Sakena keluar memberi salam pada sekelompok pria bersenjata itu, mempersilakan mereka duduk dan menyajikan teh.
"Tentu saya pikir mereka akan membunuh saya. Tapi saya tidak takut. Dengan bantuan Tuhan saya tetap kalem dan mempertahankan diri saya, memberi tahu mereka bagaimana Alquran menyatakan hak perempuan sama untuk memperoleh pendidikan," cerita Sakena seperti dilansir Independent edisi Kamis (5/11/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sakena mendirikan AIL di tengah penguasaan Taliban yang melarang pendidikan bagi perempuan dan menerapkan hukum yang ketat tentang apa saja yang bisa diajarkan pada anak-anak.
![]() |
"Orang Afghan itu pintar, utamanya perempuan. Mereka memiliki potensi untuk meraih hal-hal yang hebat, mereka hanya butuh kesempatan," kata Sakena.
Sakena menjadi orang pertama di keluarganya yang menyelesaikan pendidikan. Dia melamar ke fakultas kedokteran dan teknik di universitas di Kabul. Dia diterima namun sayang letak kampusnya sangat jauh dari rumah keluarganya di Hurat, dan tak ada fasilitas untuk mahasiswi di sana. Dia lantas melamar beasiswa sarjana di bidang sains biologi di AS, kemudian meneruskan mengambil masternya di bidang kesehatan publik.
"Saat saya sedang belajar di AS, Rusia menyerang Afghanistan dan tiba-tiba saya menjadi pengungsi. Keluarga saya menjadi pengungsi di rumah sendiri, jadi saya memiliki masa-masa yang sulit untuk belajar, mendapatkan beasiswa dan bekerja untuk mendukung kehidupan saya sementara saya khawatir tentang keluarga saya," tuturnya.
Bisa saja Sakena memilih hidup nyaman di AS, namun dia lebih memilih mengambil risiko kembali ke Afghanistan untuk membantu.
"Saya pergi ke PBB dan memperjuangkan hak saya, hak keluarga saya dan menjadi sponsor mereka untuk datang ke AS," tuturnya.
Sakena saat itu sudah menjadi profesor dan mendapat pekerjaan bagus di universitas. Dia kemudian memasukkan saudara termudanya ke sekolah, memastikan keluarganya mapan dulu sebelum akhirnya dia membuat keputusan kembali ke Peshawar, Pakistan.
"Ibu saya menangis. Dia tak percaya setelah sekian lama terpisah, saya ingin meninggalkan mereka ke zona perang. Tapi ayah saya mengerti dan mengatakan, 'Biarkan dia pergi. Jika itu apa yang dia ingin lakukan, biarkan dia mengerjakannya'," tutur Sakena.
Sosok ayahlah yang juga mendukungnya mendapatkan pendidikan sejak anak-anak. "Saya beruntung ayah saya mendukung pendidikan saya saat muda. Dia memperlakukan saya setara dan memberikan kesempatan yang sama, tak semua gadis seberuntung ini," tuturnya.
Kini nyaris 20 tahun Sakena mengabdikan diri melalui yayasan pendidikannya, dan sudah memiliki 306 pusat pendidikan, 4 klinik kesehatan dan satu rumah sakit. Dia bahkan memiliki 12 juta pendengar setia atas program siaran pendidikannya yang membantu mengatasi hambatan jarak dan tempat. Namun Sakena tetap tak puas.
"Suatu hari, saya ingin punya saluran televisi dan membuka universitas. Masih banyak yang harus kami lakukan," tuturnya.
Sejak Taliban jatuh, kurikulum yang dimiliki AIL dicontoh institusi pendidikan pemerintah. Dia tetap akan terus mempromosikan pendidikan.
"Saya mendedikasikan hidup saya untuk mempromosikan pentingnya pendidikan karena saya sungguh percaya bahwa pendidikan jalan satu-satunya membawa kedamaian. Konflik adalah hasil dari kebodohan. Pemerintah internasional menghabiskan miliaran dolar untuk membeli senjata. Coba pikir apa yang bisa dilakukan uang sejumlah itu pada pendidikan," gugatnya.
Atas dedikasinya itu, Sakena diganjar WISE Prize for Education 2015 di Doha, Qatar. Penghargaan ini diberikan oleh Sheikha Moza bin Nasser, Ketua Qatar Foundation pada pembukaan konferensi tahunan pendidikan internasional WISE (World Innovasion Summit of Education).
![]() |
Konferensi juga dihadiri Ibu Negara Amerika Serikat, Michelle Obama, yang menekankan pentingnya usaha lebih besar dalam mendukung hak anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan saling menghormati.
"Mengatasi pendidikan anak perempuan jelas adalah mengenai sumber daya, tetapi ini juga tentang sikap dan keyakinan," kata Michelle.
Penghargaan WISE Prize ini penilaiannya melibatkan 1.500 pakar dari latar belakang berbeda dari 100 negara di dunia. Sakena juga menerima US$500.000 atau Rp6,7 miliar dan mengatakan, "Hal ini terutama memiliki arti karena sekarang adalah masa yang genting di Afghanistan."
"Rakyat kami hidup dalam teror dan kemiskinan," demikian seperti dilansir BBC.
Halaman 2 dari 1
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini