Di tengah polemik penggunaan kata mudik dan pulang kampung yang terjadi di Indonesia saat ini, strategi mana yang paling tepat untuk mengurangi penyebaran virus corona di Indonesia saat ini?
Dengan sebagian warga Indonesia sudah melakukan perjalanan atau masih akan melakukannya, entah dalam rangka pulang kampung, atau mudik karena Lebaran yang sudah dekat, kampanye untuk mendesak pergerakan dalam jumlah besar tidak dilakukan sekarang semakin gencar.
Kalau Emang Abang Sayang, Virus Corona Jangan Kau Bawa Pulang, demikian tulisan di sebuah stiker di kaca belakang sebuah mobil di Jakarta, kota dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Stiker yang juga dapat ditemukan di tembok beberapa tempat di sepanjang jalan kota ini merupakan inisiatif Dodi Triaviandi bersama kedua orang temannya yang tinggal di Cibubur, Jakarta Timur.
Stiker buatannya pun sengaja dibikin dalam beberapa versi bahasa daerah agar bisa menjangkau lebih banyak orang.
Meski sebelumnya hanya berupa tagar di media sosial berbunyi #TakPulangKarenaSayang, sejak tiga hari yang lalu, kampanye ini mulai diseriusi Dodi dan partisipan lainnya yang sadar bahwa kegiatan mudik turut memperbesar risiko penularan COVID-19.
Melalui kampanye #TakPulangKarenaSayang, Dodi ingin meyakinkan 24 persen warga yang masih ingin mudik, melalui metode komunikasi yang menurutnya dapat diterima warga Indonesia.
Menurut Dodi, dalam waktu dekat, stiker kreasinya akan disebarkan lebih luas ke angkot, pasar, terminal, dan tembok-tembok di pinggir jalan kota Jakarta, yang mudah dilihat para pejalan kaki.
"Kebetulan selama ini saya terlibat di periklanan juga. Jadi saya paham bahwa masyarakat Indonesia itu untuk hal-hal seperti ini memang harus diingatkan] lagi. Jadi makin banyak diingatkan, semakin baik."
Upaya Dodi untuk memperingatkan warga melalui media stiker mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk mengisi celah yang ditinggalkan pemerintah.
Sebab, menurut pengamatan Farid yang adalah Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Wonosobo, kesadaran minim warga di daerahnya berakar dari ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani COVID-19.
"Menurut saya sudah jelas sekali Pemerintah itu tidak punya kebijakan yang tegas tentang menghadapi virus corona. Selalu mereka pertimbangannya antara kesehatan dan ekonomi, padahal menurut saya itu bukan pilihan. Kesehatan dulu dipenuhi," kata dia.
"Karena kalau separuh-separuh, seperti misalnya PSBB di Jakarta sekarang, di satu sisi ada pembatasan, tapi juga sebenarnya banyak orang yang masih ke kantor, menurut saya, dari sana orang akan tertular dan ekonomi tetap akan rusak."
Simak berita lainnya di ABC Indonesia dan ikuti kami di Facebook dan Twitter.
(ita/ita)