Menurutnya petugas keamanan di UTAS sudah faham dan memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk keluar masuk di gedung di mana musala berada baik saat malam maupun saat menjelang pagi saat kita ingin melaksanakan salat malam.
"Saya kira ini adalah bentuk toleransi yang bagus untuk ditingkatkan, karena dengan demikian mahasiswa Muslim akan merasa aman dan nyaman dalam beribadah," kata Wajiran kepada wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saya sudah tinggal di Kota Hobart ini kurang lebih hampir dua tahun, tepatnya satu tahun sepuluh bulan." katanya.
Yang membedakan Tasmania dengan bagian Australia lainnya adalah cuaca yang sangat dingin di musim dingin.
"Ketika tiba di bulan Agustus itu, cuaca sangat dingin sehingga pengalaman tidak terlupakan bagi saya adalah saat minggu pertama sekitar satu minggu tidak bisa tidur karena kendinginan. Cuaca di Hobart memang sangat jauh berbeda dengan cuaca di Indonesia, sehingga saya membutuhkan waktu cukup lama untuk menyesuaikan diri meskipun sampai sekarang pun jika sedang musim dingin masih saja sangat terasa." katanya lagi.
Wajiran dengan Sulthan Hamengku Buwono X yang berkunjung ke Tasmania tahun 2015. Foto: Istimewa |
Di tahun pertama kehadirannya di Tasmania, Wajiran menjalankannnya sendirian, karena istri dan anaknya belum datang dari Indonesia.
"Selama puasa disini saya tidak menemukan kendala berarti selama Ramadan. Aktivitas selama Ramadan juga saya lakukan seperti biasa. Saya banyak menghabiskan bulan puasa tahun lalu saya habiskan waktu di musala kampus. Kebetulan kampus kami menyediakan fasilitas yang cukup memadai untuk kegiatan komunitas Muslim. Terbukti selain menyediakan musala juga beberapa kali memberikan dana untuk kegiatan buka bersama dan kegiatan lain," kata Wajiran.
Wajiran sendiri mengatakan dia terlibat aktif dalam Tasmania University Muslim Society (TUMS), sehingga Ramadan tahun lalu ikut membantu berbagai program kegiatan. Program utama selama Ramadhan adalah buka bersama yang diadakan di musala kampus setiap sore, biasanya Senin sampai Kamis. Program ini diutamakan bagi mahasiswa muslim, tetapi kadang juga ada beberapa mahasiswa non-muslim yang ikut serta.
"Salah satu program yang paling sukses saat Ramadan tahun lalu adalah acara Muslim Awareness Week yang diadakan selama semingguan penuh menjelang akhir Ramadhan. Program ini banyak diikuti anak-anak, mahasiswa dan masyarakat umum. Program ini sepertinya cukup efektif di dalam memperkenalkan Islam kepada penduduk Australia di sekitara Hobart."
"Bahkan program ini dianggap sebagai program kegiatan mahasiswa yang paling sukses di UTAS karena mampu menghadirkan banyak partisipan dari berbagai kalangan." tambahnya lagi.
Dari segi ritual puasa, menurut Wajiran, pelaksanaan puasa Ramadhan di sini tidak begitu terasa bedanya dengan di Indonesia.
"Hanya saja variasi makanan yang sangat berbeda dengan selera kita, sehingga sering membuat kita merasa rindu makanan khas kampung halaman. Kebetulan, mayoritas Muslim yang ada di Hobart berasal dari Arab dan Malaysia dan Pakistan, itu sebabnya makanan yang dihidangkan rasanya sering tidak pas dengan selera saya." tambahnya.
Disebutkan oleh Wajiran, bahwa jumlah mahasiswa Muslim dari Indonesia yang sangat sedikit, cukup sulit bagi kita untuk membuat tim memasak khas masakan Indonesia.
"Itu sebabnya biasanya kita hanya ikut iuran, sehingga pengolahan masakannya mengikuti teman-teman yang punya tim khusus untuk memasak sesuai dengan asal negara mereka," katanya lagi.
Buka puasa bersama dengan teman-teman di Universitas Tasmania Foto: Istimewa |
Menurut Wajiran, pengalamannya selama Ramadan di Australia yang dijalankanya bersamaan dengan musim dingin membuat puasa terasa sangat ringan.
"Karena musim dingin maka waktu malam lebih lama dari pada waktu siang. Kadang waktu siangnya terasa sangat singkat, hanya sekitar sepuluh atau sebelas jam. Hal itu sangat berbeda dengan di Indonesia yang waktu siangnya lebih lama, sekitar tiga belas/empat belas jam. Cuaca dingin juga membuat kita tidak mudah kehausan," tambah bapak dari seorang anak tersebut.
Berbicara mengenai toleransi, Wajiran mengatakan keadaan di Australia sangat bagus, khususnya di lingkungan kampus atau masyarakat berpendidikan.
"Saat kita sedang berpuasa, kebanyakan mereka faham, sehingga saat ada pertemuan yang ada acara makan-makan atau minum mereka akan meminta maaf dan memberi tahu sebelumnya".
"Pernah juga saya menghadiri sebuah pertemuan di kampus di mana minuman yang disediakan biasanya beralkohol, tetapi karena kehadiran saya, satu-satunya mahasiswa muslim, panitia sudah menyediakan minuman alternatif yang tidak beralkhohol," tambahnya.
"Demikian juga jika kita ingin membeli makanan, beberapa dari petugas kantin akan menjelaskan secara detail mana yang halal mana yang tidak jelas atau tidak halal sama sekali. Pengalaman ini sering kami temui saat ingin berbelanja makanan matang di suatu kantin. Di kantin kampus juga disediakan makanan halal, sehingga tidak sulit bagi kita yang muslim untuk mendapatkannya," demikian keterangan Wajiran. (nwk/nwk)












































Wajiran dengan Sulthan Hamengku Buwono X yang berkunjung ke Tasmania tahun 2015. Foto: Istimewa
Buka puasa bersama dengan teman-teman di Universitas Tasmania Foto: Istimewa