Sri Ernawati adalah pemegang 'Work and Holiday Visa' tahun kedua yang saat ini berada di rumahnya di Pontianak, Kalimantan Barat, sedang menunggu apakah ia bisa kembali ke Australia.
Desember tahun lalu, ia mengajukan visa tahun kedua saat masih di Australia dengan biaya AU$800, sekitar Rp8,1 juta agar bisa melanjutkan pekerjaannya di sebuah pabrik di Queensland, Australia.
"Visa [tahun pertama] saya habisnya di bulan Maret dan selesai kerja di pabrik bulan Februari. Jadi kan ada jeda waktu, saya pikir saya pulang dulu untuk ketemu keluarga," kata Sri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Sri yang sudah memesan tiket untuk penerbangan tanggal 26 Maret, tidak dapat kembali ke Australia yang menutup perbatasan enam hari sebelumnya.
"Tidak tahunya, tanggal 20 Maret perbatasan [Australia] ditutup ... dan sekarang ekonomi Indonesia kacau, padahal di Australia saya sudah ada pekerjaan dan bisa melanjutkan.
ADVERTISEMENT
Australia kemungkinan besar akan menutup perbatasan sampai 2021, padahal batas berlaku visa Sri adalah hingga bulan Maret 2021.
Sri yang bulan Agustus nanti akan berulang tahun ke-31, juga mengatakan tidak dapat mengajukan kembali WHV yang hanya menerima pelamar berusia 18-30 tahun.
Menurutnya penutupan perbatasan di Australia telah menimbulkan kerugian bagi pemegang WHV yang kehilangan kesempatan untuk mengejar WHV tahun kedua dan ketiga.
Permintaan yang sama juga diutarakan oleh Yesica, yang berharap ada campur tangan Pemerintah Australia terhadap nasib pemegang WHV dari seluruh dunia.
Kontribusi pemegang WHV bagi perekonomian Australia diperkirakan mencari AU$ 3 triliun, selain turut menggerakkan perekonomian kawasan pedalaman Australia.
"Anak-anak WHV memegang peranan penting untuk Australia, pekerjaan yang tidak dilakukan warganegara kami lakukan, seperti farming," kata Yesica.
"Karena perbatasannya tutup sehingga kami banyak yang stuck [terjebak] di sini [negara masing-masing]."
Simak berita lainnya di ABC Indonesia.
(ita/ita)