
Demonstrator berhadap-hadapan dengan aparat polisi dalam aksi protes untuk George Floyd di Minneapolis. (ABC: Mitchell Woolnough)
Sudah lebih dari 30 tahun sejak Australia mulai menangani masalah kematian penduduk asli dalam tahanan. Namun isu ini jarang sekali mendapatkan perhatian sosial atau politik.
Di tahun 1987, pernah dibentuk Komisi Khusus Penyelidikan Kematian Orang Aborigin Dalam Tahanan. Banyak rekomendasi yang ditelurkan, tapi tidak diimplementasikan.
Sejak itu, diperkirakan sudah ratusan penduduk asli yang tewas dalam tahanan.
Di saat warga Australia turut mengecam kematian George Floyd di medsos, banyak warga Aborigin bertanya dimana kalian ketika keluarga saya mengalami hal yang sama?
Apakah orang Australia kurang berempati atas kematian warganya sendiri dalam tahanan? Atau pengaruh Amerika begitu kuat sehingga kita semua memahami lebih baik perjuangan rasial di sana daripada perjuangan kita sendiri?
Kekuatan jumlah
Sebagai jurnalis saya meliput banyak aksi protes terhadap tewasnya penduduk asli dalam tahanan di Australia. Aksi-aksi demo ini mulai dari yang hanya diikuti belasan hingga ratusan orang.
Tapi saya belum pernah melihat aksi seperti apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.
Salah satu alasannya yaitu jumlah populasi Australia yang relatif kecil. Populasi warga AS keturunan Afrika sekitar 43 juta orang, sementara populasi penduduk asli Australia hanya 800.000 orang.
Tapi ada alasan yang lebih mendasar. Dalam beberapa hal, kriminalisasi terhadap warga kulit hitam di Australia bahkan lebih parah daripada di AS.
Di Australia, tak ada musik, film, atau acara TV yang menyuarakan hal ini secara teratur.
Di AS, warga keturunan Afrika merupakan 14 persen dari populasi, dan sekitar 30 persen dari seluruh narapidana.
Penduduk asli Australia hanya 3 persen dari populasi namun mencapai 30 persen dari seluruh napi.
Persentase tahanan penduduk asli Australia empat kali lebih besar daripada tahanan kulit hitam di AS. Di kalangan tahanan berusia muda di Australia, 50 persen merupakan penduduk asli.
Ini perbandingan yang kasar saja namun bisa menggambarkan seperti apa sistem peradilan di Australia.
'Saya tak bisa bernafas'
Salah satu kasus di Australia yang memiliki kemiripan dengan kasus George Floyd adalah tewasnya David Dungay dalam penjara di Sydney pada 2015.
Pria dari suku Dunghutti ini juga tewas ketika ditahan secara fisik oleh aparat. Ia pun berkali-kali sempat berucap, "Saya tak bisa bernapas."
Saya ingat protes yang disampaikan keluarga David Dungay di Sydney. Sekitar 50 orang turun ke jalan, tapi nyaris tidak ada media yang meliput.
Padahal kejadiannya tak berselang lama setelah puluhan ribu orang melakukan aksi demo menentang Hari Australia dan perubahan iklim. Hanya berjarak beberapa blok dari sana.
Sampai sekarang pun tak ada petugas yang didakwa atas kematian Dungay.
Protes terbesar soal kematian dalam tahanan di Australia saya saksikan tahun lalu di Alice Springs.
Seorang remaja dari suku Walpiri, Kumanjayi Walker (19), tewas di rumahnya setelah diduga ditembak oleh seorang polisi kulit. Kejadian ini berlangsung di Yuendumu, suatu komunitas terpencil yang dihuni sekitar 1000 orang.
Dalam aksi protes itu, ratusan orang melakukan perjalanan berjam-jam dari rumah mereka di kawasan tengah Australia dan menduduki alun-alun kota Alice Springs.
Ada kerumitan lain bagi masyarakat pribumi seperti ini, sebab Bahasa Inggris bukanlah bahasa utama mereka. Menentukan siapa yang tampil bicara juga harus melalui protokol budaya setempat.
Saya menemui seorang ibu yang menggendong bayinya dan mengaku sangat khawatir bila nanti anaknya itu akan berakhir di peti mati dengan luka tembak di tubuhnya.
Aparat polisi yang diduga menembak Walker telah didakwa dengan tuduhan pembunuhan.
Sampai sekarang kasus ini belum juga di sidangkan, namun akan menjadi satu dari sedikit kasus kematian orang Aborigin yang dibawa ke pengadilan.
Setelah oknum aparat itu ditangkap, hanya ada beberapa peringatan dukacita bagi Walker.