Sebuah serikat pekerja di Australia mengusulkan adanya perubahan aturan agar 'pencurian upah' tidak dialami lagi pekerja pemetik buah asing yang diketahui dibayar $3 perjam, atau sekitar Rp 30 ribu.
Bayaran Rendah Pemetik Buah
Para kontraktor adalah mereka yang menjadi perantara yang mempertemukan pemegang visa dengan pemilik lahan pertanian di Australia.
Sekretaris nasional Serikat Pekerja AWU, Daniel Walton mengatakan kepada ABC upah rendah akibat kuatnya pengaruh para kontraktor harus dihentikan dan perubahan aturan adalah salah satu caranya untuk mengatasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Industri ini sudah menjadi pusat eksploitasi di seluruh negeri. Banyak orang yang tahu bahwa industri buah dan sayuran adalah tempat dimana eksploitasi paling banyak terjadi," kata Daniel Walton.
"Kami ingin industri ini memberikan tawaran pekerjaan yang layak. Namun kalau kita tidak membersihkan dan melakukan penerapan hukum di industri ini, maka cerita mengenai mereka yang dibayar Rp30 ribu per jam akan terus terjadi."
Serikat Pekerja Australia (AWU) mengajukan masalah ini ke Fair Work Commision (FWC), sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk menentukan antara lain upah minimum yang harus diterapkan.
Menteri Hubungan Perindustrian Australia, Christian Porter sudah mengusulkan hukuman dan denda yang lebih berat bagi mereka yang tidak membayar upah sesuai ketentuan.
Sementara Menteri Pertanian Australia, David Littleproud sebelumnya mengatakan tuduhan pembayaran upah yang rendah merupakan hal yang "memalukan" dan bila memang benar terjadi, berpotensi merusak citra sektor pertanian.
Federasi Petani Australia (NFF) yang mewakili para pemilik lahan pertanian membela kebijakan pembayaran 'upah per buah', namun mengatakan masih akan menunggu keputusan Fair Work Commission.
Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini dan laporan berikut
(ita/ita)