Persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Brenton Harrison Tarrant mulai digelar di Kota Christchurch, Selandia Baru, Senin (24/08). Jaksa menyebutkan pria asal Australia itu sempat tertawa saat melakukan aksinya.
Terdakwa melakukan serangan terhadap jamaah salat Jumat di Masjid Al Noor dan Mushala Linwood di Christchurch, menewaskan 51 orang dan melukai 40 lainnya.
Brenton yang kini berusia 29 tahun tampak tak menunjukkan ekspresi ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU), Barnaby Hawes membacakan tuntutannya.
Jaksa Barnaby menggambarkan kebengisan terdakwa saat melepaskan tembakan berkali-kali ke arah jamaah pria, perempuan dan anak-anak. Termasuk mereka yang sudah terluka parah dan menangis minta tolong.
Tuntutan jaksa menyatakan setelah serangan itu, Brenton sempat menyampaikan ke polisi bahwa dia ingin "membunuh sebanyak mungkin orang" dan menghancurkan setiap masjid yang ada.
"Dia bermaksud menanamkan rasa takut pada orang-orang yang dia gambarkan sebagai penjajah," kata Jaksa Hawes.
Istilah penjajah yang dimaksudkan terdakwa, menurut Barnaby adalah umat Islam dan warga non-Eropa lainnya.
"Dia mengaku ingin menurunkan jumlah imigran secara fisik dengan menyingkirkan para penjajah itu serta menciptakan suasana ketakutan dan perubahan," katanya.
"Dia mengaku ingin menembak lebih banyak orang lagi daripada yang telah dilakukannya," ujar Jaksa Hawes.
Dalam sidang hari pertama ini, terungkap jika setelah melakukan aksinya di Al Noor dan Linwood Islamic Center, terdakwa sedang dalam perjalanan ke masjid ketiga ketika berhasil dicegat dan ditangkap polisi.
Dia memarkir mobilnya tepat di seberang Masjid Al Noor lalu menggunakan drone untuk mengamati bangunan di jalan Deans Avenue, termasuk mengamati pintu masuk dan keluar masjid.
Jaksa Barnaby mengatakan pada saat itu terdakwa "membuat catatan terperinci" tentang masjid, "untuk memastikan jumlah jamaah maksimum yang akan hadir" ketika dia melakukan kejahatan.
Kemudian pada tanggal 15 Maret 2019, Brenton meninggalkan rumah sewanya di Dunedin dan berangkat ke Christchurch.
Lalu, terjadilah peristiwa yang dalam kata-kata Perdana Menteri Jacinda Ardern disebut sebagai "hari paling kelam" di Selandia Baru.
Sebelum pembantaian itu, Brenton mengirimkan manifesto yang ditulisnya, yang berjudul The Great Replacement" ke Parlemen Selandia Baru, selain juga dimuat di situs kelompok ekstremis kulit putih dan ke berbagai media.
Dalam sidang juga terungkap Brenton sempat menghubungi keluarganya di Australia, memberitahu mereka bagaimana menghadapi polisi dan media setelah pembantaian tersebut.
Kesaksian korban
Selama sidang vonis yang dijadwalkan berlangsung empat hari, pengadilan akan mendengarkan kesaksian dari lebih 60 korban selamat.
Imam masjid Al Noor, Gamal Fouda (45) merupakan penyintas pertama yang menyampaikan keterangannya.
Ia mengaku melihat langsung dan tak akan pernah lupa bagaimana "kebencian seorang teroris yang telah dicuci otaknya".
"Saya ingin mengatakan kepada teroris ini, kau telah tersesat dan disesatkan," kata Fouda.
"Kami ini masyarakat yang cinta damai dan penuh kasih. Kami tak sepantasnya menjadi sasaran Anda. Jika ada hasil dari tindakan jahatmu itu, tak lain bahwa kami justru semakin menyatu," katanya.
Imam Gamal juga menyampaikan pesan kepada sanak keluarga Brenton Tarrant dan warga Australia lainnya.
"Saya sampaikan kepada keluarga teroris ini bahwa mereka telah kehilangan seorang putra dan kami juga kehilangan banyak anak dari masyarakat kami. Saya menghormati mereka karena mereka menderita sebagaimana kami pun menderita," katanya.
"Australia adalah tetangga kita dan kita semua melawan kebencian dan rasisme," ucap Imam Gamal.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News
(ita/ita)