Sejumlah perempuan asal Indonesia telah membuktikan diri jika mereka tidak hanya mampu bekerja di Australia, yang memiliki budaya berbeda jauh dengan di Indonesia.
Mereka juga mampu bersaing di bidang-bidang yang biasanya didominasi pria, bahkan dianggap sebagai "pekerjaan pria".
Untuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang diperingati 8 Maret setiap tahunnya, ABC Indonesia berbincang kepada tiga perempuan asal Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maryln Whyte, Jelita Sidabutar, dan Yulia Hadi bekerja di sektor pertambangan di Australia Barat, namun mereka bekerja di perusahaan yang berbeda.
Sebelumnya, mereka juga pernah memiliki pengalaman bekerja di bidang pertambangan, konstruksi, dan telekomunikasi saat berada di Indonesia.
'Bukan seorang puteri, tapi pejuang'
Menurutnya, salah satu tantangan bekerja di industri tambang Australia adalah "budaya maskulin barat", kadang dengan lelucon yang bisa salah kaprah dan penuh kata-kata kasar.
"Saya tentu tidak membawanya ke hati, saya katakan pada mereka kalau itu tidak benar, meski saya tahu mereka tidak benar-benar bermaksud seperti itu."
Bekerja di pertambangan dikenal dengan gajinya yang tinggi, ia mengaku bayarannya bisa mencapai AU$ 2.700, atau lebih dari Rp 25 juta, per pekan setelah pajak.
Tapi bagi perempuan yang ingin bekerja di bidang ini, ia sarankan untuk menyiapkan mental.
"Kalau benar-benar punya semangat untuk melakukannya, maka kerjakan, tapi kalau setengah-setengah, lebih baik jangan."
Saat ia pulang dari tugasnya di lokasi tambang, ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat, bertemu anak-anaknya atau bersama teman-temannya.
Ikuti kisah-kisah inspiratif dari komunitas Indonesia di Australia di situs ABC Indonesia.
(mae/mae)