Pengembangan vaksin virus corona oleh University of Queensland (UQ) dan CSL dihentikan hari Jumat ini (11/12), setelah ditemukan reaksi positif HIV pada partisipan uji coba.
Pemerintah Australia rencananya akan membeli vaksin ini sebanyak 51 juta dosis.
Dengan penghentian uji coba, kini Australia menunggu vaksin dari tiga pabrikan negara lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pernyataan kepada Bursa Efek Australia, CSL menyebutkan tidak akan melanjutkan uji coba, namun menekankan jika vaksin tersebut sebenarnya memiliki "keamanan yang meyakinkan".
CSL juga mengatakan para partisipan telah diberitahu sebelum ujicoba dimulai jikaa vaksin ini dapat mengganggu tes diagnostik HIV tertentu.
"Potensi reaksi silang ini telah diantisipasi sebelum dimulainya uji coba," kata CSL.
Profesor Paul Young dari Universitas Queensland (UQ) yang memimpin pengembangan vaksin menjelaskan diperlukan waktu setidaknya satu tahun lagi untuk memperbaikinya.
Ia mengatakan pihaknya sangat terpukul atas hal ini, karena mereka sudah bekerja selama 11 bulan tanpa henti.
"Tapi begitulah sains. Meskipun keputusan ini sangat berat, tapi kebutuhan mendesak akan vaksin harus menjadi prioritas," katanya.
Seorang partisipan uji coba vaksin CSL-UQ, Phil mengatakan kecewa setelah mendengar adanya pembatalan ini.
Pria asal Brisbane berusia 38 tahun ini mengaku bersedia menjadi partisipan uji coba karena ingin berbuat sesuatu untuk membantu memerangi virus corona.
Kepada ABC, Phil mengaku meski kecewa, dia sangat memahami keputusan tersebut.
"Kami telah diberitahu dengan sangat jelas pada tahap awal, bahwa ada fragmen kecil HIV yang tidak aktif," katanya.
"Hal itu adalah bagian dari vaksin dan ada kemungkinan kami dapat dites positif dalam tes awal. Kami semua memahami hal itu," ujar Phil.
UQ dan CSL telah memastikan vaksin ini menyebabkan infeksi HIV dan tes lanjutan menunjukkan tidak ada virus HIV pada partisipan.
Kepala Departemen Kesehatan Federal Prof. Brendan Murphy secara terpisah mengatakan meskipun UQ dan CSL sudah tahu kemungkinan reaksi positif palsu untuk HIV, namun pada awalnya diperkirakan akan sangat minim.
"Risiko mendapatkan hasil positif palsu HIV terlihat sangat rendah pada awalnya," ujar Profesor Brendan.
"Pemodelan saat itu menganggapnya sebagai risiko teoretis yang sangat minim. Makanya partisipan diberitahu tentang risiko itu," jelasnya.
Namun Profesor Brendan menegaskan kepercayaan publik terhadap vaksin apapun merupakan faktor penting untuk mendapatkan persetujuan orang untuk disuntik.
Phil menjelaskan telah dberi dua kali suntikan saat ujicoba.
"Saya memang mengalami beberapa efek samping setelah diberi dosis kedua," katanya.
"Saya ingat bangun untuk jogging pagi itu di sepanjang Sungai Brisbane dan saya merasa sangat lemas," ujarnya.
Sudah diantisipasi
Menanggapi pembatalan vaksin CSL-UQ ini, Menkes Australia Greg Hunt mengatakan pihaknya sudah mengantisipasinya.
Ia berkata, dalam semua kontrak pembelian vaksin COVID-19, pihaknya sudah mempertimbangkan potensi pembatalan serta kemungkinan menambah jumlah pesanan.
"Jadi, misalnya, kami menambah pembelian vaksin buatan AstraZeneca sebanyak 20 juta unit dari yang direncanakan dalam kontrak," kata Menkes Hunt.
Perdana Menteri Scott Morrison menyatakan pembatalan ujicoba ini menunjukkan kepada rakyat Australia bahwa pemerintah dan para ilmuwan sangat berhati-hati dalam urusan ini.
"Apa yang terjadi hari ini tidak mengejutkan pemerintah. Kami bergerak cepat tapi tidak tergesa-gesa," ujar PM Morrison.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari berbagai sumber. Simak berita lainnya dari Australia di ABC Indonesia.
(ita/ita)