Di jantung kawasan Chinatown Sydney, Australia, seorang asisten ritel berusia 30 tahun bernama Amanda menjual masker dan krim wajah dalam kemasan mencolok. Tapi bukan kemasan yang menarik perhatiannya, melainkan produk tersebut mengandung pemutih kulit.
"Orang China suka memutihkan kulit, [mereka menganggapnya] cantik, memutihkan dan mencerahkan dianggap bagus," ujar Amanda sambil tersenyum.
Senyuman itu tulus, karena Amanda sendiri adalah penggemar produk pemutih kulit.
"Saya menggunakan yang ini di pagi hari dan di malam hari ... bisa membuat kulit Anda terlihat sangat sehat, sangat jernih," ungkapnya.
"Ini sangat populer."
Popularitas produk pemutih kulit terus meningkat. Menurut analis intelijen pasar Global Industry Analysts, pasaran yang diproyeksikan mencapai $23 miliar dolar, senilai lebih dari Rp 220 triliun, pada tahun 2020 mendatang.
Di seluruh kawasan Asia, adalah hal yang normal untuk masuk ke toko kecantikan dan melihat banyak produk pemutih kulit menghiasi rak toko.
Memutihkan kulit adalah tren budaya dan berasal dari apa yang dikenal sebagai "colourism", sebuah paham yang mengistimewakan kulit yang lebih terang.
Hal ini bisa begitu meresap ke dalam budaya Asia, di mana kulit yang lebih gelap sering dikaitkan dengan pekerjaan buruh di luar ruangan, seperti bertani, dan karena itu statusnya lebih rendah.
Menurut data sensus terbaru Biro Statistik Australia di tahun 2011, 24,6 persen populasi Australia lahir di luar negeri, sementara 43,1 persen warga Australia setidaknya memiliki satu orang tua yang lahir di luar negeri.
"Saya rasa perubahan pada populasi benar-benar membuat jumlah penjualan pemutih kulit menjadi potensial, dan tentu saja dalam praktik saya sebagai dokter kulit spesialis kulit berpigmen dan kulit berwarna, saya banyak meneriman konsultasi dan pertanyaan," kata Dr Michelle Rodrigues dari College of Dermatologists dan konsultan dermatolog di Melbourne.
"Mayoritas pasien yang menemui saya ingin kulitnya cerah, mereka memiliki pemahaman awal bahwa kulit terang itu lebih indah dan ini berasal dari keyakinan budaya dan sejarah, sehingga mungkin mengarah pada peningkatan kesempatan kerja atau perkawinan," jelas Dr Rodrigues.
Meskipun tak ada figur nasional, sejumlah apotek dan toko kecantikan mengatakan penjualan krim, scrub, lotion dan bahkan pil pemutih dan pencerah begitu meningkat.
"Anda melihat orang berkulit gelap yang cenderung menghabiskan banyak waktu di bawah sinar matahari dan kemudian tiba-tiba menginginkan sesuatu untuk membantu mencerahkan kulit mereka, karena mereka tak suka penampilannya, dan ini juga merupakan tren," kata ahli kosmetik Priceline, Vali Harding.
Ia memperkirakan, penjualan produk pemutih telah berlipat ganda selama 12 bulan terakhir di apotek Adelaide tempat ia bekerja.
Albina Reale, manajer nasional untuk produk kecantikan di Chemist Warehouse, sependapat dengan Harding.
"Tren memakai masker untuk perawatan kulit dilakukan semua kategori, namun terutama produk pemutih. Itulah tren yang paling cepat berkembang dan Anda bisa melihat itu berasal dari Korea dan China. Ini jelas merupakan tren, dan ini pastinya sesuatu yang harus kami fokuskan," jelasnya.
Ia menyambung, "budaya Asia suka kulit putih - ini dianggap cantik, muda," kata Penna, asisten Kosmetik Blush di pusat kota Sydney.
Penna mengatakan bahwa ia menggunakan lotion pemutih asal Jepang setiap pagi dan berencana untuk melanjutkan perawatan ini.
Sejumlah toko kecantikan di Sydney mengatakan perempuan yang secara teratur membeli produk pemutih berusia antara 25 hingga 40 tahun.
Dokter kulit peringatkan efek sampingAda ribuan video di YouTube yang menunjukkan cara memutihkan kulit dengan produk sehari-hari, hingga kajian ekstensif tentang seberapa baik merek tertentu untuk memutihkan kulit.
Para dermatolog atau ahli kulit di Australia mengatakan mereka khawatir dengan risiko penggunaan produk pemutih, di mana beberapa bahannya tak diungkapkan dengan jelas atau tertulis dalam bahasa asing.
"Jumlah konsumen lambat tapi naik secara bertahap, begitu pula efek sampingnya," kata Dr. Rodrigues. Ia menambahkan salah satu pasiennya memiliki masalah dengan iritasi dan kemerahan setelah menggunakan krim pemutih.
"Ada risiko nyata dan manfaat yang secara teori belum terbukti, tapi terbukti berpotensi berbahaya," imbuhnya.
Otoritas Pengawas Obat Australia (TGA) mengatakan bahan kimia hydroquinone adalah bahan yang paling umum digunakan untuk produk pemutih kulit.
Bahan kimia ini dilarang di Eropa, namun bisa ditemukan pada produk yang dijual di Australia.
Sejak tahun 2000, hanya ada enam reaksi obat yang merugikan terkait penggunaan hydroquinone yang tercatat, menurut TGA.
Namun, para dokter mengatakan, ada kebutuhan besar untuk memberikan pengetahuan soal identitas dan perawatan diri.
"Ini menjadi pertanyaan filosofis yang lebih luas soal orang berkulit gelap, yang mencoba untuk terlihat seperti orang Anglo-Saxon [kulit putih], yang menurut saya begitu mengkhawatirkan," kata Dr Ritu Gupta, spesialis dermatolog yang berbasis di Sydney.
"Ini sangat mengkhawatirkan," tegasnya.