Setelah bekerja selama dua bulan di sebuah usaha pertanian di Queensland, Elin cuma bisa mendapatkan penghasilan sebesar $70, atau sekitar Rp 700 ribu.
Ia tak sendiri. Setiap tahun, puluhan ribu anak muda jadi 'backpacker' disalurkan ke sektor pertanian Australia. Banyak di antaranya yang menjadi tenaga kerja murah dan sebagian dilecehkan secara seksual.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka datang melalui program 'Work and Holiday Visa' (WHV) dan di bawah pengawasan Pemerintah Australia.
Selama ini Pemerintah Australia selalu menjanjikan untuk mengambil tindakan tegas terhadap eksploitasi sistematis yang dialami backpacker dari berbagai negara.
Tapi, kisah kelam sebagian dari mereka serta data yang diperoleh ABC News menunjukkan hal sebaliknya.
MUNGKIN kita heran bagaimana bisa seseorang bekerja selama dua bulan hanya mendapatkan $70 seperti yang dialami Elin, bukan nama sebenarnya.
Bila pekerja di Australia umumnya dibayar menurut hitungan per jam, para backpacker yang bekerja di sektor pertanian biasanya dibayar menurut seberapa banyak yang mereka bisa produksi.
Misalnya, seberapa banyak buah atau sayuran yang bisa mereka petik atau seberapa banyak bibit yang bisa mereka tanam dalam sehari.
Selama bekerja di sebuah perkebunan stroberi, Elin mengaku tak selalu diberitahu berapa upah yang dikenakan.
Menurut perhitungannya sendiri, Elin menyebut terkadang dia hanya $2,5 atau sekitar Rp 25.000 per jam.
Tapi Elin bertahan demi memenuhi syarat bekerja selama 88 hari di sektor pertanian. Syarat ini ditetapkan oleh Pemerintah Federal bagi para peserta WHV yang ingin mendapatkan visa tahun kedua berada di Australia.
Syarat pekerjaan tersebut harus dilakukan di pedesaan atau wilayah regional Australia dan termasuk industri primer seperti pertanian.
"Kami harus bertahan meski sadar berada dalam situasi buruk dan dibayar rendah," kata Elin.
Ia mengaku mendapat pekerjaan itu setelah disalurkan oleh seorang subkontraktor dari perusahaan penyalur tenaga kerja.
Penyalur kerja kemudian mengatur supaya Elin tinggal di kontrakan dengan harga $125 atau lebih dari Rp 1,25 juta per minggu, tapi hanya memberinya 16 hari kerja dengan beberapa hari di antaranya hanya bekerja tiga jam.
"Pada titik tertentu, kami diminta mencari pekerja-pekerja dari negara Asia saja. Bila berhasil mendapatkan seorang pekerja dari Asia, kami akan dibayar $100," jelas Elin.
Ia sendiri mengaku menolak tawaran ini dengan alasan hal itu rasis dan konyol. Tapi sebagian 'backpacker' tetap melakukannya melalui grup Facebook.
Tracey yakin dia tidak dipanggil lagi untuk bekerja keesokan harinya karena menolak bekerja dalam kondisi "tidak manusiawi" dengan mengenakan pakaian terbuka.
"Saya pikir aneh karena hari pertama itu saya bekerja keras. Saya penasaran dan bertanya kepada koordinator asrama, mengapa saya tidak boleh kembali ke sana," katanya.
"Dia berkata, cukup saya dan dia yang tahu, tapi katanya ini gara-gara saya tidak menggoda si petani dan tidak berpenampilan seksi.'"
Ketika dia keluar dari asrama tersebut, koordinator pekerja menyampaikan sesuatu yang begitu mengena bagi Tracey.
"Kamu harus meninggalkan martabat dan kehormatan ketika datang ke sini. Moral, harga diri, pijakan. Semuanya. Tinggalkan semuanya. Tidak ada yang namanya hak asasi manusia di sini. Tidak ada kompensasi atau kesejahteraan pekerja atau upah minimum. Tidak ada," begitu kata-kata yang kemudian dicatat Tracey.
Pemilik asrama tersebut tidak berhasil dihubungi oleh ABC.
SELAMA bertahun-tahun, serikat buruh dan pihak lainnya telah menyerukan agar program Visa Liburan Kerja (WHV) dihentikan saja karena sifatnya yang eksploitatif.
