Nama saya Faisal Rusdi berasal dari Bandung. Pada tahun 2013, saya berlibur ke Sydney dan Melbourne selama 10 hari.
Tiba di Sidney Airport saya dijemput istri saya, Cucu Saidah dan kami naik kereta Metro menuju apartemen tempat kami menginap. Kereta ini memiliki akses bagi pengguna kursi roda.
Selama di Sydney kami mencoba jalan jalan ke tempat-tempat yang aksesibel bagi saya dan istri yang menggunakan kursi roda.
Di antaranya naik kapal layar mengelilingi Opera House, jalan-jalan di sepanjang trotoar sambil melihat para seniman membuat karya seninya, makan dan minum di kafe pinggir jalan, berkunjung ke beberapa pantai, seperti Bondi Beach dan kebun binatang Koala Park Sanctuary.
Sebagai seorang pelukis, saya juga memastikan berkunjung ke Museum of Contemporary Art Australia.
Tempat-tempat tersebut bisa dilalui dengan mereka yang berada di atas kursi roda, karena permukaannya yang datar sehingga kami tidak perlu sulit naik dan turun tangga. Ada pula lift yang diprioritaskan untuk kami dan toilet khusus warga difabel.
Begitu pula saat kami kami pergi Melbourne. Di kota ini kami berkunjung ke beberapa tempat untuk melihat suasana kasino Crown Melbourne, Royal Botanic Gardens. Tapi pengalaman yang paling mengesankan adalah saat bisa naik dan berfoto di puncak gedung Eureka.
Gedung ini adalah tercatat sebagai gedung hunian tertinggi di belahan dunia selatan. Hal yang unik yang pernah saya lihat di Melbourne juga adalah beberapa orang yang menawarkan pelukan gratis kepada setiap orang pejalan kaki yang lewat, sayang saya tidak sempat mencobanya.

Faisal pernah bergabung dengan klab penyelam yang dikhususkan bagidifabel. (oto: Koleksi pribadi)
September 2016, saya kembali ke Australia untuk tinggal sementara di Adelaide menemani istri saya hingga Desember 2017.
Sejak bulan Januari 2016, istri saya memulai program master (S2) Public Policy di Flinders University. Saya merasa senang sekali bisa kembali ke Australia, terutama bisa menetap sementara di Adelaide, sebagai salah satu kota ternyaman di dunia.
Saat ini saya bisa merasakan kenyamanan kota ini, terlebih sebagai seorang difabel.
Kursi roda yang saya dan istri gunakan adalah kursi roda elektrik, sehingga lebih memudahkan untuk mengeksplor tempat-tempat di Adelaide.
Beberapa tempat di Adelaide yang sudah kami kunjungi di antaranya, menikmati karya seni di Art Gallery of South Australia, melihat indahnya matahari tengelam di Glenelg Beach, melihat orang memancing di Brighton Beach, bermesraan bersama istri di Botanic Garden, melihat air terjun di Morialta.
Kami juga sudah merasakan berada di tahanan penjara Adelaide Gaol, berkemah di Victor Harbour, berpanas-panasan di Granite Island, merayakan ulang tahun pernikahan di Cruise Port Adelaide, naik bis Firefly Adelaide ke Melbourne selama 12 jam hanya untuk nonton konser Coldplay di Etihad Stadium.
Dan tak ketinggalan ikut berjubel bersama warga di Rundle Mall saat Boxing Day, sehari setelah Natal, dan tahun lalu diitutup dengan melihat kembang api di malam tahun baru di Elder Park. Sementara rutinitas mingguan saya adalah menemani istri belanja di Central Market, salat Jum'at di Oasis Flinders, Adelaide City Mosque, atau masjid lainnya di kampus-kampus.
Semua aktivitas saya bisa dengan mudah dilakukan di atas kursi roda, tanpa merasa bahwa kami memiliki keterbatasan fisik.
Baru beberapa bulan di Adelaide, saya semakin berkesan setelah mendapat kesempatan mengikuti pameran seni The Face of Humanity bersama Amnesty International dan ARTellery Adelaide.
Saya menjadi satu satunya seniman dari Indonesia dari sembilan seniman yang ikut partisipasi. Saya berharap dapat menggelar pameran lukisan tunggal di Adelaide, sebelum kami pulang ke Indonesia.
Saya juga merasa bangga, karena bisa mengikuti parade Hari Internasional Disabilitas dari depan Parliament House menuju Victoria Square bersama Kelly Vincent, anggota parlemen pertama penyandang disabilitas di Australia Selatan dari Partai Dignity for Disability, yang mengusung aspirasi bagi warga difabel.
Kami juga sempat bertemu dengan Martin Haese, Walikota Adelaide dalam parade tersebut.

Faisal bersertaistrinya saat menghadiri salah satu acara masyarakatdifabel di Australia. (Foto: Koleksi pribadi)
Pelayanan di Adelaide bagi penyandang disabilitas sangat baik. Kedua tangan saya tidak berfungsi secara optimal namun kemudahan dirasakan karena adanya fasilitas kartu Mobility Pass.
Dengan kartu ini, saya bisa menggunakan transportasi bus, trem dan kereta tanpa harus melakukan validasi kartu ke mesin yang ada.
Ada pula fasilitas Companian Card, yang ditujukan bagi pendamping saya. Jika saya pergi bersama seorang pendamping, maka pendamping saya tidak harus membayar saat naik transportasi umum, nonton di bioskop, nonton konser, dan masih banyak kegiatan lainnya.
Orang Australia juga memiliki sikap yang baik, seperti minta maaf berkali-kali saat mereka menghalangi jalur pengguna kursi roda. Untuk menggunakan fasilitas umum dan naik atau turun transportasi umum, mereka pun sangat memprioritaskan pengguna kursi roda.
Sepulang dari Australia nanti, saya berjanji untuk membantu mendukung dan mendorong pemerintah Indonesia agar membangun infrastruktur dan transportasi yang desainnya bisa memudahkan semua orang.
Setelah merasakan tinggal di Australia, nantinya tentu saya akan merindukan fasilitas yang memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi warga difabel, baik infrastruktur maupun transportasinya, bagi saya dan istri yang menggunakan kursi roda.
Kami akan merindukan bisa berpergian kemana pun dengan mandiri.
Saya akan rindu dengan teman-teman saya pengguna kursi roda elektrik yang mengikuti kegiatan olahraga, diberi nama Push and Powered Sports, mulai dari sepakbola, rugby, hoki.
Sangat disayangkan karena di Indonesia belum ada olahraga untuk pengguna kursi roda elektrik.
Saya juga akan rindu dengan para instruktur scuba diving di kelompok Determined2 yang sangat baik dan profesional saat memberikan layanan dan pelatihan menyelam bagi penyandang disabilitas di Adelaide Aquatic Center. Termasuk juga guru-guru kelas Bahasa Inggris saya di Ascot Community Uniting Church yang ramah dan hangat.
Hal-hal inilah yang akan saya rindukan sebagai warga difabel yang pernah tinggal di Australia.
*Tulisan ini adalah pendapat Faisal Rusdi, yang akrab dipanggil Aal. Ia juga adalah seniman dan anggota Association for Mouth and Footpainters RSA.
Bergabunglah bersama komunitas Australia Plus Indonesia di Facebook.com/AustraliaPlusIndonesia dan ceritakan pengalaman Anda yang berkaitan dengan Australia. Kami akan memuat cerita-cerita menarik dan inspiratif dari Anda. (nwk/nwk)