Awidya Santikajaya, yang studinya berfokus pada diplomasi Asia-Pasifik di Australian National University di Canberra, mengatakan beberapa faktor menghalangi perkembangan Indonesia, termasuk pembangunan ekonomi dan hubungan diplomasi dengan negara-negara tetangga di kawasan.
Ekonomi Indonesia saat ini adalah yang ke-16 terbesar di dunia dan beberapa ahli mengatakan, pada 2030, Indonesia bisa menjadi ekonomi terbesar ke-7. Tapi Awidya Santikajaya mengatakan masih ada masalah "struktural" yang menghalangi transformasi ekonomi Indonesia, termasuk pembangunan dalam masalah kemiskinan, pemerintahan dan industri.
"Dari pertanian ke industri manufaktur terjadi perpindahan yang pesat dan saat ini Cina sekarang ini sudah memasuki era teknologi yang lebih maju. Jadi sama seperti India. Ekonomi kita tinggi, tapi basic ide struktur ekonomi kita masih ekstraktif," kata Awidya, merujuk pada industri tambang dan minyak kelapa sawit.
"Kita sudah melangkah ke demokrasi yang sudah kita jalani selama 10 tahun atau lebih 15 tahun, tapi kita masih terhalang karena belum adanya good governance...bagaimana kita bisa dibandingkan dengan Singapura atau Vietnam, yang mereka bukan negara demokratis, tapi kok mereka lebih kaya daripada kita," katanya.
Menurut Awidya, perkembangan diplomasi sebuah negara bergantung pada "material power".
"...kita harus paham material powers yang ktia miliki....[Indonesia] Asia Tenggara memang paling besar, tapi ingat bahwa per capita income kita jauh di bawah Singapura, jauh di bawah Malaysia, jauh di bawah Thailand. Kemudian kalau kita berbicara competitiveness, kita kalah dengan Malaysia yang memiliki capacity of production yang tinggi. Pertama concern kita adalah material powers yang menghalangi kita untuk proaktif."
Dia juga berpikir bahwa Indonesia memiliki tantangan karena kondisi geopolitiknya. Dia mengatakan negara tersebut dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan besar seperti India, Cina dan Australia. Walau dia mengatakan Indonesia memainkan peranan penting dalam ASEAN, negara ini dikatakannya terlalu berfokus pada pendekatan multilateral dibandingkan dengan bilateral.
"Artinya, kita masih terbelenggu dalam paradigma bahwa kita mementingkan ASEAN sebagai core politics kita, tapi kita tidak mencoba untuk meningkatkan bilateral engagement yang lebih intens dengan negara-negara Southheast Asia maupun dengan neighbour seperti Australia dan Papua Nugini."
"Jadi saya pernah mengadakan penelitian dua bulan di Thailand...[yang] secara geografik sangat dekat dengan kita, saya ketemu komunitas Jawa di Thailand yang sudah berabad-abad di sana, tapi kita lihat hubungan kita gitu-gitu aja dengan Thailand. Kemudian juga dengan Kamboja. Kita pernah berjasa sangat besar untuk mendamaikan konflik di Kamboja, tapi tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Phnom Penh."
Awidya mengatakan di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat ke dalam, daripada ke luar.
"Misalnya orang Australia yang studi tentang Indonesia banyak sekali, ada pusat Indonesia di mana pun...Tapi di Indonesia tidak ada pusat studi mengenai Australia. Artinya, emang kita selama orde baru, dan kemudian pada tahap-tahap awal orde reformasi, kita masih terbiasa inward-looking. Kita masih melihat isu-isu domestik, kita tidak sadar kita itu sudah di era pergaulan dunia yang sudah semakin globalised."
Awidya Santikajaya mengatakan dia yakin sebuah pendekatan bilateral dari Indonesia akan memenuhi aspirasi domestik Indonesia untuk menjadi negara besar, selain memberikan keuntungan bagi kawasan.
