Permintaan Alat Musik di Australia Meningkat Tapi Penjual Kesulitan Dapatkan Barang

Permintaan Alat Musik di Australia Meningkat Tapi Penjual Kesulitan Dapatkan Barang

ABC Australia - detikNews
Jumat, 24 Apr 2020 07:34 WIB
Canberra -

Saat ini, permintaan di beberapa bisnis di Australia melonjak tajam dari para pembeli yang sedang menerapkan aturan 'stay-at-home' atau "di rumah saja".

Namun, tutupnya pabrik penyedia beberapa produk di China karena COVID-19 telah menimbulkan kesulitan bagi bisnis-bisnis ini untuk mengisi persediaan barang mereka.

Kendala ini dialami Wayne Evans, pemilik sebuah toko sepeda di Perth Utara yang berjarak tujuh menit menyetir dari pusat kota, yang teleponnya selalu ramai pelanggan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di situasi seperti sekarang ini, di mana orang-orang tidak bisa pergi ke gym, kolam renang, tempat bermain dekat rumah, orangtua dan anak-anak memilih untuk bersepeda."

Namun, di saat permintaan sepeda baru dan suku cadang meroket, Wayne justru merasa kewalahan karena harus menunggu stok barang dari China, yang habis di 'warehouse' atau gudang penyedia.

ADVERTISEMENT

"Kami harus menunggu mungkin sampai bulan Juni untuk melihat model sepeda terbaru. Sementara itu, ada kesenjangan tersedianya barang di pasar."

Warga Australia mulai bermusik di tengah krisis

Hal yang sama dialami Graham Hoskins, pemilik toko alat musik lainnya di Perth, yang jumlah penjualan produknya meningkat di tengah pandemi COVID-19.

"Ini bukan 'panic buying' [atau memborong barang karena panik]. Namun, memang sudah ada peningkatan drastis pada pembelian alat musik seperti keyboard, gitar, bahkan drum," kata dia.

"Orang-orang sedang mencari sesuatu [yang bisa dilakukan] untuk melalui masa sulit ini."

Namun, lagi-lagi, persediaan barang menjadi kendala. Suatu kali, Graham tidak dapat memperbaiki leher gitar pelanggannya yang rusak karena pabrik di China tutup dan tidak menerima panggilannya.

Keterbatasan stok barang ini menurutnya sudah kelihatan sejak bulan Februari, dan kini semakin parah.

Di saat bisnis lain runtuh, bisnis panel surya malah ramai

Menurut survei dampak COVID-19 pada bisnis, Kamar Dagang dan Industri di Australia Barat mencatat bahwa 40 persen bisnis di sana mengalami kesulitan mendapatkan suku cadang dan persediaan lainnya dari negara bagian lain atau luar negeri.

Sekitar 85 persen bisnis di Australia Barat melaporkan menurunnya angka pembelanjaan.

Bidang ritel, akomodasi, perumahan, serta seni dan rekreasi, adalah yang paling menderita.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi perusahaan panel surya SG Wholesale yang nasibnya beruntung.

Sejak aturan "di rumah saja" berlaku, permintaan mereka justru meningkat sehingga cabang perusahaannya bisa tetap buka.

"Pelanggan mulai mengambil langkah untuk memotong pengeluaran listrik yang muncul sejak bekerja dari rumah," kata Emmett Bray, manager pengembangan bisnis perusahaan itu.

"Dan kini, kami sudah tahu kalau China sudah beroperasi secara online, jadi, dari sudut pandang produksi, kemungkinan mereka menerima banyak permintaan."

Barang ada, namun pekerja terjebak di negara sendiri

Kebijakan terkait pandemi COVID-19 mendorong orang-orang untuk bekerja dari rumah dan melakukan kegiatan yang justru tidak praktis.

Dua bulan yang lalu, perusahaan perangkat keras bernama Beyond Tools, sempat mengalami masalah dengan penyediaan barang dari pabrik di Qingdao, China, yang memproduksi gergaji panel.

Meski stok barang sudah mulai kembali berdatangan, Francis Barr, manajer dari bisnis keluarga tersebut mengatakan bahwa pedagang eceran justru mengalami dilemma baru.

Karena perbatasan antarnegara ditutup, mereka tidak bisa mengirim teknisi ke negara bagian lain.

"Kami terjebak karena perbatasan antarnegara ditutup. Barang kami memang sudah pelan-pelan masuk, tapi kami tidak bisa mengirim teknisi untuk memasangnya. Jadi, tetap saja tidak dibayar pelanggan."

Sementara itu, jumlah orang yang berbelanja di tokonya sudah mulai menurun sejak bulan Februari.

Meski tersendat, bisnis tersebut memang masih bisa berjalan, namun di saat yang bersamaan tidak memenuhi syarat untuk program JobKeeper, bantuan pemerintah Australia berupa penyaluran dana sebesar AU$1,500 (Rp14,7 juta) per dua minggu bagi perusahaan yang mempekerjakan karyawan.

"Kami tidak memenuhi syarat karena penurunan pendapatan kami belum mencapai angka 30 persen. Jadi, bisnis yang mengalami hal sama juga menderita," kata Francis.

Francis dan pemilik bisnis di sepatu yang sama berharap agar Pemerintah Australia dapat mengeluarkan kebijakan yang dapat membantu mereka.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini

(ita/ita)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads