Saat gelombang pertama penularan virus Corona di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, sebagian mahasiswa merasakan dampaknya terhadap kemampuan mereka membayar uang kuliah.
Di Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota pelajar di Indonesia, Universitas Gadjah Mada merupakan perguruan tinggi yang banyak memiliki mahasiswa.
Dampak pandemi terlihat dari melonjaknya mahasiswa yang mengajukan permohonan penurunan uang kuliah tunggal (UKT) selama beberapa bulan terakhir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada semester ini yang mengajukan permohonan penurunan [uang kuliah] ada 8.304 mahasiswa, sementara semester sebelumnya jumlahnya hanya puluhan," kata Dr R. Suharyadi, Direktur Kemahasiswaan UGM Yogyakarta kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Saat ini secara keseluruhan UGM memiliki sekitar 40 ribu mahasiswa program sarjana dan diploma, serta sekitar 10 ribu mengikuti program pascasarjana (S2 dan S3).
Menurut Suharyadi UGM berusaha membantu bila ada mahasiswa yang mengalami kesulitan karena peristiwa besar seperti bencana alam dan tidak terkecuali seperti pandemi yang terjadi sekarang ini.
"UGM telah memberikan fasilitas untuk pembebasan UKT, penurunan atau penundaan pembayarannya, kebijakan ini sudah berjalan," katanya.
Menurutnya, UGM berusaha keras agar tidak ada mahasiswa yang berhenti kuliah karena pandemi COVID-19.
"Kami memberi bantuan dana UKT bagi mahasiswa semester 3, 5 dan 7 dan juga menggandeng mitra UGM untuk tetap memberikan beasiswa," kata Suharyadi.
Data yang dikeluarkan UGM menyebutkan adanya hampir 30 persen, yaitu sekitar 14.741 mahasiswa, yang menerima beasiswa.
Dampak yang dirasakan oleh mahasiswa dan keluarga mereka akibat pandemi memang sangat kentara, seperti yang ditemukan oleh penelitian yang dilakukan mahasiswa UGM sendiri.
Sebuah laporan berjudul "Policy Brief Kebijakan UKT Akibat Dampak COVID-19 Terhadap Kesejahteraan Mahasiswa" mengumpulkan pendapat dari sekitar 1.010 mahasiswa UGM mengenai keadaan mereka di tengah pandemi.
"Riset menemukan pandemi COVID-19 berpengaruh signifikan terhadap kondisi ekonomi keluarga mahasiswa," tulis laporan tersebut.
"Sebanyak 48,6 persen dari responden mengalami penurunan pendapatan yang cukup signifikan, 32,7 persen tidak terlalu terpengaruh, 12,5 persen mengalami pemotongan gaji, dan 34 responden (3,1 persen) mengalami PHK."
Menurut laporan tersebut, perubahan cara belajar yang harus dilakukan lewat daring juga memberi beban tambahan beban bagi mahasiswa.
"Mahasiswa harus mengikuti pembelajaran daring yang menimbulkan pengeluaran tambahan untuk akses internet."
"Hasil data riset menunjukkan 80,2 persen responden mengaku sangat membutuhkan bantuan pulsa kuota internet."
"Pandemi ini juga mempengaruhi mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir,78,2 persen dari responden mengalami kesulitan dalam pengerjaan skripsinya dan kemungkinan mereka harus memperpanjang masa studi," kata laporan tersebut.
Gangguan studi dan juga gangguan psikologis
Salah seorang mahasiswa UGM yang sedang berusaha menyelesaikan skripsinya di tengah pandemi adalah Abdul Hakam Najam, mahasiswa jurusan filsafat angkatan 2014.
Menggunakan model seperti universitas terbuka
Salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang berharap tetap bertahan di tengah pandemi ini adalah Universitas Nadhlatul Ulama (UNU) yang baru didirikan empat tahun lalu dan kini memiliki sekitar 1.400 mahasiswa.
Rektornya saat ini adalah Profesor Purwo Santoso yang juga Guru Besar Fisipol UGM.
"Tahun lalu ada 300 mahasiswa baru, tahun ini kita menerima 400 mahasiswa baru," kata Profesro Purwo kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Menurutnya, pandemi COVID-19 bagi UNU tidak menjadi ancaman, karena latar belakang mahasiswa yang direkrutnya berasal dari kalangan NU, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
"Kita masih menggunakan pola komunikasi tradisional dalam menjangkau mereka dan di tengah pandemi komunikasi tradisional ini malah menjadi kekuatan kita," jelas Profesor Purwo.
Untuk soal pembiayaan uang kuliah, Profesor Purwo Santoso mengakui mahasiswa juga mengalami masalah seperti yang terjadi di tempat lain, namun dengan menggunakan kekuatan basis umat, mahasiswa yang sekarang kembali belajar di tempat masing-masing bisa melakukannya dari pesantren tempat mereka berasal.
Ia juga menjelaskan sebagian mahasiswa UNU mendapat beasiswa lewat program Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang berasal dari Pemerintah Indonesia.
"Banyak universitas lain tidak mau menerima mahasiswa KIP karena mereka kemudian tidak bisa membebani mahasiswa dengan biaya tambahan."
"Sedangkan kita tidak sepenuhnya mengandalkan dana dari mahasiswa," jelasnya.
Karena ada kerjasama erat dengan pesantren tradisional para mahasiswa berasal, menurut Profesor Purwo timbul jaringan solidaritas yang sangat bermanfaat di tengah pandemi COVID-19.
"Sejak awal kami menggunakan universitas terbuka sebagai model. Sebelum COVID, kami sudah paham bahwa universitas harus terbuka, dalam arti mahasiswa bisa belajar dari mana saja."
"Mereka yang berasal dari pesantren, kita minta mereka bertahan di sana dan kita mencarikan solusi dengan pengumpulan dana."
"Jadi ketika mereka di pondok, kesejahteraan mereka diurusi oleh manajemen pondok, bukan lagi oleh universitas," kata Profesor Purwo.
(nvc/nvc)