
(Supplied: Bambang Wiwoho) Indarti (bermasker hijau) bersama rekannya sesama guru, Kusmiati, mendatangi rumah siswa untuk memperkenalkan diri di awal tahun ajaran.
'Mereka belum kenal siapa gurunya'
Tantangan yang disebut Nadiem ini dirasakan oleh Indarti.
Hanya setahun sebelum memasuki masa pensiunnya sebagai guru di Semarang, Jawa Tengah, Indarti harus sigap beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh karena pandemi Corona di Indonesia.
Tantangan yang dihadapinya saat harus mengajar siswa kelas 1 Sekolah Dasar bukan hanya terletak pada persoalan teknis untuk mengajar jarak jauh, tetapi juga soal pengenalan murid terhadap guru dan mata pelajaran yang baru.
"Ya namanya anak-anak kecil, kalau belum ketemu langsung ya belum kenal," tutur Indarti.
Indarti kemudian berinisiatif mengajak dua rekan guru lainnya untuk mendatangi langsung rumah murid-murid, yang berjumlah 21 orang, di awal tahun ajaran baru untuk sekaligus memperkenalkan diri sebagai guru mereka.
"Agar anak itu kenal dengan saya, karena [mereka] sedang dalam masa peralihan dari TK ke jenjang SD, yang baru pertama kali masuk SD tetapi belum kenal sama siapa guru saya sebenarnya," jelasnya.
Menurut Indarti juga berkenalan langsung dengan para guru menjadi salah satu modal yang menentukan proses belajar jarak jauh.
Setelah berkenalan langsung, Indarti kemudian membuat 'WhatsApp Group' untuk para orangtua murid dan mulai mengirimkan sejumlah materi dari Dinas Pendidikan untuk diteruskan ke murid-muridnya.
Tugas yang diberikan Indarti biasanya akan dikembalikan oleh orangtua per minggu untuk dikoreksi.
Namun, Indarti merasa masih belum bisa mengajar dengan maksimal, karena murid kelas 1 masih dalam tahap mengenal huruf, belajar membaca dan menulis.
Apalagi, Indarti juga mengetahui banyak kendala lainnya yang dialami oleh para murid dan orangtuanya.
"Handphone-nya cuma satu, harus mengajari dua anak belajar, belum harus masak, dan harus mengerjakan tugas yang lain. Apalagi, ada juga ibu yang juga bekerja," ujar Indarti.
"Untuk kuota internet, itu juga barang yang mewah untuk di desa. Kadang untuk makan saja susah, apalagi untuk beli kuota internet atau beli handphone."
"Ada yang memikirkan besok harus masak apa, tapi juga harus mikir beli kuota internet yang habis supaya anaknya bisa belajar," tambah Indarti.
Karena itu, Indarti akhirnya memutuskan untuk datang ke rumah murid-muridnya tidak hanya di awal tahun ajaran, tapi juga untuk mengajar, atau sebaliknya, meminta murid datang ke rumahnya.
Selama satu jam, Indarti memilih memfokuskan diri mengajar baca tulis yang menjadi dasar bagi murid-murid kelas 1 SD.
"Saya merasa bertanggung jawab untuk kemajuan anak-anak. Ini yang bisa saya lakukan untuk mereka. Walaupun tidak maksimal dan hanya berapa persen, semoga materi yang saya sampaikan ada yang terserap."
Dalam aktivitas mengajar keliling itu, Indarti juga mempraktikkan protokol kesehatan menghadapi pandemi COVID-10, seperti cara mengenakan masker, mencuci tangan dengan, dan menjaga jarak.
Namun, Indarti menyimpan kekhawatiran, jika proses belajar jarak jauh ini berlangsung dalam waktu yang panjang, para murid yang memiliki keterbatasan dan kendala akan tertinggal.
Membuka rumah dan berbagi koneksi internet
Di Depok, Jawa Barat, pasangan Bambang dan Sri Wiwoho merasa gelisah saat mendengar kebijakan pembelajaran jarak jauh yang dicanangkan pemerintah.
Mereka tahu, tidak semua orang mampu membeli kuota atau data internet.
"Kami melihat tetangga kiri-kanan banyak anak-anak sekolah, ada yang SD dan SMP, yang memerlukan internet dan kebetulan kami punya koneksi internet di rumah," kata Sri Wiwoho kepada Hellena Souisa dari ABC.
Akhirnya, sejak 23 Juli lalu, pasangan ini akhirnya memutuskan untuk membagikan koneksi internet di rumah mereka untuk anak-anak yang memerlukan sambungan internet selama proses pembelajaran jarak jauh.
"Pendopo kami terbuka hari Senin sampai Jumat, pukul 7.30 sampai 12 siang untuk mereka yang perlu internet gratis untuk belajar."
"Sebelum membuka pintu rumah kami, saya juga mengkonsultasikan ke pihak provider internet, beberapa kekuatannya, berapa orang yang bisa memakainya," ucap Sri.
Sejumlah ibu-ibu PKK dari kawasannya juga dilibatkan untuk membantu aktivitas internet gratis di pendoponya.
"Tetapi untuk anak-anak yang SD, menurut pengamatan saya, memang masih perlu pendampingan. Jadi kami sarankan murid kelas 1 sampai 3 SD agar didampingi orangtua," tambah Sri.
Karena situasi pandemi COVID-19, Sri juga mengharuskan mereka yang datang untuk mematuhi protokol kesehatan, mulai dari pengecekan suhu tubuh, memakai masker, dan menjaga jarak duduk.
'Boleh makan gratis, tapi wajib cuci piring sendiri'
Inisiatif yang sama dilakukan oleh Dicky Martiaz di kediamannya di kawasan Ciledug, Tangerang, Banten.
Sejak hari Senin (03/08), ia membuka pagar rumahnya dan menyulap teras rumahnya menjadi tempat belajar dengan internet gratis.
Dicky bahkan memasang komputer miliknya di sudut teras jika ada yang memerlukan, perpustakaan mini, dan mempersilakan makan minum gratis seadanya.
"Ya kalau pas jam makan, saya ajak ikut makan. Sederhana saja, paling mie instan atau telur dadar. Boleh makan gratis, tapi wajib cuci piring sendiri," kata Dicky.
Dicky memutuskan membagi akses internetnya setelah banyak mendengar keluh-kesah orang-orang di sekitar rumahnya.
Seorang teman Dicky mengaku pernah menghitung berapa dana yang harus dikeluarkan untuk membeli kuota internet bagi kedua anaknya di SD dan SMP.
"Menurut teman saya itu, kebutuhan per anak selama belajar dari rumah sekitar 1,5 sampai 2 Gigabyte per hari, atau setara dengan Rp 12.000 sampai Rp15.000 [per hari]," katanya.
"Itu baru untuk satu anak. Jadi per bulan [20 hari sekolah] untuk satu anak saja minimal dana yang dikeluarkan adalah Rp 240.000. Ini kan berat banget buat mereka."
Belum lagi, menurut Dicky, masih ada biaya tambahan yang keluar untuk membeli flash disk atau untuk mencetak tugas, misalnya.
"Internet saya ini unlimited dan sangat berlebih untuk saya, jadi aku buka wifi-nya di teras," ujar Dicky.