekstil Indonesia. Namun ia mengaku belum pernah menghadapi tantangan besar seperti saat ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pandemi COVID-19 memberikan pukulan besar bagi industri tekstil Indonesia, yang kini didominasi produk China selama beberapa tahun terakhir, hingga menggerus pasar bagi produsen di Asia Tenggara.

Belum lagi tarif Amerika Serikat yang baru-baru ini diterapkan Presiden Donald Trump akan semakin memberikan tekanan besar pada bisnis berbasis ekspor, seperti pabrik tekstil milik David.

ADVERTISEMENT

"Pak Trump, kenapa Anda tidak membiarkan kami bekerja dan memasok untuk Anda?" kata David.

"Anda punya industri sendiri biarkan kami yang bekerja, Anda yang menjual."

Presiden Trump akan mendarat di Malaysia akhir pekan ini untuk menghadiri KTT ASEAN ke-47.

Ia akan tiba dengan posisi yang terjepit, saat sedang menulis ulang kebijakan perdagangan, namun juga mendukung Israel selama perang Gaza, posisi yang memicu kemarahan banyak pihak di Asia Tenggara, terutama di Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim.

Perekonomian Asia Tenggara, yang banyak bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat, sudah mulai merasakan dampak dari agenda proteksi dari Presiden Trump.

Sebagian besar negara di kawasan ASEAN akan dikenakan tarif sekitar 1920 persen dengan Amerika Serikat.

Tarif ini baru berlaku selama tiga bulan, tetapi bisnis yang bergantung pada ekspor sudah sangat khawatir dengan dampaknya.

Dalam laporan bulan September lalu, United Nations Development Program (UNDP) memperingatkan ekspor dari Asia Tenggara ke Amerika Serikat akan terdampak serius, diperkirakan turun hampir 10 persen karena kenaikan harga akibat tarif.

David memperkirakan hasil yang lebih buruk bagi bisnisnya.

"Jika tarif ini berlanjut, kami akan menghadapi penurunan ekspor ke AS sebesar 2030 persen dalam satu atau dua tahun ke depan," kata David kepada ABC.

Ia khawatir dengan dampaknya bagi pekerja dan buruh pabrik di Indonesia, terlebih setelah setengah dari tenaga kerjanya dirumahkan dan lebih dari seribu buruh pabrik diberhentikan dalam beberapa tahun terakhir.

"Ini akan menjadi masalah besar di Indonesia," katanya.

"Sektor ini salah satu dari sedikit sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah."

Para importir AS sudah mulai meminta diskon kepada David agar harganya bisa tetap kompetitif di pasar AS.

Barang murah China mendominasi pasar Asia Tenggara

Bukan hanya penurunan ekspor ke Amerika Serikat akibat tarif Trump yang menjadi kekhawatiran produsen di Asia Tenggara.

Dalam perang dagang AS-China selama masa pemerintahan Trump yang pertama, banyak eksportir China mengalihkan barangnya melalui Asia Tenggara untuk menghindari tarif.

Praktik ini, yang dikenal sebagai transshipment, kini menjadi perhatian pejabat Amerika Serikat dan sudah tercantum dalam perjanjian perdagangan bilateral yang dibuat Amerika Serikat dengan mitra dagangnya tahun ini.

Dengan pasar Amerika Serikat yang semakin tidak menentu dan tarif tinggi untuk transshipment, eksportir China mengubah strategi.

Asia Tenggara tidak lagi sekedar menjadi titik transit barang China, tapi kawasan ini menjadi tujuan perdagangan.

UNDP mencatat setelah Presiden Trump mengumumkan tarif di bulan April, ekspor China ke negara-negara ASEAN naik sekitar 20 persen, dengan pertumbuhan ekspor ke kawasan ini tetap tinggi.

Ini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi para produsen dan banyak pabrik di Indonesia, karena menjadi kebanjiran barang-barang dari China.

"Kami tidak bisa bertahan," kata David.

"Barang impor ini harganya tiga sampai empat kali lebih murah dibandingkan produk lokal."

"Mana yang menurut Anda akan dibeli warga?"

Di pasar Tanah Abang di Jakarta, banyak pedagang enggan membicarakan penjualan produk China, karena topik ini dianggap agak tabu.

"Impor China sangat menekan produk lokal," kata Farel, seorang pedagang pasar.

"Kualitasnya bagus dan harganya kompetitif."

Rabu kemarin, pemerintah Indonesia memberlakukan tarif tiga tahun atas impor produk benang kapas.

Langkah ini dilakukan setelah adanya lobi dari asosiasi industri, dengan salah satunya menulis surat kepada Menteri Keuangan memperingatkan soal "impor ilegal dan dumping produk China".

Edi Pambudi, Wakil Menteri di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, mengatakan pihaknya memantau "kelebihan pasokan" barang-barang dari China, sebagai dampak dari konflik dagang antara Amerika Serikat dan China.

"Kami memahami pertimbangan Amerika Serikat terkait hal ini karena situasi defisit perdagangan mereka," katanya.

"Tapi di sisi lain, kita harus mencari cara bagaimana kita tetap bisa menjaga keseimbangan."

"Saya pikir tidak ada negara yang bisa memproduksi banyak hal dengan kemampuannya sendiri, mereka tetap membutuhkan negara lain."

"Kita harus bekerja untuk menjaga agar pasar tetap terbuka, karena jika tidak, dampaknya secara global akan sangat parah."

Trump lebih prioritaskan kesepakatan

Di saat para pemimpin ASEAN akan memanfaatkan KTT ASEAN untuk bertemu Presiden Trump untuk membicarakan tarif dan perdagangan, Presiden Trump justru akan menyaksikan kesepakatan gencatan senjata antara Thailand dan Kamboja, yang disebut sebagai "Kuala Lumpur Accord".

Gencatan senjata awalnya dibuat untuk konflik lima hari yang mematikan pada bulan Juli, dengan kesepakatan ini bentuk gencatan senjata yang lebih luas mengharuskan kedua negara menghapus ranjau dan artileri berat dari perbatasan.

Dilaporkan oleh media bernama Politico, bahwa kehadiran Presiden Trump di ASEAN bergantung pada berlangsungnya upacara kesepakatan damai.

Upacara ini tentunya akan mengalihkan perhatian para pemimpin Asia Tenggara yang bersemangat meningkatkan hubungan bilateral dengan Amerika Serikat untuk mencoba menurunkan tarif atau mendapatkan pengecualian untuk produk tertentu.

Bulan Mei lalu, pernyataan bersama para pemimpin ASEAN menyoroti tarif Trump, yang mereka sebut sebagai "ketidakpastian perdagangan global".

"ASEAN menekankan tindakan perdagangan sepihak dan balasan bersifat kontraproduktif dan berisiko memperparah fragmentasi ekonomi global, terutama ketika tindakan ini berdampak tidak langsung pada ASEAN," demikian bunyi pertanyaan.

Sejumlah bisnis dan industri, seperti milik David, sangat berharap jika Indonesia bisa mencoba menurunkan tarif untuk memberikan sedikit keringanan bagi para eksportir.

"Apa yang terjadi jika semua industri ini, bukan hanya tekstil, tetapi sektor lain, perlahan-lahan runtuh?" katanya.

Namun efek lanjutan dari perang dagang Amerika Serikat dan China, ancaman bagi produsen Asia Tenggara akibat meningkatnya ekspor China ke kawasan ini, mungkin akan sulit untuk bisa dikembalikan ke kondisi sebelumnya.

Simak juga Video 'Surat Trump Ke Prabowo: RI Tetap Kena Tarif 32%':

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads