Ketika seseorang membuat akun Facebook, mereka bisa saja berbohong tentang umur atau menggunakan gambar profil orang lain.
Namun, bagi orang-orang yang ingin tinggal di Australia untuk mencari perlindungan, tindakan ini berisiko.
Menurut pencari suaka dan pengacara imigrasi, petugas imigrasi Pemerintah Australia secara rutin memeriksa unggahan di media sosial untuk memastikan kebenaran identitas pemohon visa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika Tina Dixson diwawancara untuk memenuhi syarat melamar visa 'protection' atau perlindungan di tahun 2013, ia terkejut ketika petugas imigrasi memiliki cetakan profil LinkedIn-nya.
Namun, menurut Stephanie Blaker, pengacara dari lembaga Bantuan Hukum NSW, dalam praktiknya, beberapa petugas memeriksa informasi di Facebook tanpa paham hal teknis.
Hal teknis tersebut misalnya fitur 'tagging', 'Like', dan 'Privacy' yang tingkatnya berbeda-beda.
Stephanie pernah menangani kasus di mana seorang pria muda dipertanyakan karena status 'di bawah umur'-nya tidak sesuai dengan keterangan di Facebook yang menyatakan jika usianya lebih tua.
"Adalah hal yang biasa bagi anak muda bila ingin terlihat lebih dewasa, atau mengedepankan citra tertentu, tanpa ada keinginan untuk menipu orang lain," katanya.
"Namun hal ini tidak selalu dipahami ketika sedang melamar visa."
Sarah Dale, pengacara khusus pengungsi mengatakan dari pengalamannya bekerja dengan banyak orang dari beragam komunitas, kliennya tidak menggunakan media sosial sebelum menginjakkan kaki di Australia.
Ia sering mendengar cerita di mana para pelamar dibantu membuat akun Facebook oleh teman mereka agar dapat bergabung dalam grup dan berinteraksi dengan orang banyak.
Namun, hal ini justru membuka celah bagi informasi tidak benar.
"Ketika seseorang tidak pernah mengakses media sosial sebelumnya, atau bahkan belum pernah memiliki akses ke internet selayaknya di Australia, ada peluang informasi yang tidak konsisten," katanya.
Melihat hal ini, beberapa pelamar telah disarankan untuk menghapus akun media sosial mereka sebelum melamar visa perlindungan.
Seperti yang dilakukan Noa, bukan nama sebenarnya, yang disuruh pengacaranya untuk menghapus akun Facebook-nya sebagai langkah berjaga-jaga.
Bahkan ketika Noa sudah mendapatkan visa tersebut, ia masih belum berencana untuk mengaktifkannya kembali.
"Saya tidak membutuhkan Facebook lagi. Tapi β¦ sisi lainnya, saya juga tidak mau ada drama β¦ atau diperiksa oleh imigrasi."
Tantangan bagi komunitas LGBTIQ
Bagi beberapa orang, jejak di media sosial justru semakin menyulitkan mereka.
Seperti yang dialami Jorge, bukan nama asli, yang baru saja memperoleh visa perlindungan.
Ketika melamar visa perlindungan, ia sempat ditanya apakah dia terbuka soal orientasi seksualnya di media sosial.
Kepada petugas itu, ia mengatakan telah menghapus beberapa anggota keluarganya dari daftar pertemanan untuk alasan keselamatan, namun sejak berada di Australia, ia lebih merasa nyaman untuk berbagi foto, seperti ketika berada di acara Mardi Gras, sebuah pawai dan pesta komunitas LGBTIQ di Australia.
"Sebetulnya agak mengintimidasi ketika kita mengunggah sesuatu, kemudian harus menjelaskan kenapa kita mengunggahnya kepada seseorang yang tidak kita kenal."
Namun, ia merasa bersyukur karena berkat kemampuan berbahasa Inggrisnya, ia dapat mewakili diri sendiri dan tidak memerlukan bantuan penerjemah.
"Saya tidak bisa membayangkan seberapa stress-nya saya kalau harus berbicara pada seorang penerjemah dari negara saya," katanya.
"Saya sadar di negara saya masih ada unsur homofobia dan seringkali perkataan dapat salah diterjemahkan atau dimengerti."
Masalah keadilan prosedural
Menurut beberapa pengacara imigrasi, seringkali pelamar visa perlindungan tidak diberitahu tentang kemungkinan media sosial mereka akan diperiksa petugas.
Seorang juru bicara dari Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan pelamar visa perlindungan diberi informasi mengenai bagaimana petugas Departemen Dalam Negeri bisa "menanyakan pertanyaan lebih lanjut jika dibutuhkan" untuk menentukan apakah mereka memenuhi syarat untuk visa tersebut.
Mengenai hal ini, Daniel Ghezelbash, peneliti hukum pengungsi di Macquarie Law School, mengatakan seharusnya ada pedoman jelas bagaimana petugas imigrasi dapat menggunakan bukti dari Instagram, Facebook, dan situs lainnya.
Selain itu, masalah lain menurutnya adalah bagaimana petugas imigrasi menunjukkan bukti yang didapat dari media sosial kepada pelamar visa.
Jika seorang petugas menemukan informasi dari Facebook yang bertolak belakang dengan keterangan pelamar, misalnya, mereka harus menunjukkannya kepada pelamar, sesuai dengan Hukum Migrasi dan memberikan mereka kesempatan untuk menanggapi.
Namun, dokumen Departemen Dalam Negeri Australia mengatakan petugas tidak memiliki kewajiban untuk memberitahu pelamar soal dari media sosial mana informasi mengenai pelamar mereka dapatkan.
Namun di saat yang bersamaan, media sosial juga dapat digunakan oleh para pelamar untuk membuktikan alasan mereka memohon visa perlindungan.
Contohnya, jika mereka dikaitkan dengan kelompok agama atau politik tertentu, mereka bisa membuktikannya melalui unggahan Facebook.
Atau jika mereka sedang mencoba menyelamatkan diri dari kekerasan rumah tangga, pesan-pesan di Whatsapp bisa menunjukkan buktinya
*nama Tina Dixson adalah bukan nama sebenarnya
Simak berita lainnya di ABC Indonesia
(ita/ita)