Catatan redaksi (03/06) : Ini adalah versi artikel yang telah diralat dari versi sebelumnya. Perubahan dilakukan untuk lebih mencerminkan isi wawancara dan pandangan narasumber. Judul artikel telah kami ganti dan isi artikel telah kami tulis ulang. Wawancara selengkapnya bisa didengar di situs ABC Radio Australia Bahasa Indonesia.
(nwk/nwk)
"Dari pertanian ke industri manufaktur terjadi perpindahan yang pesat dan saat ini Cina sekarang ini sudah memasuki era teknologi yang lebih maju. Jadi sama seperti India. Ekonomi kita tinggi, tapi basic ide struktur ekonomi kita masih ekstraktif," kata Awidya, merujuk pada industri tambang dan minyak kelapa sawit.
"Kita sudah melangkah ke demokrasi yang sudah kita jalani selama 10 tahun atau lebih 15 tahun, tapi kita masih terhalang karena belum adanya good governance...bagaimana kita bisa dibandingkan dengan Singapura atau Vietnam, yang mereka bukan negara demokratis, tapi kok mereka lebih kaya daripada kita," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"...kita harus paham material powers yang ktia miliki....[Indonesia] Asia Tenggara memang paling besar, tapi ingat bahwa per capita income kita jauh di bawah Singapura, jauh di bawah Malaysia, jauh di bawah Thailand. Kemudian kalau kita berbicara competitiveness, kita kalah dengan Malaysia yang memiliki capacity of production yang tinggi. Pertama concern kita adalah material powers yang menghalangi kita untuk proaktif."
Dia juga berpikir bahwa Indonesia memiliki tantangan karena kondisi geopolitiknya. Dia mengatakan negara tersebut dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan besar seperti India, Cina dan Australia. Walau dia mengatakan Indonesia memainkan peranan penting dalam ASEAN, negara ini dikatakannya terlalu berfokus pada pendekatan multilateral dibandingkan dengan bilateral.
"Artinya, kita masih terbelenggu dalam paradigma bahwa kita mementingkan ASEAN sebagai core politics kita, tapi kita tidak mencoba untuk meningkatkan bilateral engagement yang lebih intens dengan negara-negara Southheast Asia maupun dengan neighbour seperti Australia dan Papua Nugini."
"Jadi saya pernah mengadakan penelitian dua bulan di Thailand...[yang] secara geografik sangat dekat dengan kita, saya ketemu komunitas Jawa di Thailand yang sudah berabad-abad di sana, tapi kita lihat hubungan kita gitu-gitu aja dengan Thailand. Kemudian juga dengan Kamboja. Kita pernah berjasa sangat besar untuk mendamaikan konflik di Kamboja, tapi tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Phnom Penh."
Awidya mengatakan di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat ke dalam, daripada ke luar.
"Misalnya orang Australia yang studi tentang Indonesia banyak sekali, ada pusat Indonesia di mana pun...Tapi di Indonesia tidak ada pusat studi mengenai Australia. Artinya, emang kita selama orde baru, dan kemudian pada tahap-tahap awal orde reformasi, kita masih terbiasa inward-looking. Kita masih melihat isu-isu domestik, kita tidak sadar kita itu sudah di era pergaulan dunia yang sudah semakin globalised."
Awidya Santikajaya mengatakan dia yakin sebuah pendekatan bilateral dari Indonesia akan memenuhi aspirasi domestik Indonesia untuk menjadi negara besar, selain memberikan keuntungan bagi kawasan.
Catatan redaksi (03/06) : Ini adalah versi artikel yang telah diralat dari versi sebelumnya. Perubahan dilakukan untuk lebih mencerminkan isi wawancara dan pandangan narasumber. Judul artikel telah kami ganti dan isi artikel telah kami tulis ulang. Wawancara selengkapnya bisa didengar di situs ABC Radio Australia Bahasa Indonesia.