Peneliti masalah pekerja migran Profesor Stephen Howes misalnya mengatakan, pemerintah tidak memiliki kendali atas program WHV: siapa yang menyewa 'backpacker' dan bagaimana kondisi tempat mereka bekerja.
"Satu-satunya solusi nyata yaitu menghilangkan insentif bagi para backpacker untuk bekerja di sektor pertanian," kata Profesor Howes.
Namun yang terjadi, pemerintah malah mengajukan perpanjangan visa backpacker untuk tahun ketiga.
Prof Howes mengatakan skema WHV yang telah ada sejak tahun 1975, telah menyimpang dari tujuan asalnya, yaitu bekerja sebagai imbalan untuk liburan. Kini WHV berubah jadi "penyaluran" backpacker ke sektor pertanian.
"Jika melihat dokumen resmi, program ini dimaksudkan untuk pertukaran budaya sembari liburan dan menghasilkan uang. Itu sudah hilang. Ini sudah menjadi visa kerja dengan keterampilan rendah," katanya.
"Pemerintah memberi opsi yang mudah bagi para petani."
Laporan Australian Fresh Produce Alliance menyebutkan bila insentif bagi para 'backpacker' yang bekerja di sektor pertanian dihilangkan, hal itu dapat menimbulkan kerugian $13 miliar, $6,3 miliar di antara di sektor pertanian.
Dengan adanya pembatasan perjalanan akibat COVID-19 saat ini, para 'backpacker' yang masih berada di Australia ditawari untuk memperpanjang visa dengan syarat bekerja di sektor produksi makanan dan pertanian.
Petani blueberi dan rasberi di Tasmania, Greg McCulloch, mengatakan industri ini sangat bergantung pada pekerja asing.
Selama 15 tahun bertani, Greg mengaku tidak seorang pun warga lokal yang datang mencari kerja ke tempatnya. Padahal tingkat pengangguran di sana terbilang tinggi.
Padahal hasil kebunnya setiap saat perlu dipanen.
"Kita harus memetik hasil panen ini dan mendapatkan pekerja yang bisa melakukannya," katanya.
Greg mengaku pengalamannya dengan para 'backpacker' sangat bagus, namun dia menyadari ada masalah dalam industri ini.
"Saya sangat kecewa dengan beberapa rekan saya petani dan sikap mereka dalam mempekerjakan orang," katanya.
"Hukum adalah hukum, terlepas dari kita setuju atau tidak."
"Mereka yang tak mematuhinya, menghasilkan uang dari hasil pekerjaan orang lain."
"Mereka memanfaatkan petani lainnya yang telah bertindak dengan benar."
Federasi Petani Nasional (NFF) mengaku frustrasi karena kasus ini terus bermunculan.
"Tidak ada tempat dalam industri kami bagi mereka yang ingin memperlakukan pekerja dengan buruk. Kami ingin memberantasnya," kata Ketua NFF Fiona Simson.
NFF bersama University of Adelaide telah meneliti permasalahan ini serta menjajaki program Fair Farms yang mengakreditasi petani dalam menerapkan lingkungan kerja yang baik.
Departemen Dalam Negeri juga berkomitmen tidak akan menoleransi pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari pekerja asing.
"Depdagri dan Pasukan Perbatasan Australia berkomitmen melindungi pekerja migran dari praktik kerja ilegal dan bekerja sama dengan seluruh mitra pemerintah untuk memberantas eksploitasi," katanya.
Tapi 'backpacker' seperti Elin yakin apa yang terjadi di beberapa usaha pertanian hanya bisa dipahami oleh mereka yang bekerja di sana.
"Ketika kita meninggalkan pertanian itu, dan kembali memasuki dunia normal, kita pun menyadari betapa buruknya situasi sebenarnya," katanya.
Kredit
- Reporter: Katri Uibu
- Desain Grafis: Paul Yeomans
- Videografi: Bryan Milliss, Colin Hertzog, Patrick Rocca, Paul Lyons dan Pete Curtis
- Proiduksi Digital: Katri Uibu dan Kate Higgins
- Produksi Video: Naomi Jackson dan Paul Yeomans
- Terjemahan: Farid M. Ibrahim