Dr Hasan Djafar, Sang 'Indiana Jones' Penerjemah Minto Stone

Dr Hasan Djafar, Sang 'Indiana Jones' Penerjemah Minto Stone

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikNews
Jumat, 13 Feb 2015 16:59 WIB
Dr Hasan Djafar yang membaca dan menerjemahkan ulang Prasasti Sangguran
Jakarta - Kendati usianya sudah tak muda lagi, Dr Hasan Djafar (75) yang lahir di Pamanukan 16 Februari 1641 itu menjelaskan tentang Prasasti Sangguran dengan semangat menggebu namun sabar. Bak 'Indiana Jones', film Hollywood tentang arkeolog petualang itu, Hasan juga berkelana, bersekolah hingga Belanda membaca salinan isi prasasti hingga menggali artefak-artefak kuno di penjuru Nusantara.

"Jadi waktu saya Belajar di Belanda, di Leiden, tahun 84-85, di perpustakaan Leiden itu ada abklatsch Prasasti Sangguran, disimpan di sana," jelas Hasan menceritakan pengalamannya membaca dan menerjemahkan Prasasti Sangguran saat berbincang dengan detikcom di tempatnya mengajar, Universitas Indraprasta PGRI, Jl Nangka, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, Kamis (12/2/2015).

Hasan memperdalam studi epigrafi atau ilmu prasasti dan sejarah kuno Indonesia di Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belanda, pada tahun 1984-1985. Di Leiden, Hasan dibimbing langsung oleh ahli prasasti Indonesia berkebangsaan Belanda Johannes Gijsbertus (JG) de Casparis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

De Casparis sudah melakukan pembacaan prasasti Sangguran sebelumnya, namun tidak lengkap. Nah, di Leiden, ada dokumen abklatsch Prasasti Sangguran.

Abklatsch adalah teknik menyalin isi prasasti dengan membasahi prasasti kemudian menempelkan kertas khusus beberapa lapis. Kertas khusus itu kemudian ditekan-tekan hingga masuk dalam lekukan huruf prasasti, hingga kertas hancur menjadi bubur. Setelah kering, kertas itu kemudian dilepas dan terbentuklah huruf yang ada di dalam prasasti.

Selain teknik abklatsch, ada juga teknik rubbing atau penggosokan. Teknik ini menempelkan kertas putih, kemudian kertas itu diarsir hingga tampaklah huruf-huruf di prasasti. Teknik ini seperti menempelkan kertas ke atas permukaan uang logam dan mengarsirnya hingga gambar pada uang logam tampak di kertas.

Nah, saat hendak menyatakan minat untuk membaca Prasasti Sangguran itu, de Casparis mempersilakan Hasan membaca sendiri dengan meminjam dokumen abklatsch dari Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden. Di bawah bimbingan de Casparis, Hasan membaca dan menerjemahkan ulang Prasasti Sangguran, kemudian membandingkan dengan hasil penerjemahan yang dilakukan para sejarawan sebelumnya. Sejarawan yang hasil penerjemahannya menjadi bahan perbandingan Hasan adalah JLA Brandes dalam buku Old Javansche Oorkonde (Prasasti Jawa Kuno) yang terbit tahun 1913, kemudian H Kern, NJ Krom, LC Damais dan HB Sarkar.

"Saya peroleh hasil bacaan itu, rupanya agak berbeda dengan terjemahan JLA Brandes, yang rupanya melakukan pembacaan sementara. Banyak yang salah. Dengan bantuan Pak Casparis, membaca kembali, dan menemukan bagian-bagian yang salah," ungkapnya.

Prasasti Sangguran merupakan prasasti yang besar, dengan tinggi sekitar 160 cm, terdiri dari sisi depan, sisi belakang, bahkan sisi kirinya terdapat tulisan. Nah bagaimana mengetahui bagian depan dan belakangnya?

"Kan ada kalimat pembuka, kalimat penutup, terlihat di situ," tutur pria yang terpilih menjadi 1 dari 10 anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional pada 19 Januari 2015 lalu.
Β 
Tahun 1996-2001, Hasan masuk sebagai satu-satunya arkeolog Indonesia dalam menyusun Annual Bibliography of Indian Archaeology (ABIA). Proyek itu menginventarisasi semua peninggalan bersejarah di daerah-daerah yang pernah dijajah dengan tim arkeolog dari Indonesia, Srilanka, Taiwan, India dan Belanda sendiri.

"Di sana saya ngobrol dengan arkeolog India tentang prasasti itu di Kalkuta. Ternyata ada foto aslinya, didapatkan dari Belanda," ujar doktor arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.

Dan tahun 2007, Hasan diminta Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata untuk menyusun artikel ilmiah tentang Prasasti Sangguran. Seperti diketahui sebelumnya, Pemerintah RI pada Februari 2006 pernah melobi keluarga Lord Minto ke Inggris, untuk meminta kembali prasasti itu ke Indonesia. Namun tidak berhasil karena keluarga Lord Minto meminta kompensasi yang banyak.

(Baca juga: RI Pernah Lobi Keluarga Lord Meminta Prasasti Sangguran di 2006, Ini Kronologinya)

"Sulit kita peroleh kembali karena berbagai alasan. Keluarga Lord Minto sudah membentuk yayasan, sehingga sudah berbadan hukum. Itu juga yang membuat rumit," tuturnya.

Makalah ilmiah berjudul PRASASTI SANGGURAN (Minto Stone) Tahun 850 Saka (= 2 Agustus 928) diterbitkan Kemenbudpar tahun 2007. "Rencananya buku ini akan disebarkan pada masyarakat bila prasasti itu berhasil dibawa pulang. Namun prasasti gagal dibawa kembali," jelas dia.

Akhirnya, makalah ilmiah itu hanya terbit untuk kalangan terbatas, utamanya untuk keperluan riset dan pendidikan.

Sebagai epigraf atau pakar pembaca prasasti, Hasan harus belajar bahasa Nusantara kuno, karena prasasti yang ditulis menggunakan huruf kuno.

"Ada Jawa kuno, Sunda kuno, Melayu kuno, Bali kuno, belajar huruf Sanskerta dan Pallawa. Itu dulu diajarkan saat semester 3-4 untuk 1 bahasa," jelas pensiunan dosen UI sejak tahun 2006 dan masih aktif mengajar di Universitas Indraprasta ini.

Rata-rata untuk menguasai 1 bahasa kuno, Hasan membutuhkan waktu 1-2 tahun. Sejak lulus dari jurusan arkeologi Universitas Indonesia tahun 1975, hingga tahun 2015 ini, sudah banyak prasasti yang dibaca Hasan. Namun, Hasan khusus mempelajari prasasti dari zaman Majapahit dan prasasti Sunda kuno di Jawa Barat. Dalam mencari dan membaca prasasti kuno, Hasan blusukan dari Pulau Weh, Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga NTT. Hasan masih aktif melakukan penelitian pada situs arkeologi candi Batujaya di Karawang sejak 20 tahun lalu.

Kini, arkeolog yang mahir bahasa kuno tak banyak. Namun, Hasan mengaku ada penerusnya, seperti Titi Surti Nastiti, putri sastrawan Ajip Rosidi yang kini mengabdi di Pusat Arkeologi Nasional.

Dia menitipkan pesan pada generasi muda yang ingin menjadi arkeolog. "Belajar arkeologi itu harus serius, harus tekun, jangan putus asa," tutup pria yang menganggap profesinya ini pengabdian dan tak punya ambisi mengejar jabatan dan gelar ini.

(nwk/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads