Kala itu sekitar 2012, status Sahidin masih sebagai tenaga bakti di puskesmas pembantu di Desa Melidi, Kecamatan Simpang Jernih, Aceh Timur, Aceh. Tanggung jawabnya sebagai tenaga kesehatan sangat berat. Dia harus siap dipanggil kapan saja untuk mengobati pasien yang terdapat di empat desa di daerah pedalaman.
Masyarakat di sana kerap menyambanginya jika sakit atau kurang sehat. Di tengah gaji Rp 300 ribu kala itu, Sahidin harus membagi pendapatannya untuk kebutuhan rumah tangga dan membeli obat buat pasien. Warga di sana, asal berobat, selalu minta disuntik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah menjual emas, masalah baru datang. Sahidin sempat ribut dengan istrinya. Dia juga terpaksa naik ke gunung untuk mencari pekerjaan sampingan. Meski demikian, Sahidin tetap melayani warga dengan ikhlas.
Kini, untuk urusan obat sudah disediakan di Puskesmas Simpang Simpang Jernih. Sebulan sekali, dia turun ke sana menggunakan boat untuk mengambil obat. Untuk biaya transportasi, Sahidin harus merogoh kocek sendiri.
"Biaya ambil obat pakai biaya sendiri. Sebulan sekali. Ongkos boat pergi Rp 10 ribu, pulang Rp 20 ribu," ungkap Sahidin.
![]() |
Sahidin menyebut pernah menangani beragam penyakit yang diderita warga hingga pernah menolong perempuan melahirkan. Di empat desa dengan jumlah jiwa sekitar 1.600 orang, Sahidin menjadi pahlawan kesehatan. Dia siap dipanggil meski sudah larut malam.
"Kadang saya dipanggil jam 03.00 WIB. Kalau pergi ke desa lain untuk mengobati pasien, ongkos boat biasa pakai uang sendiri," jelasnya.
Sahidin bertugas sebagai mantri sejak 2006. Statusnya masih tenaga kontrak dengan gaji per bulan Rp 600 ribu. Meski belum berstatus pegawai negeri sipil, Salidin juga didapuk menjadi kepala puskesmas pembantu di Desa Melidi.
"Gaji Rp 600 ribu baru berjalan sekitar setahun. Sebelumnya gaji saya cuma Rp 300 ribu," ungkap pria lulusan akper di Medan, Sumatera Utara, ini. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini