Swedia, negara berpenduduk sekitar 10 juta jiwa ini sangat longgar dalam menanggapi virus corona dan tidak menerapkan pembatasan sosial, seperti 'lockdown' yang dilakukan di negara-negara tetangganya.
Tak ada jam malam dan penutupan aktivitas masyarakat, juga Swedia memilih untuk tetap membuka sekolah dan kegiatan bisnis.
Langkah ini mendapat banyak kecaman, terutama setelah terungkapnya surat-surat elektronik dari kepala epidemiologis negara itu, Dr Anders Tegnell.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Profesor Ortmann mengatakan penilaian ini perlu memperhitungkan tingkat pengangguran terselubung, kepercayaan dunia usaha serta kesehatan mental warga Swedia.
Dia menyebutkan salah satu kekuatan Swedia adalah kepercayaan publik terhadap anjuran pemerintah cukup besar.
"Otoritas kesehatan masyarakat di sana cukup populer. Dua dari tiga orang Swedia tampaknya menerima strategi yang mereka lakukan," katanya.
"Kepatuhan warga Swedia terhadap rekomendasi otoritas kesehatan masyarakat sangat tinggi, sekitar 80 persen," tambah Prof. Ortmann.
Kehidupan warga Indonesia di tengah lockdown Melbourne
Warga Indonesia di Melbourne menjalani kehidupan di tengah pembatasan aktivitas yang lebih ketat.
Profesor Goldsmith sependapat dan mengatakan terlalu dini untuk membandingkan pendekatan yang diterapkan oleh tiap negara.
"Semua orang tentu senang bila bisa menjawab dan tahu persis apa yang harus dilakukan saat ini," katanya.
"Virus corona ini merupakan musuh yang tidak boleh kita remehkan," ujarnya.
Dr Tegnell belum lama ini mengatakan rapid tes dan pelacakan akan menjadi kunci dalam tahap kedua penanganan pandemi di Swedia.
Menurut Profesor Dillner, para ahli penyakit menular menunggu apakah Swedia siap menghadapi gelombang kedua infeksi COVID-19 pada musim gugur dan musim dingin di Eropa.
"Ini sangat mengkhawatirkan. Tak ada yang tahu apa yang mungkin terjadi nanti," ujarnya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News
(ita/ita)